close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aksi Warga Kebun Sayur Ciracas, didampingi mahasiswa UI dan LBH Jakarta melakukan orasi di Gedung Komnas HAM (5/6/2018). Alinea.id/dokumentasi
icon caption
Aksi Warga Kebun Sayur Ciracas, didampingi mahasiswa UI dan LBH Jakarta melakukan orasi di Gedung Komnas HAM (5/6/2018). Alinea.id/dokumentasi
Nasional
Sabtu, 07 November 2020 14:14

Perubahan definisi kepentingan umum UU Ciptaker perparah konflik agraria

Keputusan tersebut akan memperparah kemiskinan dan mengukuhkan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia.
swipe

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengatakan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memperparah konflik agraria di Indonesia. Sebab, regulasi sapu jagat memperluas sektor UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Berdasarkan dokumen salinan UU Cipta Kerja Pasal 123, UU Pengadaan Tanah memang mengalami perubahan. Pasal 10 terkait jaminan tersedianya tanah untuk kepentingan umum kini bisa digunakan sektor industri hulu dan hilir minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan pariwisata dan lain-lain.

“Jadi untuk memudahkan kebutuhan tanah bagi para pemilik modal, bagi para investor yang hendak berinvestasi di Indonesia, definisi kepentingan umum di dalam UU Cipta Kerja diperluas,” ujarnya dalam diskusi daring, Sabtu (7/11).

Perlu kehati-hatian dalam mengubah definisi kepentingan umum. Hal itu mengingat orang awam sering mengartikan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah untuk masyarakat luas. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya.

Disampaikan demikian, lantaran Dewi berkaca pada implementasi UU Pengadaan Tanah itu berbentuk alokasi lahan untuk pembangunan-pembangunan infrastruktur. Atas praktik tersebut, jelasnya, banyak desa dan tanah pertanian produktif yang digusur secara paksa.

“Dengan cara yang sangat intimidatif, menggusur, merampas, memaksakan, bahkan dengan ganti kerugian yang sangat kecil sehingga petani menjadi tidak bertanah atau wilayah adat dirampas begitu saja atas nama pembangunan,” ungkapnya.

Sementara dengan diperluasnya jaminan tersedianya tanah untuk kepentingan umum, keputusan tersebut akan memperparah kemiskinan dan mengukuhkan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia.

Artinya, kata Dewi, tidak hanya tanah, tetapi juga kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan semakin dimonopoli dan dieksploitasi oleh para pemilik modal.

“Tentu kemiskinan di pedesaan ini masih menjadi angka tinggi juga, meskipun tidak terlalu beda jauh dengan kemiskinan di perkotaan. Tetapi memang ironisnya di pedesaan itu bahkan beras-beras raskin, program-program raskin, itu banyak digelontorkan di kampung-kampung, di desa-desa yang seharusnya sebenarnya dari sisi pangan sudah berdaulat,” jelasnya.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan