Pengacara jurnalis Tempo, Nurhadi, Fatkhul Khoir menyayangkan putusan Polda Jawa Timur (Jatim) terhadap Brigadir Firman Subkhi. Dalam sidang disiplin di Polda Jatim, Selasa (27/5), Brigadir Firman Subkhi, personel Polda Jatim yang menjadi terdakwa perkara penganiayaan terhadap jurnalis Nurhadi divonis hukuman kurungan selama 14 hari.
Sidang disiplin ini mendatangkan jurnalis Nurhadi dan rekan Firman Subkhi, Bripka Purwanto, sebagai saksi.
Menurut Fatkhul hukuman terhadap Brigadir Firman tidak mempertimbangkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur yang telah menyatakan terdakwa bersalah.
Di PN Surabaya, Firman Subkhi dan Purwanto divonis 10 bulan penjara. Kemudian di pengadilan tingkat banding di PT Jawa Timur, keduanya tetap dinyatakan bersalah namun hukumannya diringankan menjadi 8 bulan penjara.
"Selain itu putusan ini tidak akan memberikan efek jera. Padahal kami berharap hukumannya lebih berat agar ke depan tidak ada lagi peristiwa kekerasan terhadap jurnalis," ujar Fatkhul Khoir dalam keterangan pers, Rabu (18/5).
Hal senada disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer. Menurutnya, putusan PN Surabaya yang menyatakan dua terdakwa bersalah merupakan sebuah terobosan. Mengingat ini adalah pertama kalinya polisi yang menghalang-halangi kebebasan pers dinyatakan bersalah dan dijerat dengan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
"Vonis dalam sidang disiplin ini antiklimaks. Kami sudah berharap agar hukuman dari internal Polri lebih berat karena tindakan terdakwa sudah mencoreng institusi Polri," kata Eben Haezer.
Meski demikian, di sidang kasasi berikutnya, vonis untuk kedua terdakwa bisa lebih berat dibandingkan putusan dari pengadilan tingkat satu maupun pengadilan tingkat banding. Memang, perkara penganiayaan terhadap jurnalis Nurhadi ini akan berlanjut ke tingkat kasasi.
Eben menyebut, setelah putusan sidang Pengadilan Tinggi, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum sama-sama mengajukan kasasi.
"Kami berharap putusan hakim pengadilan tingkat kasasi nanti lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat, khususnya para jurnalis,"kata Eben.
"Terus terang, putusan sidang PN Surabaya saja bagi kami belum setimpal, apalagi putusan tingkat banding yang malah mengurangi masa hukuman dari 10 bulan menjadi 8 bulan," imbuhnya.
Dia menambahkan, ada beberapa hal yang menurutnya mesti menjadi pertimbangan hakim untuk memberi hukuman yang lebih berat. Salah satunya ialah status dua terdakwa yang berlatarbelakang anggota Polri.
Di PN Surabaya maupun di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, hal itu sama sekali tidak dijadikan sebagai hal yang memberatkan terdakwa.
"Padahal polisi tugasnya adalah mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Tindakan mereka juga mencoreng nama baik institusi Polri," sambungnya.
Seperti diketahui, Nurhadi menjadi korban penganiayaan saat melakukan reportase di Gedung Samudra Bumimoro, Sabtu, 27 Maret 2021. Di lokasi tersebut, Nurhadi berencana meminta keterangan terkait kasus dugaan suap yang dilakukan oleh bekas Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu, Angin Prayitno Aji yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saat itu, sedang berlangsung pernikahan antara anak Angin Prayitno Aji dengan putri Kombes Pol Achmad Yani, mantan Karo Perencanaan Polda Jatim.
Dalam peristiwa tersebut, Nurhadi tak hanya dianiaya oleh para pelaku yang berjumlah sekitar 10 sampai 15 orang. Pelaku juga merusak sim card di ponsel milik Nurhadi serta menghapus seluruh data dan dokumen yang tersimpan di ponsel tersebut.
Setelah peristiwa itu, Nurhadi melaporkan kasus tersebut ke Polda Jatim dengan didampingi Aliansi Anti-Kekerasan Terhadap Jurnalis yang beranggotakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, KontraS, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, LBH Pers.