Beberapa waktu ke belakang, pemberitaan tentang kekerasan dalam lembaga pendidikan termasuk pesantren santer dimuat di berbagai media massa. Menanggapi hal tersebut, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghofur menjelaskan, pihaknya selama ini telah melakukan ikhtiar dini sebagai bagian dari tindakan pencegahan dan upaya preventif.
“Kami melakukan sejumlah upaya, meskipun tidak harus show of force. Misalnya, preventifnya, kami melakukan upaya pembinaan sosialisasi pesantren ramah anak. Kami punya buku panduan yang disusun bersama Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) untuk pesantren ramah anak. Ini kami sosialisasikan,” jelas Waryono dalam keterangan resminya, Minggu (18/9).
Waryono mengaku, saat ini Kementerian Agama (Kemenag) terus menjalin komunikasi dengan pesantren untuk sama-sama saling mengingatkan bahwa santri merupakan titipan orang tua kepada para kyai, ibu nyai, dan ustaz. Oleh karena itu, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.
“Artinya, santri harus mendapatkan perlindungan dan pembelajaran. Kalau sakit, diobati. Santri tidak boleh mendapat kekerasan. Ini terus kami komunikasikan dan sosialisasikan,” tambah Waryono.
Hingga saat ini menurut Waryono, proses sosialisasi terus berjalan secara bertahap, mengingat jumlah pesantren sangat banyak yaitu lebih dari 37 ribu yang terdaftar di Kemenag.
Sosialisasi disampaikan kepada para Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi yang bertugas dalam pembinaan pesantren. Sosialisasi juga diberikan kepada perwakilan pesantren, baik secara daring atau dalam jaringan dan luring atau luar jaringan.
“Kami sampaikan bahwa pengasuh pesantren harus membaca regulasi terkait perlindungan anak dan perempuan. Bahkan, saya menyebutnya regulasi itu sebagai kitab kuning baru. UU perlindungan anak dan perempuan agar menjadi panduan pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia. Jadi pesantren tidak hanya membaca kitab kuning (keagamaan) ansich, tapi juga kitab kuning dalam bentuk regulasi yang berlaku di Indonesia,” katanya.
Saat ini disampaikan Waryono, Kemenag sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Anak di Pesantren. Proses penyusunannya sudah memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
RPMA ini terdiri 8 bab dengan pasal sejumlah kurang lebih 50. Dalam RPMA, terdapat definisi kekerasan seksual yang berbeda dengan definisi di dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2021. Pasalnya, aturan Permendikbud memiliki klausul “tanpa persetujuan korban” untuk mendefinisikan tindakan kekerasan seksual. Dalam RPMA ini, definisi dibuat dengan pendekatan agama.
RPMA juga memuat bab pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini akan mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).
Kemudian di dalam bab penanganan, regulasi ini akan mengatur alur pelaporan bagi korban kekerasan seksual. Kemenag akan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat untuk membantu mendampingi korban dari aspek psikologis. Tak hanya itu, dalam bab penanganan juga mengatur sikap lembaga pendidikan terhadap pelaku dan korban. Waryono menerangkan, korban semestinya diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan.
Pada regulasi yang sedang disusun ini juga dijelaskan akan ada aturan tentang sanksi dalam bentuk administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku akan diserahkan ke penegak hukum.
“Kalau administratif bisa berupa pemecatan. Regulasi ini juga akan mengatur bahwa pelaku harus membayar ganti rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban,” terang Waryono.
Sedangkan untuk penanganan kasus kekerasan yang sudah terjadi, Waryono mengaku hal tersebut menjadi perhatian bagi Kemenag. Bahkan Waryono mengaku, pihaknya selalu memberikan respons pada kesempatan pertama dan mendapatkan informasi terkait kekesaran yang dimaksud dengan melakukan identifikasi dan investigasi.
“Jika sudah ranah hukum, kita serahkan ke penegak hukum. Terkait pembinaannya, kami bersama kementerian dan lembaga terkait lainnya berkoordinasi dan bersinergi untuk melakukan langkah penyelesaian bersama. Lembaga tersebut misalnya KPPA dan pihak kepolisian,” tandasnya.
Waryono menambahkan, proses perlindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak stakeholders. Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan.
“Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang, dititipkan ke siapa? Ini semua harus dipikir. Kita tidak bisa hanya menyelesaikan pelakunya saja, tapi juga perlu dipikirkan nasib korban seperti apa. Nah kita bisa libatkan Dinas Sosial,” pungkasnya.
Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, Waryono pun mengimbau agar korban harus bisa dilindungi, terutama anak-anak dan perempuan. Ia juga menegaskan aga penanganan kasus berjalan secara komprehensif.