close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi perempuan Jawa yang mengenakan konde, seperti gambaran isi puisi Sukmawati Soekarno Putri
icon caption
Ilustrasi perempuan Jawa yang mengenakan konde, seperti gambaran isi puisi Sukmawati Soekarno Putri
Nasional
Jumat, 06 April 2018 15:22

Antara Bapak dan Ibu Indonesia

Puisi ‘Ibu Indonesia’ bukan debut kepenulisan tunggal Sukmawati. Ia juga pernah menunjuk hidung ‘Bapak Orde Baru’ lewat bukunya pada 2011.
swipe

Medio 40-an SM, Roma bergolak. Pasalnya sang imperator Julius Caesar dituding lebih banyak membunuh waktu di negara jajahan, ketimbang mengurus negara. Senat pecah jadi dua kubu, satu mendukung Caesar, sisanya ingin kekuasaan pemimpin Romawi itu tamat.

Perpecahan di kalangan senat ini mulanya berhasil diredam Caesar. Lantaran kepiawaiannya meyakinkan orang, akhirnya ia berhasil mengukuhkan statusnya sebagai diktator Roma. Karena posisinya kembali menguat, ia mengundang Ratu mesir terakhir Cleopatra, yang notabene adalah kekasih gelapnya untuk bertandang ke Roma.

Undangan Caesar itu justru jadi modal lawan politiknya untuk melancarkan serangan balik. Mereka menjatuhkan reputasi Caesar dengan menyebut Cleopatra sebagai gundik, pelacur, dan istri simpanan. Terlebih kala itu Cleopatra tengah mengandung anak kandung Caesar, yang belakangan dinamai Ptolemy Caesar.

Merasa tak terima, Cleopatra membongkar skandal percintaannya dengan Caesar. Ia bahkan terang-terangan menyebut anaknya adalah pewaris sah Romawi. Tindakan itu menjadi angin segar bagi kelompok Republikan yang dimotori Brutus dan Cassius. Mereka memang dari awal berniat merebut kekuasaan, karena tak sepakat dengan konsep diktator seumur hidup yang dilagukan Caesar.

Singkat cerita, Caesar tewas ditikam Brutus saat pergumulan itu sedang panas-panasnya. Sementara Cleopatra tetap dilabeli sebagai perempuan cerdik dan licik yang jadi simpanan Caesar. Akhir yang tragis.

Cerita nyata itu dinarasikan ulang sutradara Hollywood Joseph L. Mankiewicz dalam film bertajuk “Cleopatra” (1963). Entah mengapa film ini begitu membekas di ingatan Sukmawati Soekarno Putri. Bagi putri Soekarno itu, film ini begitu pas mewakili apa yang dirasakan sang ayah dan keluarganya di penghujung 1965.

“Dari cerita sejarah itu, aku belajar tentang nilai kesetiaan dan pengkhianatan. Bahwa seorang Kaisar Romawi Julius Caesar dikhianati oleh seorang Brutus, merupakan suatu tragedi yang mengerikan dan bisa terjadi. Pada kenyataanya, bahwa tragedi pengkhianatan terjadi juga pada abad ke-20, tanggal 1 Oktober 1965, di Indonesia,” tulis Sukmawati dalam bukunya bertajuk “Creeping Coup D’etat” (2011).

Buku ini menjadi kesaksian Sukmawati terhadap apa yang terjadi pasca Gerakan 30 September (G 30S), atau yang dipelintir Soeharto dengan istilah Gestok.

Menurut Sukmawati, kudeta terhadap Soekarno bukan dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan Dewan Jenderal yang dikendalikan Soeharto. Tentara Angkatan Darat dijadikan sebagai alat mayor jenderal tersebut. Namun naas, Dewan jenderal yang sesungguhnya justru dihabisi Soeharto. Di sisi lain, pemimpin PKI DN Aidit sempat terkecoh dengan intrik internal Angkatan Darat, sehingga melancarkan aksi di malam 30 September 1965 silam.

Mengutip teori Cornell oleh Ben Anderson, empat tahapan kudeta biasanya berupa menargetkan presiden sebagai buruan, kedua panglima, ketiga orang di lingkaran kekuasaan, dan terakhir partai pendukung.

Namun menurut Sukmawati, kudeta pada ayahnya ditempuh dengan langgam berbeda. Pertama jenderalnya dulu yang dibantai. Kedua, menteri-menterinya sejumlah 16 orang di Kabinet Trikora, yang ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan pada 18 Maret 1966. Padahal, hanya presiden yang berwenang mendemisionerkan kabinetnya.

Lalu tahapan ketiga, pembantaian partai pendukung Soekarno, PKI. Sukmawati juga mengenang kejadian saat Letjen Suharto sebagai Pengemban Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) membubarkan PKI. Padahal, presiden dan pimpinan parpol yang berwenang membubarkan partai politik.

Surat perintah sebelas Maret (Supersemar) yang dijadikan senjata ampuh Soeharto, tulis sejarawan Asvi Warman Adam, bukan keluar secara mendadak atau bukan inisiatif mendadak M. Jusuf, Basuki Rahmat, dan Amir Machmud. Pada 9 Maret 1966 Soeharto melalui Jenderal Alamsyah telah mengutus dua penguasa yang dekat Bung Karno (Dasaad dan Hasyim Ning) ke Istana Bogor untuk membujuk beliau menyerahkan pemerintahan.

“Tidak berhasil dibujuk, maka dilakukan penekanan terhadap Bung Karno, antara lain dengan demonstrasi besar-besaran mahasiswa pada 11 Maret 1966,” ujar penulis buku “Pelurusan Sejarah Indonesia” (2007) ini.

Terkait pembantaian PKI, sudah bukan rahasia umum jika Soeharto merestui seluruh upaya genosida massal simpatisan dan pengurus PKI pasca peristiwa Gestok. Indonesianis John Rosaa menulis dalam “Dalih Pembunuhan Massal”, pembantaian manusia ini terjadi saat dunia tengah berada dalam masa genting Perang Dingin.

Pembunuhan enam jenderal, dan cerita-cerita rekayasa bahwa mereka disiksa terlebih dahulu oleh perempuan-perempuan komunis, tulisnya, dipakai untuk meningkatkan perasaan anti-komunis. Hanya dalam beberapa hari, TNI Angkatan Darat bersama milisi-milisinya menyebar ke seantero negeri, menahan siapa saja yang terkait dengan PKI berserta organisasi-organisasi buruh dan taninya.

“Kemudian, biasanya pada malam hari, mereka yang ditahan dibawa keluar dan ditembak, dipenggal kepalanya, atau ditikam hingga mati. Milisi-milisi binaan TNI-Angkatan Darat umumnya yang melakukan pembantaian ini, yang anggota-anggotanya berasal dari preman-preman atau pemuda anggota dua organisasi muslim di negeri ini. Para korban dikuburkan secara massal atau dibuang begitu saja ke sungai. Banyak cerita-cerita mengerikan tentang sungai-sungai ini di Jawa, Sumatra, Bali, yang penuh sesak dengan mayat sehingga air berubah menjadi merah,” tulisnya, dikutip dari Tribunal1965.

Tahap terakhir, yang mengiringi pembantaian manusia itu adalah penyingkiran Soekarno. “Baru presidennya disingkirkan tidak boleh memerintah kembali,” kata perempuan kelahiran 26 Oktober 1951 tersebut.

Karena dikudeta perlahan dan diperlakukan tak adil, Sukmawati dalam buku ini ingin menegaskan, ia tak pernah memaafkan pria yang ia sebut “Brutus” itu.

Asvi Marwan Adam dalam pengantarnya di buku setebal 160 halaman ini mempertegas situasi politik yang terjadi pada 1965. Menurutnya, jatuhnya Soekarno bukan hanya karena kudeta merangkat Soeharto, tapi juga kudeta MPRS yang punya visi mengantar Soeharto sebagai RI-1. Kudeta merangkak menceritakan seluruh rangkaian kejadian secara bertahap sejak 1 Oktober 1965 hingga 1966.

Saat peristiwa Gestok terjadi, Sukma menulis, "Saya adalah saksi sejarah yang masih remaja, yang merasakan suasana dan dampak dari peristiwa yang sangat mengejutkan itu. Suatu peristiwa yang masih merupakan misteri penuh teka-teki dalam hidup saya."

Dalam kenangan Sukmawati, Soekarno berada dalam posisi nadir setelah Soeharto sukses menggoyang posisinya sebagai Presiden Indonesia. “Baru kali ini aku melihat ekspresi wajah Bapak seperti saat itu. Terlihat suatu ‘shock’ dan kesedihan dalam jiwanya. Kasihan Bapak,” tulisnya.

Soekarno memang disingkirkan dari kursi presiden dan terpaksa mati getir sebagai tahanan rumah. Sebuah realitas yang dianggap Sukmawati tak adil, diterima seorang Bapak Negara yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bersama tokoh revolusi lainnya. Karena sakit hati yang sangat melihat ayahnya dikudeta perlahan dan diperlakukan tak adil, Sukmawati menegaskan tak akan pernah memaafkan Soeharto.

Buku ini sendiri sebetulnya adalah ihtiar putri Fatmawati itu untuk mengubah paradigma yang menyudutkan PKI dan PNI, yang bertebaran dalam semua literatur sejarah Indonesia. Terbitan kerja sama Yayasan Bung Karno dan media Pressindo ini secara khusus mengulas kronologi kudeta Soeharto pada Soekarno.

Ilustrasi perempuan berkonde, sebuah adegan di film "Kartini"./ Instagram Ayushita

Terbitnya buku ini menjadi pengukuhan sikap Sukmawati yang ingin menunjukkan ketertarikan pada dunia seni budaya dan kepenulisan. Perempuan yang pernikahannya pernah kandas ini sebelumnya juga menulis sekumpulan puisi “Ibu Indonesia”, yang belakangan diperbincangkan karena dinilai menistakan Islam.

Salah satu puisi yang dibacakan Sukmawati, ditukil dari buku itu berbunyi sebagai berikut:

Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci

Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka

Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan

Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia

Saat penglihatanmu semakin asing

Supaya kau dapat mengingat

Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif

Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azan mu

Gemulai gerak tarinya adalah ibadah

Semurni irama puja kepada Illahi

Nafas doanya berpadu cipta

Helai demi helai benang tertenun

Lelehan demi lelehan damar mengalun

Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia

Saat pandanganmu semakin pudar

Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu

Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Puisi itu sedianya dibuat untuk mengajarkan generasi supaya tak mudah lupa hakikat dan jati diri kebangsaan. Namun sejumlah kalangan menilai puisi ini justru melecehkan Islam, karena bait-bait di dalamnya yang cenderung tendensius.

Kini mantan ketua Umum PNI Marhaenis ini terancam dimejahijaukan usai laporan yang deras mengalir ke kepolisian sejak dua hari lalu. Akankah ia tetap menulis karenanya atau ini adalah penanda berakhirnya hobi kepenulisan dia?

img
Purnama Ayu Rizky
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan