Mencermati anggaran DKI 2020, dari renovasi rumah dinas hingga antivirus
Sejumlah pihak menganggap beberapa usulan anggaran di dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD tahun 2020 merupakan pemborosan. Total anggaran di dalam draf KUA–PPAS sebesar Rp95,99 triliun, naik dibandingkan APBD 2019 sebesar Rp89 triliun.
Setidaknya, ada tiga usulan anggaran yang menjadi sorotan publik. Pertama, pengadaan perangkat lunak antivirus yang mencapai Rp12 miliar, kenaikan anggaran Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) sebesar Rp26,5 miliar, dan renovasi rumah dinas Gubernur DKI Jakarta sebesar Rp2,4 miliar.
“Ini yang akan kami perdalam di rapat Banggar (Badan Anggaran DPRD DKI) selanjutnya. Saya yakin, anggota Banggar di periode 2019-2024 mumpuni untuk mencermati anggaran-anggaran tak penting, yang tak bermanfaat langsung bagi warga,” kata calon Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2019-2024, Prasetio Edi Marsudi saat dihubungi Alinea.id, Selasa (8/10).
Bahkan, politikus PDI-P itu mengatakan, Banggar DPRD DKI bakal memangkas usulan anggaran tak produktif yang ada di dalam draf KUA-PPAS 2020.
Dihubungi terpisah, anggota DPRD DKI dari Fraksi NasDem Wibi Andrino menjelaskan, kenaikan anggaran itu karena banyak program, terutama 73 program prioritas Gubernur DKI Jakarta yang harus direalisasikan.
"73 itu janji kampanye dia yang harus direalisasi dalam program, itu yang dilihat. Misal, dia mau fokus pada pengelolaan sampah, Stadion BMW, arena Formula I, dan sebagainya," katanya saat dihubungi, Selasa (8/10).
Anggaran TGUPP naik
Prasetio Edi Marsudi menyoroti usulan anggaran TGUPP yang setiap tahun mengalami kenaikan. Bila diperhatikan di situs web Apbd.jakarta.go.id, anggaran TGUPP DKI Jakarta memang terus naik sejak 2017. Pada 2017 di dalam APBD, anggaran TGUPP sebesar Rp1,69 miliar, tetapi diturunkan menjadi Rp1 miliar dalam perubahan APBD 2017.
Lalu, dalam APBD 2018, anggaran itu naik menjadi Rp19,8 miliar. Namun, direvisi menjadi Rp16,2 miliar dalam perubahan APBD 2018. Di dalam APBD 2019, anggarannya kembali naik menjadi Rp19,8 miliar, tetapi kembali pula direvisi dalam perubahan APBD 2019 menjadi Rp18,9 miliar. Anggaran itu diusulkan menjadi Rp26,5 miliar pada 2020.
“Ini yang perlu diaudit karena mereka (TGUPP) ini kan non-PNS, yang gajinya menggunakan APBD. Kami perlu dalami aspek pekerjaannya apa, ada berapa orang yang bekerja. Apa perlu anggarannya sebesar itu,” ujar Prasetio.
Hal senada dikatakan Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Gembong Warsono. Dia meminta, anggaran TGUPP agar dipangkas seluruhnya.
“Lebih baik di-nol-kan. Kalau Pak Gubernur masih membutuhkan TGUPP silakan, tapi jangan dibebankan APBD, gunakan saja operasional gubernur,” katanya saat dihubungi, Senin (7/10).
Berbeda dengan Prasetio dan Gembong, anggota DPRD DKI dari Fraksi Golkar Judistira Hermawan justru menilai penting keberadaan TGUPP. Terlebih, saat ini gubernur tak punya wakil. Menurut dia, TGUPP yang notabene orang kepercayaan gubernur, bisa memberikan masukan-masukan soal kebijakan yang hendak diputuskan.
Atas dasar alasan itu, Judistira menolak usulan pemangkasan anggaran untuk TGUPP. Meski begitu, dia menyarankan Anies untuk merevisi Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2019 tentang TGUPP. Sebab, dengan pergub yang sebelumnya mengalami revisi itu, jumlah anggota TGUPP menjadi tak terbatas.
“Jadi, selama Pak Gubernur memutuskan penambahan, maka akan terus ditambah. Nah, ini yang menurut saya tidak bisa dilanjutkan,” kata Judistira saat dihubungi, Senin (7/10).
Rumah dinas baru direnovasi
Terkait renovasi rumah dinas Gubernur DKI Jakarta, di dalam rilis pers yang diterima Alinea.id, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Sri Mahendra Satria Wirawan mengatakan, proses perencanaan dan penganggaran renovasi bangunan tua sudah dimulai sejak 2015.
”Rencana detail selesai pada 2016 dan masuk ke pembahasan RAPBD 2017. Pada 2 Oktober 2016 rencana renovasi bangunan tua ini disahkan dalam APBD 2017 dengan nilai Rp2,9 miliar,” kata Mahendra dalam keterangan tertulis, Selasa (8/10).
Akan tetapi, kata Mahendra, rencana itu tak dilakukan pada 2017. Kemudian, rencana itu direvisi dalam pembahasan RAPBD 2018, tetapi tak jadi lagi dilaksanakan karena arahan Gubernur Anies Baswedan agar tak memprioritaskan renovasi bangunan rumah.
“Sejak itu, di perencanaan tahun 2018 dan 2019, renovasi tidak dimasukkan dalam rencana. Dalam pembahasan rencana tahun 2020 dimasukkan karena perbaikan atas kerusakan pada bangunan tua ini mulai makin mendesak,” tutur Mahendra.
Perencanaan untuk tahun 2020 ini, menurut Mahendra, dilakukan dengan penyisiran ulang atas kebutuhan renovasi. Semula, kata dia, di dalam APBD 2017 dianggarkan Rp2,9 miliar.
“Setelah di-review lagi dengan hanya melakukan perbaikan yang memang perlu, maka bisa dihemat menjadi Rp2,4 miliar. Ini artinya, kita berhemat sekitar 20% dari anggaran sebelumnya,” ucap Mahendra.
Anggaran untuk renovasi rumah dinas itu diusulkan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta. Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Hermawanto mengatakan, anggaran untuk renovasi yang mencapai Rp2,4 miliar karena komponen atap yang cukup mahal.
"Atap itu macam-macam, mulai dari rangka, balok, reng, kemudian dilapisi alumunium foil," ujar Heru saat dihubungi, Selasa (8/10).
Rencananya, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta akan menggunakan material mendekati kayu jati asli untuk merenovasi atap rumah yang mulai keropos.
Hal ini, kata dia, sejalan dengan saran tim sidang pemugaran DKI Jakarta, yang menyebut material dalam renovasi bangunan cagar budaya harus diusahakan seperti material sebelumnya. Tujuannya, agar tidak mengubah bangunan cagar budaya itu.
Selain atap, ada beberapa hal lain yang perlu diperbaiki. Namun, ia enggan merinci lebih detail apa saja yang akan dibenahi. "Kalau yang lain sih rata-rata hanya kecil, item-nya banyak," ucapnya.
Adapun sisa dananya akan digunakan untuk membayar tukang yang mengerjakan proyek renovasi bangunan cagar budaya itu. Heru menyebut, renovasi rumah dinas Gubernur DKI, cukup mendesak. Sebab, kerusakan sudah terjadi sejak lama. Jika dibiarkan, dikhawatirkan akan semakin rusak dan rapuh.
"Terakhir direnovasi zamannya Pak Sutiyoso (Gubernur DKI 1997-2007). Tapi ya belum pernah direnovasi besar, hanya model tambal-tambal," ujarnya.
Nilai yang wajar untuk renovasi?
Judistira Hermawan memandang usulan anggaran perbaikan rumah dinas gubernur merupakan hal yang wajar. Alasannya, perbaikan tersebut sudah berulang kali batal terealisasi.
“Saya pahami ini adalah representasi dari kediaman pimpinan kita di Jakarta. Tentu rumahnya harus dirawat, harus baik, karena di situ juga tempat gubernur menerima tamu penting, bahkan warga,” ujar Judistira.
Senada dengan Judistira, anggota DPRD DKI dari Fraksi NasDem Wibi Andrino pun menganggap rencana anggaran untuk renovasi rumah dinas gubernur pun hal yang wajar.
Wibi menilai, sekarang seperti ada penggiringan isu yang dibuat-buat seakan renovasi rumah dinas berarti melakukan pemborosan anggaran. Padahal, hal itu perlu dilakukan.
"Saya melihat seakan-akan gubernur itu tinggal di rumah dinas, menikmati fasilitas, terus renovasi secara gila-gilaan. Jadi, pikiran-pikiran itu yang harus dihilangkan," ujarnya saat dihubungi, Selasa (8/10).
Wibi memandang, seharusnya rumah dinas dilihat sebagai cagar budaya yang harus dijaga. "Kalau kita tidak menjaganya itu, ya kita yang salah. Kita kualat sama DKI Jakarta," katanya.
Sementara itu, Ketua Tim Sidang Pemugaran DKI Jakarta Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Bambang Eryudhawan, yang akrab disapa Yudha mengatakan, nominal anggaran untuk merenovasi rumah dinas akan menjadi normal apabila mengetahui rincian pekerjaan.
"Jadi, angka-angka itu sebenarnya enggak terlalu fantastis asal betul-betul dibutuhkan," ujar Yudha saat dihubungi, Selasa (8/10).
Usai mengidentifikasi kerusakan dan rincian pekerjaan, kata dia, perlu dilakukan perencanaan renovasi bangunan. Yudha menyebut, perencanaannya harus baik dan sempurna karena rumah dinas gubernur masuk dalam kategori cagar budaya.
"Kalau asal-asalan nanti aspek sejarahnya, keasliannya, dan keutuhannya bisa hilang," ujar dia.
Dengan anggaran yang besar, Yudha menyarankan, material yang digunakan harus berkualitas baik. Renovasi bangunan cagar budaya pun takbisa dikerjakan sembarang orang.
"Percuma kalau anggarannya sudah mencapai Rp2,4 miliar, perencananya, materialnya, dan kontraktornya serampangan," kata dia.
Menurut Yudha, biaya renovasi bangunan cagar budaya memang bervariasi. Tergantung kerusakan dan bahan-bahan yang digunakan. Biaya renovasi gedung cagar budaya, katanya, bisa mencapai Rp6 juta hingga Rp8 juta per meter karena merupakan bangunan khusus.
Perkara anggaran antivirus
Perkara pengadaan antivirus yang nilai rencana anggarannya hingga Rp12 miliar, Gembong Warsono mengatakan, antivirus memang penting, tetapi anggarannya tak harus sebesar itu. Sebab, menurutnya, komputer yang ada di Kantor DPRD DKI tak ada antivirus dengan lisensi resmi.
“Bahkan kita kadang kerepotan mendapatkan OS (sistem operasional) yang asli,” kata Gembong.
Pendapat berseberangan muncul dari anggota DPRD DKI dari Fraksi Gerindra Syarif. Menurut dia, pengadaan antivirus sangat dibutuhkan untuk menyukseskan Gerakan Indonesia Sadar Administrasi (GISA), yang digawangi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta.
Syarif menjelaskan, tidak semua anggaran sebesar Rp12 miliar digelontorkan untuk pengadaan antivirus. Menurutnya, dalam pembahasan KUA-PPAS tahun 2020, pengadaan antivirus sebenarnya hanya membutuhkan anggaran sebesar Rp384 juta.
Semuanya untuk kebutuhan komputer di 267 kantor kelurahan, 44 kantor kecamatan, hingga kantor-kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) di seluruh wilayah DKI Jakarta.
Sedangkan alokasi terbesar dari rencana anggaran itu untuk membeli lisensi Microsoft Office dan database Oracle. Syarif merinci, lisensi itu masing-masing harganya Rp3,9 juta.
“Dari harga itu dikalikan untuk 1.000 komputer. Lalu untuk kebutuhan lisensi database interprise server. Satu server itu 16 prosesor, 16 core. Untuk pemerintah diberikan diskon 50%, jadi 8 core. Satu core itu kurang lebih Rp800 juta,” katanya saat dihubungi, Selasa (8/10).
Syarif menilai, wajar bila beberapa pihak melihat besarnya anggaran itu fantastis karena nomenklatur yang hanya tertulis pengadaan antivirus.
Dihubungi terpisah, pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menuturkan, usulan kenaikan anggaran APBD untuk antivirus perlu menjadi perhatian. Menurutnya, angka Rp12 miliar bisa dikatakan wajar bila dimanfaatkan untuk membeli beragam perangkat lunak, antivirus, dan lisensi resmi untuk ribuan komputer.
"Perlu dicek, apakah benar dipasang dan digunakan di ribuan komputer? Software-nya asli? Termasuk juga ada garansi dari penyedia software," kata Heru saat dihubungi, Selasa (8/10).
Heru mengatakan, harga perangkat lunak dipengaruhi banyak hal, mulai jenisnya hingga jumlah komputer. Dia menuturkan, sejauh ini memang ada perangkat lunak yang bersifat individu dan yang dihitung berdasarkan jumlah pengguna.
"Kalau berdasar jumlah pengguna ini biasanya lebih murah," katanya.
Selain itu, mahalnya biaya juga dipengaruhi update perangkat lunak, yang juga memakan biaya tidak murah.
"Yang gratis juga ada, tapi ada iklan dan dikhawatirkan menyedot data pribadi pengguna," ucapnya.
Sementara pakar teknologi dan informasi Onno Widodo Purbo menyarankan Pemprov DKI menggunakan software open source gratis, seperti Linux. Hal itu merupakan solusi untuk menghemat APBD.
"Kalau mau pakai open source seperti Linux, tidak ada virusnya, tidak ada lisensinya, sudah ada office-nya, juga free. Bisa diambil gratis, misalnya di Ubuntu.com," kata Onno saat dihubungi, Selasa (8/10).
Onno mengatakan, beberapa mahasiswanya juga punya pengalaman membuat perangkat lunak sendiri. Bila ingin membuat sendiri untuk database dan mau performa tinggi, kata Onno, juga banyak yang gratis, seperti PostfesQL atau MySQL.
Onno menilai, dengan memaksimalkan perangkat lunak gratis dan buatan dalam negeri, Pemprov DKI hanya perlu membuat anggaran untuk program pelatihan atau workshop, sebagai langkah sosialisasi cara kerja sistem kepada para pekerja di lingkungan Pemprov DKI.
Anggaran tak masuk akal
Gembong Warsono tak sepakat dengan anggaran yang mencolok untuk beberapa program. Dia menilai, masih banyak program prioritas untuk warga yang perlu mendapatkan bantuan dari APBD DKI Jakarta.
Gembong mencontohkan, masih banyak gedung sekolah yang perlu diperbaiki hingga pembenahan kualitas pendidikan. Menurut dia, Pemprov DKI juga perlu membuka mata lebar-lebar terkait isu kesehatan lingkungan, yang baru-baru ini ramai disorot publik, yakni sanitasi yang buruk di Grogol, Jakarta Barat.
“Sebagai Ibu Kota negara dan kota yang katanya megapolitan, harusnya pemerintah menangis dengan fenomena ini. Bagaimana tidak, dengan APBD besar belum mampu menuntaskan soal sesensitif itu. Ini malah ramai soal pemborosan,” ucapnya.
Dengan demikian, Gembong menyarankan agar Gubernur Anies merevisi KUA-PPAS yang telah diserahkan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kepada DPRD DKI. Dia mendorong Anies merasionalisasi anggaran yang dinilai terlampau gemuk dan membebani APBD.
Dihubungi terpisah, terkait renovasi rumah dinas, peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Gurnadi Ridwan mengatakan, usulan anggaran renovasi harus menyertakan keterlibatan publik. Sebab, salah satu alasan merenovasi rumah dinas adalah menjaga cagar budaya.
"Jika anggaran itu dilaksanakan tanpa ada dasar, seperti pelibatan publik, kami rasa hanya sekadar ‘proyek’ belaka," kata Gurnadi saat dihubungi, Selasa (8/10).
Selain itu, kata dia, pihak yang mengusulkan anggaran harus menjawab soal urgensi dari renovasi rumah dinas tersebut.
Di sisi lain, pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah pun menyoroti beberapa rancangan anggaran yang menjadi polemik. Terkait anggaran untuk renovasi rumah dinas, dia mengatakan, nilainya terlalu besar dan berpotensi pemborosan anggaran.
Rumah dinas itu, kata dia, masih sangat layak, sehingga tak perlu biaya renovasi yang mencapai miliaran rupiah.
"Ada beberapa yang perlu diperbaiki, tapi kan mungkin anggarannya tidak sampai sebesar itu,” kata Trubus saat dihubungi, Selasa (8/10).
Meski rumah dinas Gubernur DKI termasuk dalam kategori cagar budaya, tetapi Trubus mengatakan, masalah anggaran perlu menjadi perhatian, agar alokasinya bisa tepat sasaran. Menurut dia, yang penting dari rumah dinas adalah penanganannya yang lebih memperhatikan nilai historis.
"Itu tinggal bagaimana dewan untuk mengoreksi," ujarnya.
Trubus menyarankan agar anggota DPRD DKI teliti dalam melakukan pengkajian anggaran itu. Sebab, banyak sekali usulan APBD yang tak masuk akal. Kenaikannya, kata Trubus, sangat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Salah satu usulan yang tak masuk akal itu, ujar Trubus, adalah anggaran terkait antivirus dan informasi teknologi (IT). Ada kenaikan 60 kali lipat, dari yang tahun sebelumnya sebesar Rp200 juta menjadi Rp12 miliar pada 2020.
"Kemarin itu (tahun lalu) sewa dan sekarang beli. Cuma pertanyaannya, apakah sebesar itu nilainya?" ujarnya.
"Lebih baik sewa karena kan sifatnya sementara dan kapan waktu bisa berganti program dan anggarannya. Kalau beli itu kan menyangkut perawatan juga, belum upgrade dan sebagainya, itu harus bayar lagi.”
Trubus khawatir, besarnya usulan APBD 2020 justru malah semakin memberatkan masyarakat. Sebab, kata dia, salah satu sumber APBD berasal dari masyarakat, seperti pajak. Dirinya mengingatkan DPRD DKI untuk bisa menyeleksi agar APBD tepat sasaran dan dirasakan kebermanfaatannya untuk masyarakat. Trubus berharap, kenaikan APBD tidak terlalu besar.
"Soal pajak, ujungnya kan masyarakat juga yang dirugikan, misalnya parkir dinaikkan. Takutnya, kalau defisit berat, nanti untuk menutupnya itu darimana?" tuturnya.