Amerika Serikat (AS) telah menyetujui penjualan 36 jet tempur F-15EX, yang termaktub di dalam Rencana Strategis Kementerian Pertahanan (Renstra Kemenhan) dan TNI 2020-2024, kepada Indonesia. Namun, belum ada jawaban resmi dari RI hingga kini, mengapa?
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengungkapkan, kendala proses belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) tersebut berada di internal pemerintah Indonesia. Salah satu faktornya adalah keterbatasan ruang fiskal.
"Persetujuan AS tidak akan berarti apa-apa jika rencana, yang sampai saat ini masih bersifat usulan tentative, itu tidak mendapat 'lampu hijau' dari Kementerian Keuangan dan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)," katanya kepada Alinea.id, Jumat (28/10).
Di sisi lain, Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Prabowo Subianto, menemui Menhan AS, Lloyd Austin III, di Pentagon, Washington DC, pekan lalu. Menurut Fahmi, rencana pembelian F-15 bisa jadi menjadi salah satu pembahasan turunan dalam pertemuan itu.
"Nah, hasil pembicaraan itulah yang justru akan menentukan keseriusan respons Indonesia," ucapnya.
Sementara itu, Prabowo berharap, AS menyetujui skema pembayaran bertahap atau cicil dalam proses transaksi F-15. Alasannya, kemampuan pemerintah RI terbatas karena harus mengutamakan pembangunan ekonomi dan sebagainya.
Fahmi berpendapat, opsi mencicil melalui pinjaman biasa dilakukan Indonesia saat membeli alutsisa selain skema imbal dagang (offset). "Memang kita pernah beli alutsista tanpa skema pinjaman?"
Yang masih menjadi pertanyaan, ungkapnya, kemampuan Indonesia untuk mencicil pinjaman. Hal ini hanya diketahui Kemenkeu.
"Jadi, yang dijajaki itu bukan mencicilnya, tapi skema pinjamannya. Misalnya, apakah mungkin kita mendapatkan skema pinjaman lunak dengan tenor panjang dan bunga sangat ringan. Kalau hasil penjajakan menghasilkan kemungkinan, itulah yang kemudian disampaikan ke Kemenkeu untuk mendapat persetujuan pembelian. Jadi, terkait pembelian F-15, itu masalahnya ada di dalam negeri, bukan di Amerika," urainya.
Selain itu, tambah Fahmi, sistem keuangan Indonesia tidak cukup fleksibel untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan sektor pertahanan. "Ini soal bagaimana mengonversi narasi kualitatif menjadi angka-angka. Enggak mudah bagi para jenderal di Kementerian Pertahanan."
Dia menjabarkan, banyak aspek yang harus dipertimbangkan agar rencana belanja alutsista sampai ke level kontrak pembelian. Pertama, jaminan bebas embargo pemeliharaan dan suku cadang.
Lalu, peluang batasan yang lebih longgar dalam penggunaannya. Ketiga, skema pinjaman. Terakhir, potensi skema pembayaran sesuai keinginan Kemenkeu.
"Kalau setidaknya empat hal itu sinyalnya positif plus skema offset yang ditawarkan, baru lanjut pembahasan kontrak. Setelah kontrak oke, lihat lagi apakah Kemenkeu sudah melakukan pembayaran awal? Kalau sudah terbayar, baru kita bisa simpulkan bahwa pemerintah sudah serius," ujarnya.
"Itu pun bukan berarti tidak mungkin tertunda lagi. Kalau komitmen-komitmen finansial lanjutannya enggak dibayar oleh pemerintah via Kemenkeu, keseriusan itu, ya, pupus lagi," tandas Fahmi.