Pemerintah didesak segera menerbitkan aturan turunan pelaksana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Aturan teknis UU ini akan membuat UU TPKS bisa berlaku efektif di lapangan oleh penegak hukum.
Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menegaskan, aturan teknis UU TPKS akan menjadi jaminan kepastian hukum dalam pengusutan kasus-kasus kekerasan seksual yang masih marak terjadi. "Saat ini kita berpotensi menghadapi situasi darurat kekerasan seksual, sehingga harus ada gerak cepat dari pemerintah," kata Didik dalam keterangan tertulis, Selasa (6/6).
Diakui politikus Fraksi Partai Demokrat ini, implementasi UU TPKS belum efektif lantaran belum ada aturan teknis. Menurut Didik, kasus kekerasan seksual di Indonesia bisa menjadi fenomena gunung es apabila sumber permasalahan yang lebih besar tidak segera tertangani dengan baik.
Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat 11.016 kasus kekerasan seksual pada 2022. Dari jumlah itu, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 atau naik dari tahun sebelumnya 4.162 kasus.
Sementara menurut Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65% dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.
"Untuk itu saya berharap agar pemerintah segera memprioritaskan penyelesaian aturan teknis UU TPKS agar penegakan hukumnya bisa masksimal dan optimal," pinta dia.
Menurut Didik, substansi UU TPKS cukup komprehensif dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual karena sudah mencakup berbagai pengaturan. Pengaturan di UU TPKS, kata dia, idealnya mampu memberikan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum terkait dengan berbagai kasus kekerasan seksual.
Lewat UU TPKS, penyidik kepolisian secara hukum harus menerima pengaduan perkara kekerasan seksual dalam bentuk apapun. Penyidik kepolisian tidak boleh menolak pengaduan. Namun, aturan tidak boleh menolak ini belum berjalan sepenuhnya.
Didik menyoroti banyaknya laporan dari pendamping korban kekerasan seksual ihwal penolakan penyidik kepolisian menggunakan UU TPKS. Ini, kata dia, mestinya tak terjadi. Hal ini merujuk pada surat telegram Kapolri Nomor ST/1292/VI/RES.1.24/2022 yang meminta semua kapolda di semua wilayah untuk menegakkan UU TPKS.
Pada praktiknya, sejumlah penyidik kepolisian menolak menggunakan UU TPKS dengan berbagai alasan. Mulai dari menunggu Peraturan Pemerintah (PP), belum ada petunjuk pelaksanaan dan teknis dari institusi hingga alasan nyaman dengan aturan lama.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur IX ini juga mengeluhkan ulah penegak hukum yang masih kerap merespons kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan paradigma perlindungan korban. Oleh karenanya itu, kata Didik, dibutuhkan penerapan UU TPKS agar ada pengakuan dan jaminan hak-hak korban kekerasan seksual.