close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah aktivis Papua ditangkap usai melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka akhir Agustus 2019. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Sejumlah aktivis Papua ditangkap usai melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka akhir Agustus 2019. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Sabtu, 14 September 2019 09:00

Anomali penangkapan aktivis Papua dan penetapan tersangka Veronica Koman

Beberapa waktu lalu, polisi menangkap sejumlah aktivis Papua dan menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka.
swipe

Pascakerusuhan di beberapa kota di Papua dan Papua Barat, polisi sigap menangkap terduga provokator dan aktivis Papua. Akhir Agustus 2019, polisi menangkap delapan mahasiswa yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Merdeka pada 28 Agustus 2019.

Dua orang dipulangkan, sedangkan enam orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan makar. Salah seorang dari enam yang menjadi tersangka adalah juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta Ginting.

Yang paling menyita perhatian adalah penetapan tersangka terhadap pegiat hak asasi manusia (HAM) sekaligus pengacara mahasiswa Papua Veronica Koman pada 4 September 2019. Veronica ditetapkan sebagai tersangka dugaan provokasi dan penyebaran hoaks terkait ricuh di asrama Papua, Surabaya, melalui media sosial.

"Coba cek Twitter-nya saja. Foto-foto, video-video, dan narasi-narasi sudah dijadikan bukti untuk mentersangkakan yang bersangkutan (Veronica Koman). Itu urusan penyidik yang paham,” ujar Kepala biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo saat dihubungi Alinea.id, Rabu (11/9).

Dihubungi terpisah, aktivis Papua Arkilaus Baho menegaskan, penangkapan aktivis yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, bukanlah pangkal persoalan. Simbolisasi, kata dia, hanya suatu kebanggaan, bukan dalam konteks memisahkan diri dari Indonesia.

Aksi damai mahasiswa Papua di Jawa Timur beberapa waktu lalu. /Antara Foto.

“Apakah dengan berkibarnya bendera Bintang Kejora, saat itu juga Papua lepas dari NKRI? Ribut soal simbol-simbol atau lambang, tidak berpengaruh pada masalah kesejahteraan. Apakah ketika dengan mengibarkan Bintang Kejora atau Merah Putih otomatis maju, makmur, dan berkembang? Tak ada,” ujar Arkilaus saat dihubungi, Selasa (10/9).

Menurutnya, penangkapan itu berlebihan. Sementara untuk kasus Veronica Koman, Arkilaus mengatakan, Veronica memang berada di lokasi kejadian, yakni asrama mahasiswa Papua di Surabaya, ketika kericuhan terjadi. Veronica, kata dia, tentu tahu detail peristiwa itu.

“Saksi mata kok disebut hoaks? Apalagi, Ibu Vero sendiri pembela HAM, yang sudah terbukti terjun membela para aktivis Papua selama ini. Pembela HAM dicap provokator, kapan majunya penegakan hukum dan HAM di negara ini?” kata dia.

Ditemui usai diskusi bertajuk “Papua dalam Dialog: Mencari Alternatif Bagi Penyelesaian Konflik dan Ketidakadilan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, pengacara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Mike Himan menganggap, apa yang ditulis Veronica di status media sosialnya bukanlah hoaks.

“Ia hanya menyuarakan kemanusiaan masyarakat Papua. Menurut kami, Vero bukanlah provokator,” ujar Mike di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/9).

Cari perhatian internasional

Pendapat berbeda datang dari pendiri lembaga analisis media sosial Drone Emprit Ismail Fahmi. Ia mengatakan, sebelum ditetapkan sebagai tersangka dan usai kericuhan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Veronica Koman aktif memberikan informasi di akun media sosial FRI West Papua dan sejenisnya.

“Veronica dulu-dulu sih enggak ikutan menyampaikan informasi. Akhir-akhir ini, dia berperan sebagai penyebar informasi, fakta-fakta, dan data yang cocok dengan FRI West Papua. Veronica selalu menggunakan bahasa Inggris, foto, dan video yang selama ini diblokir pemerintah,” kata Ismail saat dihubungi, Rabu (11/9).

Ismail menuturkan, sebenarnya sudah sejak lama isu Papua di luar negeri bergulir lewat media sosial. Akun FRI West Papua dan sejenisnya, membangun jaringan internasional dengan frekuensi percakapan yang stagnan, sebelum Veronica ikut aktif menyebar informasi.

Ismail menilai, kontranarasi pemerintah dalam bahasa Inggris untuk konsumsi internasional sangat minim. Meski mayoritas media lokal mengabarkannya dengan sumber keterangan tunggal dari polisi.

Ia menjelaskan, media asing melahap informasi dari akun Veronica sebagai bahan berita. Terpercaya atau tidak, kata Ismail, pembatasan akses pemerintah terhadap jurnalis membuat media asing memungut informasi dari Veronica.

Aksi unjuk rasa di Papua beberapa waktu lalu. /Antara Foto.

“Infomasi dari FRI West Papua banyak di-share media internasional, seperti The Guardian, Al-Jazeera, Times, dan Reuters. Semua berita media lokal di-share Veronica Koman sendiri, sehingga internasional segera tahu, misalnya saat paspornya dicabut,” tutur Ismail.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha mengatakan, bila Veronica terbukti menyebarkan hoaks, maka pantas dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurutnya, para aktivis boleh menyuarakan aspirasi, asal untuk kemajuan sistem pemerintahan di sana.

“Selagi dalam konteks NKRI. Mereka menyuarakan minta segera diterbitkan peraturan pemerintah untuk UU Otsus (Undang-Undang Otonomi Khusus). Itu bagus. Harus ada dialog, bukan sekadar menyuarakan yang ujungnya melukai NKRI,” ujar Satya saat ditemui usai diskusi bertajuk “Membedah UU Otsus Papua. Telaah Upaya Pemerintah Redam Konflik di Bumi Cenderawasih” di Kompleks DPR, Jakarta, Selasa (10/9).

Ia mengaku prihatin dengan manuver Ketua Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda yang menunggangi pemerintah Vanuatu, agar bisa berbicara di forum internasional. Menurutnya, gerakan-gerakan provokasi yang berupaya mencari perhatian dunia tersebut seakan-akan sudah disiapkan, sebagai bagian dari serangkaian insiden.

“Jangan sampai orang cerdik di Papua memanipulasi seluruh orang Papua. Makanya, kawan-kawan Papua silakan protes terhadap pembangunan pemerintah pusat. Saya salut, kritiklah kalau memang belum tepat sasaran,” ucapnya.

Mempertanyakan penetapan tersangka

Satya pun menanggapi kasus pengibaran bendera Bintang Kejora yang berujung penangkapan sejumlah aktivis beberapa waktu lalu. Ia mengizinkan pengibaran bendera itu, asal didampingi dengan bendera Merah Putih dengan posisi lebih tinggi.

Ia berkaca dari pemerintahan di bawah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia percaya, bila berdampingan dengan bendera Merah Putih, Bintang Kejora akan menjadi bendera kultural masyarakat Papua.

“Jangan berdiri sendiri, digotong-gotong sambil teriak Papua merdeka,” tutur Satya.

Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Arif Nurfikri mempertanyakan penangkapan dan tuduhan makar terhadap aktivis Papua pengibar bendera Bintang Kejora di depan Istana Merdeka.

“Apakah penangkapan tersebut murni proses penegakan hukum atau proses politik pemerintah? Penangkapan itu terjadi setelah aksi kebebasan berekspresi berlangsung,” kata Arif saat dihubungi, Rabu (10/9).

Setelah kerusuhan di beberapa kota di Papua dan Papua Barat, polisi sigap menangkap aktivis Papua. Alinea.id/Oky Diaz.

Penangkapan yang berlangsung pada 30 dan 31 Agustus 2019, kata Arif, merupakan respons dari pernyataan pemerintah terkait aksi di depan Istana Merdeka pada 28 Agustus 2019. Di samping itu, jika dijerat dengan tuduhan makar, Arif mengatakan, seharusnya terdapat penyerangan saat aksi unjuk rasa berlangsung.

“Posisinya mereka (tersangka dugaan makar) masih ditahan di Mako Brimob. Kita masih mengupayakan agar ada proses pemindahan dari Mako Brimob ke tahanan Polda,” ujar Arif.

Merespons penetapan sebagai tersangka terhadap Veronica Koman, Arif menuturkan, hal itu sebagai bentuk kriminalisasi kepada pegiat HAM. Ia mengatakan, polisi tidak menguji terlebih dahulu perkara informasi yang disampaikan Veronica itu valid atau tidak, sebelum ia ditetapkan sebagai tersangka.

Ia curiga, pemerintah kesal terhadap informasi dugaan pelanggaran HAM yang disampaikan Veronica. Meski, kata dia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah merinci aturan partisipasi publik dalam pemenuhan HAM.

"Cuitan Veronica Koman pernah disebut hoaks oleh Kominfo, kemudian dibatalkan Kominfo. Berarti kan Kominfo yang salah. Saya memahami Vero karena dia juga paham hukum. Makanya dia mengeluarkan informasi itu karena sudah diverifikasi," tutur Arif.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan