Setelah mereka meniup peluit...
Sandi Butar Butar terperanjat saat kasir di salah satu klinik di Kota Depok, Jawa Barat, menyatakan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang ia sodorkan sudah terblokir. Seingat Sandi, kantornya tak pernah alpa memotong gajinya untuk iuran BPJS Kesehatan.
"Saya bingung sekali saat itu karena waktu itu di kantong saya hanya ada uang Rp50 ribu," ujar Sandi berbincang dengan Alinea.id via sambungan telepon, Senin (19/4).
Peristiwa itu, kata Sandi, terjadi pada awal 2017. Sandi berada di klinik tersebut untuk membayar pengobatan anaknya yang mengidap asma. "Sampai saya serahkan motor saya ke kasir sebagai jaminan sebelum dapat pinjaman," ungkap honorer di Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Depok itu.
Di dokumen kontrak, Sandi digaji Rp2 juta per bulan saat itu. Namun, saban gajian, Sandi hanya memperoleh Rp 1,6 juta dari Dinas Damkar Kota Depok. Sebanyak Rp400 ribu dicukil pihak kantor untuk biaya asuransi kesehatan.
Sehari setelah peristiwa tak mengenakan itu, Sandi murka di kantor. Ia menuding duit yang seharusnya disetorkan untuk BPJS digelapkan oleh atasan. Amarah Sandi baru surut setelah pihak manajemen berjanji mengganti semua biaya yang dikeluarkan Sandi untuk pengobatan anaknya.
"Tapi, saya enggak bisa terima dengan cara atasan. Sebab, itu menyangkut keselamatan anak saya. Kok tega sampai enggak dibayarkan? Padahal, gaji saya selalu dipotong. Dari situ, saya merasa sakit hati," kata Sandi.
Pada pertengahan 2020, situasi serupa kembali terjadi. Ketika itu, personel Damkar Depok diberi tugas tambahan untuk menyemprot disinfektan ke permukiman warga. Untuk tugas itu, sebagaimana tertulis di dokumen kontrak, mereka diganjar insentif sebesar Rp1,7 juta.
Namun, menurut Sandi, para petugas Damkar Depok hanya memperoleh Rp850 ribu. Belakangan, ia tahu duit itu disunat oleh atasan untuk alasan-alasan yang ia tak mengerti. "Yang jelas, hak-hak kami sudah diambil," ujar Sandi.
Tak hanya pemotongan honor, Sandi juga menduga ada kongkalikong dalam pengadaan peralatan pemadam kebakaran di kantornya. Pekan lalu, ia pun memutuskan protes dengan menyebar dua foto di media sosial. Dalam salah satu foto, Sandi terlihat memegang sebuah poster.
"Bapak Kemendagri, tolong untuk tindak pejabat di Dinas Pemadam Kebakaran Depok. Kita dituntut kerja 100 persen, tapi peralatan di lapangan tidak 100 persen, banyak digelapkan," tulis Sandi dalam poster tersebut.
Di foto lainnya, Sandi juga memegang poster. Tapi, pesan dalam poster kedua itu ditujukan kepada Presiden Jokowi. "Pak Presiden Jokowi, tolong usut tindak pidana korupsi, Dinas Pemadam Kebakaran Depok," bunyi poster itu.
Foto-foto Sandi viral di jagat maya. Pesan Sandi sampai ke Kemendagri. Inspektorat Kemendagri bahkan telah membentuk tim untuk mengusut dugaan korupsi yang diungkap Sandi. Kejaksaan setempat pun turut menggarap kasus itu.
Sayangnya, aksi protes Sandi tidak diikuti rekan-rekan sejawatnya. Menurut Sandi, koleganya yang lain diancam dipecat jika ikut-ikutan protes. "Saya punya rekaman kesaksian teman saya. Mereka itu dikumpulin dan diancam dipecat," ungkap Sandi.
Intimidasi juga dialami Sandi. Selain ancaman pemecatan, ia mengaku pernah disetop oleh sejumlah orang untuk diajak "diskusi". "Waktu di jalan, tiba-tiba ada yang manggil dan minta didudukin bareng aja. Mereka minta saya mengakhiri ini biar sama-sama enak," tuturnya.
Hingga kini, menurut Sandi, ia masih terlibat perang dingin dengan para petinggi di kantornya. "Tekanan makin kencang. Tapi, tekad saya sudah bulat mengambil risiko ini," ujar Sandi.
Peniup peluit diserang balik
Ini bukan kali pertama whistleblower (peniup peluit) seperti Sandi diserang balik. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang di Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri), sejumlah pegawai Peruri bahkan mengalami nasib yang lebih nahas.
Kasus dugaan korupsi itu pertama kali diendus empat anggota Serikat Pekerja Peruri: Mohammad Munif, Tri Haryanto, Idang Mulyadi, dan Marion Kova. Ketika itu, mereka menemukan kejanggalan dalam pengadaan mesin pencetak uang Intaglio T.A type Currency IC-53211 atau yang juga lazim disebut mesin Komori.
Kepada Alinea.id, Munif, salah satu peniup peluit, mengatakan mesin itu mulai digunakan Peruri pada Januari 2014. Namun, hanya beberapa bulan dipakai, mesin yang diimpor dari pabrik di Jepang itu sudah rusak.
"Di bulan Maret, mesin sudah hancur. Parahnya lagi, ternyata spesifikasinya tidak sesuai. Harusnya kecepatan dia mencetak dengan baik itu 10.000 lembar per jam. Tapi, ternyata mesin itu hanya bisa (mencetak) sekitar 3.500 lembar per jam," kata Munif saat dihubungi, Kamis (22/4).
Proses pengadaannya pun terbilang misterius. Menurut Munif, para pegawai Peruri tidak pernah diajak bicara oleh Direktur Utama Perum Peruri Dwina Septiani Wijaya dalam proses pengadaan mesin itu. "Tiba-tiba sudah ada Januari," ucap Munif.
Merasa ada yang janggal dalam proses pengadaan, Munif dan rekan-rekannya berembuk dan memutuskan untuk melayangkan surat laporan ke Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung pada 26 Maret 2014.
Celakanya, Munif dan kawan-kawan malah dilaporkan balik oleh Peruri ke kepolisian menggunakan delik pencemaran nama baik. "Saya dan kawan-kawan langsung jadi tersangka di Polda Metro Jaya," kata Munif.
Munir cs lantas minta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Meski di bawah perlidungan LPSK, kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan terhadap Munir dan kawan-kawannya tetap melaju di persidangan.
"LPSK itu sudah mengatakan ke polisi kalau kami tidak bisa disentuh secara pidana maupun perdata karena kami dalam perlindungan LPSK sebagai whistleblower. Tapi, rekomendasi itu tak dipedulikan oleh kepolisian dan kejaksaan," ujar Munif.
Di kantor, Munif dan kawan-kawan juga dikucilkan dan dituding tidak loyal. Tak lama, Munif dan keempat rekannya pun dipecat. "Pihak direksi mem-PHK kami karena kami jadi whistleblower yang mencoba mengungkap penyelewengan anggaran di Peruri," kata dia.
Pada 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Munif dan kawan-kawan tak bersalah. Vonis itu diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung (MA) pada tahun yang sama. MA juga memerintahkan supaya hak para terdakwa sebagai karyawan Peruri dipulihkan.
Meski begitu, Munif dan kawan-kawan tidak bisa serta merta kembali bekerja. Pasalnya, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), lewat putusan tahun 2016, telah lebih dulu "membenarkan" PHK yang dikeluarkan Peruri terhadap Munif cs.
"Artinya, kami tetap tidak bisa kembali. Kami kalah di perdata. Padahal, kami menilai PHK yang dilakukan itu melawan hukum karena dilakukan saat kami dilindungi LPSK. Itulah risiko yang harus kami tanggung," ujar Munif.
Munif belum mau lempar handuk. Kini, ia sedang menyiapkan langkah hukum baru untuk menggugat keputusan PHK yang dikeluarkan direksi Peruri. Ia menduga ada persengkongkolan jahat yang membuat ia dan kawan-kawannya kehilangan pekerjaan.
"Saya menemukan bukti baru ada sekelompok orang yang ada di bagian cetak dalam ramai-ramai mengajukan surat ke direksi agar saya dan kawan-kawan di-PHK sebelum ada putusan apa pun. Saya rencana mau tuntut balik mereka ke Mabes Polri," kata Munif.
Dalam laporan bertajuk "Serangan Balik Para Pembongkar Skandal: Studi Kasus Mengenai Tantangan, Praktik, dan Efektivitas Whistleblower di Indonesia", Lokataru menemukan para whistleblower kerap apes setelah meniup peluit kasus dugaan korupsi atau pelanggaran hak-hak pekerja di perusahaan.
Laporan yang dirilis pada 2020 itu digarap peneliti Lokataru Muhammad Al Ayyubi Harahap dan Nurkholis Hidayat. Dalam laporan setebal 47 halaman itu, para peneliti menyoroti sejumlah kasus peniup peluit yang ditangani Lokataru.
Selain pegawai Peruri, serangan balik juga dirasakan sejumlah peniup peluit, semisal 14 pegawai Perum Jasa Tirta karena melaporkan dugaan dalam kegiatan pengembangan SDM di perusahaan itu pada 2017, pegawai PT Freeport Wiradinata Sudiro karena memprotes pelanggaran hak-hak pekerja, dan Rizki Amelia karena mengungkapkan kasus dugaan pelecehan seksual dan pemerkosaan yang melibatkan petinggi BPJS Kesehatan.
Bentuk serangan baliknya beragam, mulai dari intimidasi, skorsing, dan pemecatan. Dalam kasus dugaan korupsi pada proyek Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Nasional (P3SON) Hambalang, Dirut Operasional PT Dutasari Citralaras, Roni Wijaya, peniup peluit yang diadvokasi Lokataru, malah disebut dikriminalisasi dan diperas jaksa.
Menurut Direktur Lokataru Haris Azhar, saat ini lembaganya juga tengah mendampingi lima pelapor dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan tanah untuk proyek rumah DP nol rupiah pada 2019 yang menyeret Dirut Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Yoory C Pinontoan.
Kelima pelapor adalah bawahan Yoory di perusahaan tersebut. Para peniup peluit itu, kata Haris, tak lagi aktif bekerja di kantor lantaran terus mengalami intimidasi.
"Bentuk (serangan baliknya)? Dilaporkan balik. Ada fisik juga, fitnah juga ada (dengan) disebar tuduhan lewat sosial media," ujar Haris kepada Alinea.id, Rabu (21/4).
Kasus tersebut kini tengah ditangani penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yoory telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang terindikasi merugikan negara hingga lebih dari Rp100 miliar tersebut.
Tak boleh padam
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan UU 31/2014 Tentang LPSK sebenarnya sudah memberikan payung hukum yang cukup kuat untuk melindungi para peniup peluit. Jika terancam keselamatannya, LPSK bahkan bisa memberikan perlindungan keamanan secara melekat.
"Termasuk juga pendampingan pada proses hukum, seperti pemeriksaan penyidikan sampai di pengadilan. Tapi, itu dalam rangka untuk memastikan dia terbebas dari tekanan dan pertanyaan menjerat," ujar Edwin kepada Alinea.id, Senin (19/4).
Perusahaan atau instansi pemerintah, lanjut dia, juga tidak bisa sembarangan memberikan sanksi atau mengkriminalisasi para peniup peluit. UU LPSK bahkan memberikan jaminan agar para peniup peluit tidak kehilangan pekerjaannya saat proses hukum berjalan.
"Mereka yang mengancam dan mengakibatkan terancamnya pekerjaan dari si whistleblower, termasuk pekerjaan keluarganya, itu terancam pidana. Ada ancaman pidananya di UU 31 tahun 2014," kata mantan aktivis Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) itu.
Diakui Edwin, tak mudah bagi seseorang untuk berani mengungkap borok di institusi atau perusahaan tempat dia bekerja. Apalagi, keberanian itu kerap diganjar beragam sanksi dan intimidasi. Di sisi lain, penegak hukum di Indonesia juga belum sepenuhnya bisa dipercaya publik.
Kendati demikian, Edwin mengatakan, LPSK siap pasang badan untuk para peniup peluit. "Tentu harus muncul dari tekad yang bulat. Kalau memang punya kemauan dan keberanian, ungkapkan. Kemudian, silakan ajukan perlindungan ke LPSK. Kami akan buktikan bahwa kami bisa melindungi," tegas dia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai keputusan untuk jadi peniup peluit di Indonesia berisiko tinggi. Berhadapan dengan "orang-orang kuat", para peniup peluit harus siap dengan segala kemungkinan terburuk, termasuk dipecat dan dikriminalisasi.
"Padahal, peran whistleblower sangat penting untuk membangun pemerintahan yang bersih. Akan tetapi, kembali lagi, harus ada ada kesiapan (para peniup peluit) dibuang dari kelompok," ujar Fickar kepada Alinea.id.
Menurut Fickar, saat ini Indonesia masih sangat membutuhkan orang-orang yang berani mengungkapkan beragam penyimpangan yang terjadi dalam birokrasi dan pemerintahan. Apalagi, pelaku kejahatan makin lihai bersembunyi di balik kekuatan politik dan sokongan penegak hukum.
"Saya harus akui peran (peniup peluit) ini membutuhkan idealisme tingkat tinggi. Bahkan, mereka ini seringkali harus mengorbankan banyak hal," kata Fickar.