close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi. Foto Pixabay.
Nasional
Sabtu, 08 Juli 2023 12:50

Anggota DPR minta sanksi bagi RS yang tolak pasien masuk dalam RUU Kesehatan

Pasal sanksi kepada rumah sakit sudah tercantum dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan. Ada upaya pasal ini dihapus.
swipe

Pro-kontra RUU Kesehatan masih terus berlangsung. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ribka Tjiptaning Proletariat menegaskan agar pasal sanksi pada rumah sakit yang menolak pasien di unit gawat darurat (UGD) yang sudah ada dalam UU No 36/2009 Tentang Kesehatan tetap masuk dalam RUU tersebut.

"Pasal sanksi pada rumah sakit adalah untuk memastikan keselamatan pasien yang datang ke UGD rumah sakit dan kaitannya dengan tanggung jawab rumah sakit. Pasal ini sudah tercantum dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan. Ada upaya pasal ini dihapus," ujarnya, dikutip Sabtu (8/7). 

Dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan meminta uang muka. Adapun bagi rumah sakit yang melakukan penolakan pasien dalam keadaan darurat disinggung dalam Pasal 190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tepatnya, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.

"Pasal ini memastikan negara ikut bertanggung jawab melayani rakyat yang menjadi pasien yang membutuhkan pertolongan darurat di rumah sakit. Jangan sampai tidak tercantum," ujar mantan Ketua Komisi IX DPR itu.

Sekarang saja, menurutnya, walaupun sudah ada sanksi yang tegas dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan, namun tetap saja masih banyak keluhan penolakan pasien dengan berbagai alasan dan modus.

"Hal itu tidak terekspos, namun laporan tetap masuk ke kami di DPR. Ada upaya menghilangkan sanksi tersebut dalam RUU Kesehatan yang baru ini," ujarnya.

Tjiptaning menyebutkan kekurangan bed, dokter, dan peralatan selalu menjadi alasan penolakan pasien di UGD dan membuat repot pasien. Selain itu juga bisa berakibat fatal. 

"Apalagi kalau pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), semua rumah sakit kompak menolak pasien, BPJS," paparnya.

Menurutnya UU Kesehatan yang digodok DPR saat ini harus membawa perubahan mendasar bagi masyarakat secara nyata. Namun dirinya tidak menepis ada banyak kepentingan bisnis kesehatan dalam dan luar negeri yang menunggangi kelahiran undang-undang tersebut.

"Yang paling mendasar adalah kepentingan seluruh 270 juta rakyat Indonesia. Jangan bebani rakyat dengan iuran BPJS Kesehatan. Seluruh rakyat berhak berobat di kelas 3 sampai sembuh atas biaya negara lewat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)," tuturnya.

Kemudian, perlunya memastikan sanksi dan pidana bagi rumah sakit dan petugas yang menolak pasien di seluruh rumah sakit.

Kedua kepentingan rakyat itu menurut Tjiptaning yang paling mendasar karena bersangkutan dengam keselamatan jiwa rakyat yang menjadi pasien yang membutuhkan perlindungan negara.

"Ini perintah tercantum dalam Pancasila dan UUD 45 yang asli. Jika UU tanpa kepastian keselamatan rakyat berarti menginjak-injak Pancasila dan UUD 45. Artinya memusuhi rakyat," katanya. 

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan