Para peneliti di Asa Dewantara memandang, ratusan program beasiswa, menunjukan adanya beberapa faktor ketidaktepatan sasaran. Sebagai contoh, pada program beasiswa PIP (Program Indonesia Pintar) yang didedikasikan untuk anak kelompok miskin, telah diakses juga oleh kelompok menengah hingga kaya.
Peneliti Asa Dewantara Nyimas Gandasari mengatakan, hal itu berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) 2021. Persisnya, kelompok menengah terdapat 10,03%, menengah atas dengan 6,26%, dan kaya 2,24% yang mengaksesnya.
“Selain itu, persyaratan yang rumit dan proses seleksi beasiswa pemerintah yang cukup lama juga membuat anak-anak miskin enggan mengakses dan memanfaatkannya,” kata Nyimas diskusi yang membahas topik “Menyoal Aksesibilitas dan Efektivitas Beasiswa untuk Membantu Pendidikan Kelompok Miskin” yang dikutip Rabu (22/3).
Nyimas menyebut, berbeda dengan program beasiswa pemerintah, program-program beasiswa yang dikelola lembaga nonpemerintah, relatif lebih cepat proses seleksinya. Lantara, persyaratan yang dibutuhkan juga tidak rumit.
Sayangnya, sebagian besar beasiswa ini diperuntukkan anak-anak miskin yang berprestasi melalui prasyarat nilai, ranking, dan indikator prestasi akademik lainnya.
“Dengan ketentuan tersebut, anak-anak miskin yang tidak berprestasi yang berkeinginan melanjutkan pendidikan tidak bisa mengaksesnya,” tutur dia.
Selain itu, beasiswa nonpemerintah yang mekanismenya lebih longgar, sebenarnya bisa melakukan inovasi dalam pengembangan berbagai skema beasiswa dan mendanai beberapa kebutuhan di luar biaya pendidikan yang tidak bisa dipenuhi pemerintah.
”Sayangnya, peran itu tidak dimainkan karena sebagian besar beasiswanya terfokus juga pada pembiayaan pendidikan,” ujar Nyimas.
Nyimas juga menilai, program beasiswa belum diarahkan untuk mengatasi persoalan akses pendidikan anak usia dini yang dinilai urgen dan berdampak besar pada fase kehidupan. Pemerintah hanya mengalokasikan 2% dari total APBN Pendidikan yang ada bagi program PAUD.
Angka tersebut masih sangat jauh dari apa yang dibutuhkan Indonesia dan rekomendasi UNESCO yang menyarankan alokasi 10% dari total anggaran pendidikan bagi program PAUD. Sehingga, alokasi beasiswa pun minim untuk mengatasi rendahnya angka partisipasi anak di pendidikan usia dini (PAUD).
Data Susenas (2021) menunjukkan 59,83% atau 11,35 juta dari jumlah anak berusia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD dan 57,5% di antaranya tinggal di pedesaan. Persoalan Ini ternyata belum mendapatkan perhatian dan prioritas pengelola beasiswa.
Terkait hal ini, ekonom sekaligus peneliti kemiskinan Vivi Alatas menilai, pemberian beasiswa juga belum memperhatikan masa kritis siswa saat putus sekolah. Menurutnya, kasus putus sekolah banyak terjadi di masa transisi sekolah, di mana ijazah sudah ada di tangan siswa.
Pada saat itu, ada godaan besar untuk ikut bekerja, membantu orang tua, menikah, bahkan terjun ke jalanan. Apalagi kondisi ekonomi dan keuangan keluarga tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah.
“Meski ada program beasiswa, drop out tak terhindarkan karena penyaluran beasiswanya terlambat, butuh waktu lama atau baru didapatkan jika mereka diterima di sekolah lanjutan atau perguruan tinggi. Mereka sudah berguguran sebelum beasiswa sampai di tangan,” katanya.
Untuk meningkatkan aksesibilitas beasiswa, Vivi menyarankan perbaikan terhadap dua hal, yakni pengumpulan data dan metode seleksinya. Di kedua aspek ini anak-anak miskin harus dipastikan terdata untuk kemudian dipilih dari kelompok kaya dan dipilih guna mendapatkan beasiswa yang menjadi haknya.
“Dari berbagai studi menunjukkan bahwa komunitas perlu dilibatkan dalam proses pengumpulan data dan seleksi karena komunitas lebih tahu data keluarga yang miskin. Komunitas lebih cenderung berperan dalam mengatasi exclusion error dibandingkan inclusion error,’ ujarnya.
Vivi juga merekomendasikan agar beasiswa juga diarahkan tidak semata-mata untuk mengatasi ketimpangan akses, tetapi juga kualitas pendidikan. Karena, studi OECD/The Organization for Economic Co-operation and Development (2018) menunjukkan, bahwa upaya mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan ini dampaknya sembilan kali lebih besar dibanding memperbaiki akses.
Berkaitan dengan berbagai tantangan yang dihadapi, Rina Fatimah, GM Pendidikan Dompet Dhuafa menambahkan, kapasitas ekonomi keluarga juga menjadi salah satu penghambat efektivitas beasiswa untuk kelompok miskin.
Mengacu pada pengalaman pengelolaan beberapa program Beasiswa Dompet Dhuafa, seringkali beasiswa tidak bisa mencukupi biaya pendidikan, bahkan habis untuk menutupi biaya hidup keluarga. Karena itu, pengelola beasiswa harus memastikan jumlah beasiswa yang diberikan tidak hanya menanggung biaya pendidikan, tetapi juga hidden cost yang terkait keberlanjutan pendidikan penerimanya.
“Beasiswa Etos yang dikelola Dompet Dhuafa. Misalnya, tidak hanya memberikan dukungan untuk UKT (Uang Kuliah Tunggal), tetapi juga dukungan pendanaan untuk pengembangan kapasitas, peningkatan keterampilan bahasa asing, pemetaan minat dan bakat, pengembangan social project, sampai persiapan karir pascakampus,” katanya menjelaskan.