Anggaran jumbo Kemhan dan longgarnya impor alutsista
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 164/2019. Aturan itu membebaskan bea masuk impor persenjataan, amunisi, perlengkapan militer, suku cadang, serta barang atau bahan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan negara.
Dengan terbitnya beleid tersebut, bila Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengimpor alat utama sistem pertahanan (alutsista), hanya perlu ditandatangani pejabat internal Kemhan, atau paling rendah eselon II yang ditunjuk oleh kementerian dan lembaga, sesuai aturan yang berlaku dalam PMK 164/2019.
Pemerintah pun memberikan kewenangan kepada Kemhan, tidak perlu lagi mengajukan persetujuan impor senjata, serta menghapus Pasal 8 PMK 191/2016 tentang pembebasan bea masuk atas impor barang, dan permohonan pembebasan bea masuk, yang diajukan kepada menteri melalui Dirjen Bea dan Cukai.
Di dalam PMK 164/2019 juga disebutkan, pengajuan impor senjata hanya membutuhkan dua dokumen, yakni perjanjian pengadaan barang atau jasa yang menyebutkan secara tegas mengenai harga pengadaan barang atau jasa, tidak meliputi pembayaran bea masuk atau pajak impor.
Lalu, dokumen berupa fotokopi surat keterangan keputusan penetapan sebagai industri, yang memproduksi barang untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara, serta rencana impor barang.
Dengan begitu, peraturan ini tak lagi mengharuskan importir memperlihatkan surat izin usaha, surat izin impor asli, dan kepemilikan NPWP kepada Ditjen Bea dan Cukai sebagai syarat kepabeanan.
Indonesia memang bukan negara peringkat pertama pengimpor senjata terbesar di dunia. Berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), dirata-rata selama periode 2014-2018, Indonesia ada di urutan 12 negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Pemasok utamanya berasal dari Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda.
Pada 2018, total nilai impor senjata Indonesia sebesar US$7,4 miliar. Dengan nilai tersebut, Indonesia berada di urutan ke-26 terbesar di dunia dalam hal belanja senjata.
Anggaran yang digelontorkan untuk Kemhan dalam APBN 2020 juga tak main-main. Dikutip dari Antara, Minggu (24/11), besarnya mencapai Rp127,36 triliun, meningkat dari anggaran pertahanan pada 2019, yakni Rp121 triliun. Jumlah itu terbesar dibandingkan kementerian atau lembaga lainnya.
Dari total anggaran tersebut, Kemhan menganggarkan program modernisasi alutsista pada 2020 sebesar Rp10,86 triliun, naik 20% dari tahun sebelumnya. Nilai itu terdiri dari Rp4,59 triliun untuk modernisasi alutsista matra darat, Rp4,16 triliun untuk matra laut, dan Rp2,11 triliun untuk matra udara.
Kejar target MEF
Menurut Staf Khusus Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga Dahnil Anzar Simanjuntak, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meminta penerbitan PMK 164/2019 karena industri pertahanan belum mampu memenuhi target minimum essential force (MEF).
MEF merupakan proses untuk modernisasi alutsista Indonesia, yang salah satunya diwujudkan dengan program belanja untuk memenuhi standar minimal yang dipersyaratkan.
Menurut situs web Kemhan.go.id, MEF adalah amanat pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan yang dicanangkan pada 2010. Amanat itu ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2010-2014, sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010.
MEF dibagi menjadi tiga rencana strategis (renstra) pertahanan negara, dengan durasi masing-masing lima tahun, hingga 2024. Saat ini, renstra sudah di tahap kedua, tahun terakhir. Tahun depan, akan masuk ke tahap ketiga.
Dahnil mengatakan, Prabowo berharap PMK 162/2019 membantu kementeriannya mencapai target MEF.
“PMK tersebut adalah salah satu yang diminta Menhan Prabowo, terkait dengan impor alutsista. Dengan keringanan bea impor tersebut, diharapkan belanja alutsista kita bisa lebih ekonomis dan efisien,” ujar Dahnil saat dihubungi Alinea.id, Senin (25/11).
Dihubungi terpisah, anggota komisi I DPR dari fraksi Partai Golkar Dave Akbarshah Fikarno mengungkapkan, pembebasan bea masuk impor bertujuan agar pembelian barang atau bahan lebih murah.
“Dengan demikian, anggaran yang sebetulnya terpotong pajak, bisa dialokasikan untuk membeli barang atau bahan lain,” kata Dave saat dihubungi, Selasa (26/11).
Dave menuturkan, untuk menggapai target MEF, memang dibutuhkan anggaran yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Sementara anggaran Kemenhan, hanya ratusan triliun.
Menurut Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto usai menutup rapat pimpinan TNI tahun 2019 di GOR Ahmad Yani, Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, seperti dikutip dari MediaIndonesia.com, Kamis (31/1), realisasi MEF TNI tahap kedua sudah mencapai 62,8% dari target 72%. Hingga kini, pencapaian MEF sudah 74% dari target 100% pada 2024.
Baik matra darat, laut, dan udara, belum memenuhi target 100%. Misalnya, TNI Angkatan Udara (AU).
Dilansir dari Antara, Jumat (1/2), Kepala Staf TNI AU Marsekal Yuyu Sutisna mengungkapkan, pemenuhan MEF TNI AU baru 44%. Tahun ini, dicuplik dari Antara, Jumat (22/11), Yuyu menyebut, TNI AU sudah merencanakan pesan pesawat jet tempur jenis F-16 Block 70/72 Viper buatan Amerika Serikat pada renstra berikutnya.
Selain itu, TNI AU juga berencana membeli jet tempur jenis Sukhoi 35, mengontrak pesanan helikopter angkut sebanyak delapan unit dan dua lagi untuk VVIP, serta sebanyak 32 radar untuk memenuhi target hingga 2024.
Produksi dalam negeri belum siap
Wakil Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Marsdya TNI (Purn) Eris Herryanto mengungkapkan, sebelumnya kebijakan impor alutsista terbilang ketat.
Mekanisme yang berlaku juga ketat, seperti memerlukan surat permohonan (SP1) dan surat perintah pengadaan (SP2). Maka dari itu, kata Eris, barang atau bahan untuk pertahanan dan keamanan tidak bisa disalahgunakan.
Sementara di PMK 164/2019 lantaran bebas pajak, menurutnya, belanja senjata harus sesuai kebutuhan sasaran penggunanya. Anggaran yang masuk, harus dicek dan dipastikan bahwa sasaran penggunanya akan diprioritaskan.
“Jadi, kalau ini memang amunisi kita belum memenuhi secara full dan ditambal dengan impor, itu masuk akal,” ujar Eris saat dihubungi, Selasa (26/11).
Eris menuturkan, sesungguhnya industri pertahanan nasional sudah mampu membuat amunisi. Akan tetapi, produksinya belum bisa mencukupi kebutuhan militer secara keseluruhan.
Merujuk data Global Fire Power, saat ini TNI AU memiliki 41 pesawat tempur, 65 pesawat serbu, 62 pesawat angkut, 104 pesawat latih, dan 8 helikopter serbu.
TNI AD memiliki 315 tank tempur, 1.300 kendaraan tempur lapis baja, 141 artileri otomatis, 356 artileri manual, dan 36 proyektor roket. Sedangkan TNI AL punya 8 fregat, 24 korvet, 5 kapal selam, 139 kapal patroli, dan 11 pangkalan perang.
Eris mengakui, masih banyak yang perlu ditingkatkan dari industri pertahanan nasional. Menurutnya, sah-sah saja mengimpor untuk menambah kekurangan. Asal industri pertahanan dalam negeri bisa medongkrak kapasitas.
“Kita bukannya sekarang ini tidak mampu. Kita mampu memproduksi kebutuhan sasaran pengguna, tetapi jumlah yang dibutuhkan mungkin kurang,” tutur Eris.
Di sisi lain, Dave Akbarshah Fikarno menyarankan, PMK 164/2019 agar dibuatkan peraturan turunannya. “Supaya MEF-nya benar-benar ter-cover,” ujar Dave.
Di samping itu, menurut dia, pemerintah harus membuat kebijakan dan peraturan yang dapat memastikan percepatan produksi industri pertahanan nasional, yang nantinya bisa dijalankan PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad), PT Penataran Angkatan Laut (PAL Indonesia), dan PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
“Tak hanya memastikan modernisasi peralatan tempur saja, tetapi juga meningkatkan kualitas tentara beserta kesejahteraannya,” tuturnya. “Jadi, aturan turunannya benar-benar ada, dan kebutuhan prajurit benar-benar harus diperhatikan.”
Meskipun anggaran sudah dinaikkan, tetapi Dave mengatakan, nilainya masih jauh dari kebutuhan yang layak untuk mencapai target MEF. Menurutnya, Kemhan membutuhkan anggaran di atas Rp200 triliun.
Prioritas industri nasional
Dihubungi terpisah, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi mengemukakan, untuk mengembangkan industri pertahanan memang butuh pengerjaan agak spesial. Maka, butuh sokongan anggaran dan kebijakan pemerintah.
“Seperti pembelian pesawat Sukhoi, problemnya anggaran sangat terbatas, dan untuk mencapai MEF tidak akan bisa mencukupi itu,” ujar Muradi saat dihubungi, Senin (25/11).
Menurut dia, PMK 164/2019 merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengembangkan industri pertahanan. Selain mencapai target MEF, kata Muradi, dalam mengembangkan industri pertahanan harus mempermudah berbagai kerja sama, membebaskan pajak, bea masuk impor, dan menyuntik dana yang sifatnya nonpertahanan.
“Mengajukan anggaran tambahan Rp17,5 triliun tidak ada apa-apanya untuk industri pertahanan, itu hanya untuk memenuhi MEF. Itu kan hanya memungkinkan untuk membeli yang bekas, bukan baru,” kata Muradi.
Lebih lanjut, Muradi mengingatkan, penerbitan PMK 164/2019 harus melibatkan unsur lokal dalam semua prosesnya, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Unsur lokal yang dimaksud Muradi terdapat di dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012, yang menyebutkan, pengguna wajib menggunakan alat peralatan pertahanan dan keamanan produksi dalam negeri.
Di dalam pasal 43 ayat 2 disebut, pengguna wajib melakukan pemeliharaan dan perbaikan alat peralatan pertahanan dan keamanan di dalam negeri.
Sementara pasal 43 ayat 3 disebutkan, dalam hal alat peralatan pertahanan dan keamanan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 belum dapat dipenuhi oleh industri pertahanan, pengguna dan industri pertahanan dapat mengusulkan kepada KKIP untuk menggunakan produk luar negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antarpemerintah atau kepada pabrikan.
“Ada memang syaratnya, minimal 36% (dalam negeri). Jadi, tidak cuma impor, tetapi ada hal lain yang harus dipenuhi, seperti modernisasi teknologi, perlu dibuatkan semacam kebijakan untuk pengembangan teknologi tersebut,” tutur Muradi.
Terkait pembagian anggaran setiap matra TNI, Muradi mengatakan, hal itu tergantung kebutuhan dan cita-cita yang diusung negara. Kata dia, semisal bercita-cita menjadi poros maritim dunia, maka seharusnya anggaran dititikberatkan pada matra laut dan udara.
Sementara itu, pengamat militer Meidi Kosnadi menyebut, PMK 164/2019 menyuguhkan aneka skenario.
Pertama, memberikan kemudahan mengimpor untuk membangun industri pertahanan nasional. Kedua, mempermudah mengembangkan kerja sama di ranah industri pertahanan dalam negeri.
Di sisi lain, ia menyayangkan bila skenario beleid itu lebih mengarah pada kemudahan untuk mengimpor senjata. Alasannya, hal itu sangat jelas tidak mencerminkan usaha prioritas mengembangkan industri pertahanan nasional.
“Justru terlihat lebih memfokuskan pada upaya menghemat pengeluaran dalam rangka memungkinkan pembelian alutsista,” kata dia saat dihubungi, Selasa (26/11).
“(Kalau) itu tujuannya untuk meningkatkan efektivitas dari anggaran, untuk mengimpor alutsista lebih banyak.”
Meidi menilai, anggaran Kemhan yang jumbo, jauh lebih berat untuk belanja pegawai, dengan persentase di atas 60%. Penambahan nilai anggaran, kata dia, cukup untuk mengatasi peningkatan belanja pegawai.
Lagi pula, pemotongan bea masuk impor memungkinkan bagi importir untuk menjual atau membeli barang dan bahan baku, dengan harga lebih murah. Menurutnya, dengan adanya beleid itu, industri pertahanan nasional lebih mudah mengikuti program pemerintah.
“Sehingga untuk perusahaan distributor alutsista negara lain sangat dimudahkan. Itu bisa membantu efisiensi dalam mencapai target yang lebih besar,” ujar Meidi.