close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Munir. Alinea.id/Debbie Alyuwandira
icon caption
Ilustrasi Munir. Alinea.id/Debbie Alyuwandira
Nasional
Jumat, 16 September 2022 06:17

Asa baru singkap kasus Munir yang diracun di udara

Komnas HAM baru memutuskan membuat tim ad hoc, usai 18 tahun terbunuhnya aktivis HAM Munir.
swipe

Suciwati masih ingat betul momen perpisahan dengan suaminya, aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Saat itu, 6 September 2004 malam di lobi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sebelum naik ke pesawat Garuda Indonesia GA-974 untuk bertolak ke Amsterdam, Belanda, meneruskan studi pascasarjananya, Munir memeluk dua anaknya. Ia lantas berucap kepada Suciwati.

“Cintamu mengiringi perjalananku. Perpisahan hanya untuk orang-orang yang mencintai dengan matanya. Untuk orang yang mencintai dengan hati dan jiwanya, tidak ada kata perpisahan,” kata Munir, yang dikisahkan kembali Suciwati dalam acara peluncuran buku Mencintai Munir di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (14/9).

Suciwati mengatakan, kala itu Munir bilang bahwa ia sudah menemukan surganya. Suciwati tak menyangka, itu adalah pertemuan terakhir dengan suaminya. Pada 7 September 2004, dua jam sebelum mendarat di Bandara Schipol Amsterdam, Belanda, Munir menemui ajal.

Lima hari kemudian, Nederlands Forensisch Instituut (NFI) atau Institut Forensik Belanda mengeluarkan hasil autopsi terhadap jenazah Munir. Ada senyawa arsenikum di dalam tubuhnya. Diduga, ada orang yang meracuninya.

Delapan belas tahun berlalu, kasus Munir masih menyimpan misteri. Dalang utama pembunuhan salah seorang pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu belum dihukum. Walau beberapa orang, termasuk pilot senior Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto sudah dipenjara karena disangka terlibat konspirasi pembunuhan.

Terlambat

Istri aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir, Suciwati, menunjukkan foto Munir usai peluncuran buku Mencintai Munir di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (14/9/2022). Buku biografi Munir itu ditulis Suciwati sejak awal Juli 2021 dan selesai pada Juli 2022. Alinea.id/Akbar Ridwan.

Pada 12 Agustus 2022, Komnas HAM melakukan sidang paripurna khusus membahas kasus Munir yang sudah lewat aturan hukum pidana. Berdasarkan Pasal 78 KUHP, masa kedaluwarsa kejahatan dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup punya tenggang waktu 18 tahun.

Hasilnya, diputuskan akan dibentuk tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat terkait pembunuhan Munir, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Lalu, melanjutkan rencana itu, pada 6 September 2022 dalam Sidang Paripurna Komnas HAM diputuskan pembentukan tim ad hoc. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, pembentukannya berlandaskan proses tim kajian yang hasil kerjanya dilanjutkan tim pemantauan penyelidikan, yang memperkuat argumentasi hukum dan bukti-bukti.

“Kemudian disepakati oleh paripurna untuk membentuk tim ad hoc. Ujung akhir masa jabatan (komisioner Komnas HAM) tidak jadi pertimbangan dalam sidang paripurna,” ujarnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (14/9).

Tim bakal beranggotakan anggota Komnas HAM dan beberapa tokoh masyarakat. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga menjadi anggota tim dari internal lembaga tersebut.

Beka menjelaskan, hasil Sidang Paripurna Komnas HAM merupakan keputusan tertinggi. Menurut dia, keputusan tersebut wajib ditindaklanjuti oleh siapa pun komisionernya.

“(Jika tim ad hoc belum selesai tugasnya) akan ada serah terima antara komisioner lama dan yang baru, plus orientasi kerja bersama. Diharapkan bisa mengurangi keterputusan kerja-kerja sebelumnya,” tutur Beka.

Sementara Suciwati mengatakan, pembentukan tim ad hoc itu terlambat. Sebab, dibentuk di akhir periode komisioner Komnas HAM.

“Itu sebetulnya sangat disayangkan. Ironis,” ucapnya saat peluncuran buku Mencintai Munir di Jakarta Selatan, Rabu (14/9).

Masa jabatan komisioner Komnas HAM sendiri akan berakhir pada November 2022. Hal itu menjadi semacam dejavu bagi Suciwati. Pada 5 November 2019, ia pernah melaporkan dugaan malaadministrasi yang dilakukan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) atas hilangnya dokumen tim pencari fakta Munir, jelang akhir jabatan kepengurusan Ombudsman RI. Hingga pergantian pimpinan Ombudsman pada Februari 2021, penanganan hilangnya laporan itu belum tuntas.

Akan tetapi, Suciwati tetap mendukung pembentukan tim ad hoc tersebut. Pasalnya, Komnas HAM merupakan lembaga yang memiliki legitimasi untuk menyatakan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.

“Meskipun legal opinion-nya sudah jelas bahwa ini kasus pelanggaran HAM berat,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, anggota Ombudsman, Jemsly Hutabarat membenarkan pihaknya sudah membuat keputusan terkait laporan Suciwati, beberapa bulan lalu. Ombudsman menyatakan, tak ada malaadministrasi karena sudah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

“Jadi kita enggak bisa intervensi dengan itu,” ujarnya, Selasa (13/9).

Walau demikian, Jemsly menekankan, Ombudsman tetap akan melakukan proses untuk mencari bukti-bukti apakah laporan yang disampaikan benar atau tidak. Namun, temuan yang diperoleh Ombudsman adalah dokumen asli tim pencari fakta Munir memang tak ada di Kemensetneg. (Baca: Dokumen asli TPF kematian aktivis HAM Munir masih misteri).

“Saksi-saksinya sudah kita tanya, yang ada adalah fotokopi. Fotokopi kan enggak bisa kita anggap itu dokumen resmi,” ujar Jemsly.

“Dan waktu itu tidak ada deklarasi atau pers yang melihat, waktu di-declare ada penerimaan.”

Sekjen Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) Bivitri Susanti pun mengkritik Komnas HAM. “Terkait dengan pengunduran-pengunduran, bentuk tim, dan segala macam,” ucap Bivitri dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa (13/9).

Menurutnya, KASUM telah menyampaikan legal opinion untuk kasus Munir pada September 2020. Namun, Komnas HAM tak segera membentuk tim kajian dahulu terkait tewasnya Munir. Bivitri menerangkan, berdasarkan regulasi, pembentukan tim kajian tak jadi syarat. Meski begitu, ada kebiasaan seperti itu di Indonesia, sebelum memutuskan sesuatu.

Dalam jumpa pers secara virtual, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan, seharusnya Komnas HAM sudah melakukan langkah penyelidikan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat sejak lama. Tim ad hoc yang dibentuk, kata Arif, merupakan ruang advokasi yang memang harus ditempuh.

“Jangan sampai ada komitmen yang berbeda antara komisioner (Komnas HAM) hari ini dengan komisioner yang nanti akan terpilih,” ujarnya, Selasa (13/9).

“Karena ini tentu akan sangat menyulitkan. Paling penting juga dukungan dari negara.”

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengaku menolak bergabung ke dalam tim ad hoc. Pembentukan tim di penghujung periode komisioner Komnas HAM jadi pertimbangannya.

“Melihat mandat waktu yang sangat terbatas, juga belum tentu memungkinkan hasil yang optimal,” ujarnya, Selasa (13/9).

“Sehingga, kita juga harus menimbang apakah itu nantinya akan maksimal, mengecewakan korban, atau mengecewakan masyarakat misalnya.”

Pertimbangan lainnya, tutur Usman, ada kebijakan dalam Amnesty Internasional yang mengatur, tak boleh menjadi bagian dari misi resmi pemerintah atau lembaga negara, termasuk Komnas HAM. Tetapi ia menegaskan, penolakannya itu bukan berarti KASUM juga menolak keberadaan tim ad hoc.

Mahasiswa melakukan unjuk rasa dengan membawa foto almarhum aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib di Kampus UNS, Solo, Jawa Tengah, Selasa (10/9/2019)./Foto Antara/Mohammad Ayudha.

Babak baru

Usman menerangkan, kasus Munir memerlukan keseriusan negara. Selama bekerja, bisa saja tim bakal menggali lagi bukti-bukti yang terkait dengan berbagai lembaga di dalam maupun luar negeri.

“Sebagai contoh, kita memiliki kepentingan untuk mendapatkan data, informasi, surat, keterangan, atau bukti yang berhubungan dengan peristiwa peracunan almarhum (Munir), yang salah satunya terjadi di Bandara Changi, Singapura,” kata dia.

Sebelum melanjutkan penerbangan ke Belanda, pesawat yang ditumpangi Munir sempat transit di Bandara Changi. Untuk dapat data dari sana, katanya, harus ada bantuan dari lembaga lain, seperti Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) atau Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

Di sisi lain, koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, pembentukan tim ad hoc menandai babak baru proses penanganan kasus Munir. Walau demikian, ia agak pesimis. Karena KASUM belum mendapat kepastian apakah Presiden Joko Widodo dan DPR bakal mendukung dan melegitimasi kerja-kerja tim tersebut atau tidak.

Ia menambahkan, tim tersebut juga perlu dipastikan bekerja secara aman dan dapat mengakses berbagai hal terkait pembunuhan Munir.

“Selain itu, lembaga negara atau pemerintah lainnya, termasuk BIN (Badan Intelijen Negara), Garuda Indonesia, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus terlibat aktif membantu pelaksanaan penyelidikan tim ad hoc tersebut,” ucapnya di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa (13/9).

Infografik Munir. Alinea.id/Debbie Alyuwandira

Sementara itu, sekalipun tim ad hoc baru dibentuk kurang dua bulan sebelum komisioner Komnas HAM demisioner, Bivitri menyatakan, pada akhirnya apa pun peluang advokasi untuk mencari keadilan dalam kasus Munir harus dimanfaatkan.

KASUM juga akan meminta kontrak dengan komisioner baru Komnas HAM, saat tim ad hoc belum menyelesaikan tugas hingga berakhir masa jabatan komisioner sekarang. Tujuannya, agar kerja tim ad hoc tak dari nol lagi ketika kepemimpinan beralih.

“Saya kira (waktu) dua bulan itu tidak akan 100% tuntas,” ucapnya.

Di samping itu, Bivitri menuturkan, KASUM juga berdiskusi dengan pihak-pihak yang diundang Komnas HAM untuk menjadi anggota tim ad hoc dari unsur eksternal, perihal bentuk, target, cara kerja, dan transparansi.

“Termasuk juga tim ini nantinya tidak boleh mengabaikan semua laporan yang sebetulnya sudah ada,” ujar dia.

Laporan yang dimaksud Bivitri adalah laporan tim pencari fakta pembunuhan Munir, semua dokumen pengadilan terdakwa Pollycarpus dan mantan Deputi V BIN Muchdi Purwoprandjono, termasuk eksaminasi atas putusan bebas Muchdi.

“Itu jangan sampai terabaikan oleh tim ini. Jadi harus gerak cepat,” kata Bivitri.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan