Anwar Usman "didepak" dari kursi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) karena terbukti melanggar etik berat. Ia pun dilarang kembali maju untuk meraih posisi tersebut hingga kariernya berhenti.
Adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu juga dilarang terlibat dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu), baik nasional maupun daerah, yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
Itulah putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK), Selasa (7/11), atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi tentang Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Akibat Putusan MK 90/2023, ponakan Anwar sekaligus putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, bisa menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto pada Pemilu 2024.
MKMK setidaknya menerima 21 laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim MK dalam menangani Putusan 90/2023. Anwar Usman menjadi terlapor terbanyak dibandingkan 8 hakim konstitusi lainnya dengan 15 laporan.
Respons Anwar Usman
Gayung bersambut, kata berjawab. Anwar tampak kesal karena dilengserkan. Ia justru menuding ada skenario mendiskreditkannya melalui putusan MKMK tersebut.
"Sesungguhnya saya mengetahui dan telah mendapat kabar upaya melakukan politisasi dan menjadikan saya objek dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan MK terakhir maupun pembentukan MKMK. Saya telah mendengar jauh sebelum MKMK terbentuk," tuturnya dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, pada Rabu (8/11).
Anwar juga menyayangkan sidang kode etik MKMK digelar secara terbuka. Menurutnya, sesuai aturan MK, sidang seharusnya digelar tertutup.
"Hal itu secara normatif, tentu menyalahi aturan dan tidak sejalan dengan tujuan dibentuknya Majelis Kehormatan, yang ditujukan untuk menjaga keluhuran dan martabat hakim konstitusi, baik secara individual maupun secara institusional," tuturnya.
Selain itu, Anwar merasa difitnah dalam menangani Perkara Nomor 90/2023. "Fitnah yang sangat keji dan tidak berdasar atas hukum dan fakta."
Ia sesumbar tidak ada konflik kepentingan dalam memutuskan perkara tersebut. Kilah eks Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung (MA) ini, ia tetap mematuhi asas dan norma berlaku.
Anwar lantas menerangkan, pengujian undang-undang di MK bersifat umum (publik), bukan pribadi atau individual yang bersifat privat. Berdasarkan yurisprudensi dan norma hukum berlaku, ia bertanya, apakah sebagai hakim konstitusi dan Ketua MK harus mengingkari putusan-putusan terdahulu.
"Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87A karena norma tersebut menyangkut jabatan ketua dan wakil ketua, dan ketika itu saya adalah Ketua MK, meskipun menyangkut persoalan diri saya langsung, namun saya tetap melakukan dissenting opinion, termasuk kepentingan langsung Prof. Saldi Isra dalam Pasal 87B terkait usia yang belum memenuhi syarat," bebernya.
Sidang sengketa pemilu
Sementara itu, pakar hukum tata negara UPN Jakarta, Wicipto Setiadi, mengatakan, putusan MKMK sesuai perkiraan masyarakat. Yakni, MKMK hanya fokus mendalami dugaan pelanggaran etik yang terjadi.
Di sisi lain, MK harus tetap bersiap dengan adanya potensi sengketa hasil pemilu dalam beberapa bulan ke depan. Utamanya menyangkut perolehan suara pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Menurut Wicipto, posisi ketua yang sudah kosong untuk sementara tidak perlu dipusingkan. Sebab, masih ada wakil ketua.
"Tidak harus selalu ketua MK [mengadili gugatan]. Majelisnya yang penting paling tidak 7 orang," katanya kepada Alinea.id, Rabu (8/11).
Berdasarkan Putusan MKMK 02/2023, Wakil Ketua MK, Saldi Isra, diperintahkan memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan baru sesuai peraturan dalam waktu 2x24 jam sejak putusan itu dibacakan. Putusan dibacakan MKMK pada Selasa malam.
Lebih jauh, Wicipto mengungkapkan, digugatnya Putusan MK 90/2023 patut dicermati. Sebab, bisa menjadi pintu untuk "menjegal" Gibran pada Pilpres 2024.
Gugatan tersebut diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana, dan teregister dalam Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023. MK telah mengadakan sidang perdana siang tadi.
Wicipto melanjutkan, apabila gugatan tersebut diterima untuk diulas kembali, semua persiapan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), setidaknya disiapkan ulang. Artinya, pelaksanaan pemilu takkan matang karena persiapan dilakukan dengan kebut.
"Kecuali kalau nanti misalnya judicial review terhadap pasal yang sama, kemudian MK mengeluarkan putusan yang mengoreksi Putusan Nomor 90, itu akan berakibat ke [kinerja] penyelenggara pemilu," bebernya.