Perwakilan koalisi sekaligus Direktur Eksekutif Intitute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengecam teror dan intimidasi terhadap Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (CLS FH UGM). Panitia diskusi juga diindikasikan mendapatkan kriminalisasi atas dugaan makar.
"Guru Besar Hukum Tata Negara FH UII (Universitas Islam Indonesia) yang diundang menjadi narasumber (Ni'matul Huda) pun mengalami teror," ucapnya melalui keterangan tertulis, Jumat (29/5). Imbasnya, judul diskusi diubah dan panitia akhirnya membatalkan kegiatan.
CLS mulanya berencana menggelar diskusi daring "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan", 29 Mei 2020, pukul 14.00-16.00 WIB. Judul lalu diganti menjadi "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan".
Panitia pun sempat mengganti platform tempat kegiatan dari aplikasi Zoom. Namun, akhirnya dibatalkan dengan alasan keamanan, beberapa jam sebelum acara.
Teror dan intimidasi tersebut, terang Erasmus, melanggar Pasal 28E dan F Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945, di mana hak setiap orang untuk menyuarakan pendapatnya dengan di berbagai media dijamin konstitusi. Diskusi itu juga bagian dari kebebasan akademis dan Indonesia telah menyetujui Kovenan Hak Sipil dan Politik menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2005.
Menurutnya, setiap pejabat publik semestinya mengemban posisinya dengan kewajiban menaati konstitusi. Pelanggaran terhadapnya patut disanksi pencopotan.
"Judul diskusi tidak melanggar sama sekali Konstitusi dan HAM. Pemberhentian presiden diatur dalam Pasal 7A dan 7B. Sehingga membincangkan pemberhentian presiden, adalah membincangkan konstitusi. Mereka yang menolak membicarakan pemberhentian presiden dalam UUD 1945, sebenarnya sedang menolak isi konstitusi," paparnya.
Kritik serupa disampaikan Asosiasi Akademisi. Alasannya, kebebasan akademis bagian dari kebebasan berekspresi sebagai sistem hak asasi manusia (HAM) universal yang dilindungi di Indonesia.
"Dewasa ini, tekanan terhadap kebebasan akademik masih menyisakan persoalan yang rumit. Kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mengemukakan pemikirannya masih saja mendapat perlawanan dari berbagai pihak," ujar perwakilan Asosiasi Akademisi, Susi Dwi Harijanti, terpisah.
Kebebasan akademis, bebernya, dilindungi dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2012. Turut pula diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum di Bologna, 18 September 1988.