Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, tak sependapat dengan gugatan perpanjangan masa bakti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dirinya justru mengusulkan agar dikurangi menjadi 3 tahun.
"Saya kira, itu sudah pas. Bahkan, kalau perlu dikurangi. Menurut saya, jangan 4 tahun, cukup 3 tahun saja pimpinan KPK yang akan datang," katanya.
Menurutnya, potensi menyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) semakin besar jika masa jabatan kian lama. Karenanya, dinilai wajar apabila jabatan pimpinan KPK berbeda dengan lembaga lainnya.
"Apalagi, kewenangannya [pimpinan KPK] itu dilengkapi dengan upaya paksa," ucap politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini. Kemudian, kewenangan penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyitaan.
"Jadi, karena ada perbedaan, ada kekhususan yang melekat pada pejabat negara yang bernama komisioner KPK itulah makanya undang-undang kemudian membedakan, lebih pendek," imbuhnya, melansir situs web DPR.
Diketahui, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengajukan uji materi (judicial review/JR) tentang periodisasi pimpinan KPK. Dirinya mengusulkan masa bakti para komisioner ditambah setahun menjadi 5 tahun.
"Saya meminta keadilan sesuai UUD '45 Pasal 27 dan Pasal 28 D agar masa jabatan pimpinan KPK disamakan dengan 12 lembaga negara nonkementerian lainnya," ujarnya dalam keterangannya, Selasa (16/5).
Diungkapkan Ghufron, ada 3 alasannya mengajukan uji materi terkait Pasal 34 UU KPK. Pertama, cita hukum sebagaimana dalam Pasal 7 UUD 1945, yakni masa pemerintahan di Indonesia adalah 5 tahunan. "Sehingga, semestinya seluruh periodisasi masa pemerintahan adalah 5 tahun."
Kedua, ada 12 lembaga negara nonkementerian (auxiliary state body) yang memiliki masa kepemimpinan 5 tahun. Dicontohkan dengan Komnas HAM, Ombudsman, Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lainnya.
Menurut Ghufron, masa kepemimpinan lembaga negara nonkementerian yang kurang dari 5 tahun melanggar prinsip keadilan. "Sebagaimana Pasal 27 dan Pasal 28D UUD 1945. [Inkonstitusional] jika tidak diperbaiki atau disamakan," tuturnya.
Alasan ketiga, periodisasi perencanaan pembangunan nasional sebagaimana UU 25/2004 adalah RPJPN 25 tahun. RPJMN 5 tahun ini bakal berkonsekuensi pada perencanaan pemantauan dan evaluasi pembangunan.
"Jika program pemberantasan korupsi 4 tahunan, akan sulit dan tidak sinkron evaluasi hasil kinerja pemberantasan korupsinya," ucap Ghufron.