close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi atlet penyandang disabilitas. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ilustrasi atlet penyandang disabilitas. Alinea.id/Aisya Kurnia
Nasional
Rabu, 05 Januari 2022 16:03

Diskriminasi bonus atlet: "Juara dunia, tetapi diapresiasi seperti juara RT..."

Pemerintah dinilai cenderung hanya 'menghargai' atlet-atlet berprestasi di cabang olahraga yang populer.
swipe

Asa Muhammad Ihsan, 19 tahun, untuk mewujudkan mimpinya membeli sebuah truk sempat membuncah saat menjuarai Special Olympics World Summer Games (SOWSG) ke-15 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab pada 2019 silam. Ihsan sempat yakin duit hadiah dan bonus yang ia peroleh bisa digunakan untuk membeli truk idamannya. 

Di ajang itu, Ihsan mengantongi dua medali emas. Satu medali dari cabang olahraga lari 100 meter dan lainnya dari tanding lompat jauh. Sayangnya, setiap medali emas SOWSG hanya "dihargai" Rp50 juta oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). 

“(Hadiah tambahan dari Kemenpora) dapat uang aja Rp100 juta. Enggak cukup sih (untuk membeli mobil truk). Kurang. Ha-ha-ha. Tetapi bersyukurlah masih dapat (bonus). Lumayan,” kata Ihsan saat berbincang dengan Alinea.id melalui sambungan telepon, Senin (3/1).

Harga truk yang diincar Ihsan sekitar Rp300 juta. Kendaraan itu diniatkan Ihsan bakal digunakan sebagai pengangkut pupuk. Keluarga Ihsan di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, memang sudah bertahun-tahun berbisnis pupuk. 

Pemerintah daerah tergolong lebih murah hati mengapresiasi perjuangan keras Ihsan mengalahkan para pesaing dari 169 negara di ajang SOWSG 2019. Dari Bupati Tanah Laut, Ihsan mendapatkan sebuah rumah untuk ditempati. 

Meski duit hadiah bukan tujuan utama berkompetisi, Ihsan berharap pemerintah pusat mau mendongkrak nilai “tali kasih” bagi atlet disabilitas intelektual berprestasi. Menurut dia, tak mudah bagi para atlet tunagrahita untuk bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Alhamdulillah, sangat bangga kemarin. Apalagi, jadi juara satu dan bisa membawa nama Indonesia. Senang banget. Ya, harapannya ditambahlah ini (bonus) uangnya. Kalau bisa naik. Biar semangat lagi teman-teman,” terang Ihsan.

Meski sama-sama ajang intenasional yang diikuti kontingen dari berbagai negara, SOWSG terkesan dipandang sebelah mata. Di ajang itu, Kemenpora hanya mematok  bonus sebesar Rp50 juta untuk peraih medali emas, Rp30 juta untuk peraih medali perak, dan Rp20 juta untuk peraih medali perunggu. 

Di ajang kejuaraan pesta olahraga difabel Asia atau Asian Para Games 2018, Kemenpora mematok bonus lebih tinggi. Atlet perseorangan peraih medali emas mendapat bonus sebesar Rp1,5 miliar, peraih perak mendapat Rp500 juta, dan peraih perunggu Rp250 juta. 

Adapun untuk atlet ganda yang meraih medali emas mendapat bonus sebesar Rp1 miliar, perak sebesar Rp400 juta, dan sebesar perunggu Rp200 juta. Atlet beregu peraih medali emas, mendapat Rp750 juta, perak Rp300 juta, dan perunggu Rp150 juta.

Ilustrasi atlet penyandang disabilitas. Foto Instagram @npcindonesia

Diskriminasi apresiasi

Pengamat olahraga Akmal Marhali menilai hingga kini masih ada diskriminasi apresiasi terhadap atlet difabel yang berprestasi. Apalagi, jika nilai bonus untuk atlet difabel dibandingkan dengan nilai bonus atlet-atlet profesional yang berlaga di kompetisi internasional.

“Ya, kalau saya lihat ketimpangan (pemberian bonus) itu ada. Terkesan diskriminasi. Padahal, kalau kita bicara kebutuhan, atlet difabel lebih banyak membutuhkan bantuan kesejahteraan dibanding atlet yang normal,” terang Akmal saat dihubungi Alinea.id, Selasa (4/1).

Bonus bagi atlet yang berlaga di Olimpiade Tokyo 2020, misalnya. Pada ajang itu, pasangan ganda putri bulutangkis Indonesia Greysia Polli dan Apriyani Rahayu yang meraih medali emas memperoleh bonus sebesar Rp5,5 miliar. Pada ajang Thomas Cup 2020, Kemenpora bahkan menggelontorkan bonus sebesar Rp10 miliar untuk peraih medali emas. 

Tak hanya antara kompetisi, menurut Akmal, diskriminasi juga terasa antar cabang olahraga. Bonus besar biasanya selalu disiapkan pemerintah pusat untuk atlet-atlet cabang olahraga populer seperti bulutangkis dan sepak bola. 

Di lain sisi, olahraga yang kurang populer seperti angkat besi dan tinju cenderung kurang dihargai. Padahal, atlet-atlet cabang olahraga semacam itu relatif lebih "miskin" lantaran hanya sesekali berkompetisi di tingkat internasional. 

"Atlet bulu tangkis, mereka tanpa diberikan bonus oleh pemerintah, sudah kaya. Mereka, sejak turnamen, sudah ada uang yang didapat. Sementara, misalnya, apakah kemudian angkat besi, itu kan event tertentu saja. Nilainya juga kecil. Karena apa? Karena orang melihat popularitas. Padahal, pretasi angkat besi kita juara dunia. Tetapi, apresiasinya seperti juara RT,” jelas Akmal.

Regulasi yang tidak jelas, menurut Akmal, menjadi penyebab ketimpangan pemberian bonus bagi atlet berprestasi. Padahal, setiap atlet mempunyai hak mendapat bonus bila memenuhi syarat yang diatur dalam Permenpora Nomor 1684 tahun 2015 tentang Persyaratan Pemberian Penghargaan Olahraga Kepada Olahragawan, Pembina Olahraga, Tenaga Keolahragaan, dan Organisasi Olahraga.

Pasal 32 ayat (2) Permenpora itu menerangkan, "Setiap atlet dapat diberi bonus bila menjuarai atau mendapat medali dari setiap kejuaraan olahraga baik multievent seperti Olimpiade, Asian Games, Sea Games, Para Olympic Games, Asian Para Games, Asean Para Games, Special Olympics World Games hingga Special Olympics Asia Pacific Games."

“Memang ada aturannya. Akan tetapi, belum jelas jumlahnya (bonus) berapa. Karena itu, ke depan, sebaiknya pemerintah punya aturan lebih jelas terkait dengan bonus. Jangan kemudian, kelatahan (menjanjikan bonus),” ujar Akmal.

Mantan Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Djoko Pekik Irianto menilai masih ada kekosongan hukum dalam pemberian penghargaan untuk ajang olahraga tungal atau single event.  Menurut dia, Permenpora hanya baru mengatur penyaluran bonus untuk ajang multievent seperti Olimpiade dan Asian Games.

“Nah, itu yang perlu diatur (pemberian bonus kejuaraan single event). Itu yang nampaknya perlu aturan khusus. Yang sekarang nampak belum diatur dalam Permenpora,” ujar Djoko saat dihubungi Alinea.id, Selasa (4/1).

Secara umum, Djoko menganggap Permenpora No. 1684/ 2015 sudah cukup mumpuni mengakomodasi beragam aspirasi atlet. Ia mencontohkan bentuk penghargaan yang diberikan pemerintah yang tak hanya berupa uang. 

“Misalnya, ada kemudahan pekerjaan, pendidikan, dan satu di antaranya yang sensitif memang tentang bonus,” terang Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bermain bulu tangkis. Foto Instagram @jonatanchristieofficial

Sejahtera hingga pensiun 

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Abdul Fikri Faqih isu pemberian bonus yang terkesan diskriminatif sudah lama jadi perhatian DPR. Ia pun mendukung dikeluarkannya aturan-aturan baru untuk meregulasi bonus para atlet. 

“Itu (ketimpangan) tidak bisa dihindari. Bisa jadi ini karena masifnya informasi di berbagai media sehingga event tertentu mendapat atensi yang tinggi dari publik. Khususnya olahraga bulutangkis dan sepak bola, ini merupakan cabang olahraga paling favorit di Indonesia,” tutur Fikri kepada Alinea.id, Selasa (4/1).

Fikri mengungkapkan saat ini DPR tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (RUU SKN). Payung hukum itu rencananya bakal direvisi guna memastikan para atlet bisa sejahtera hingga usia pensiun. 

Lebih jauh, Fikri berharap pemerintah juga berinisiatif membuat regulasi pemberian bonus yang lebih adil. “Penghargaan atau apresiasi, ke depan, penting dibuat skema pemberian bonus yang lebih rapi dan transparan, terutama oleh Kemenpora,” terang Fikri

Pelaksana tugas Sekretaris Kemenpora Jonni Madrizal mengatakan Kemenpora sudah mempunyai aturan rinci mengenai pemberian bonus bagi atlet yang berprestasi di ajang multievent dan single event. Namun, ia menolak berkomentar soal anggapan nilai bonus yang terkesan diskriminatif antar cabang atau antar atlet. 

“Ya, ada permennya. Aturan itu ada, besarannya (bonus) juga jelas di sana, untuk perorangan sekian, ganda sekian, tim regu sekian. Itu untuk multievent yang kita siapkan. Kalau untuk single event, itu ada juga ketentuan sendiri,” tutur Jonni saat dihubungi Alinea.id, Senin (3/1).

Menurut Jonni, penghargaan untuk atlet berprestasi terus membaik seiring waktu. Tak hanya diberi bonus duit, menurut dia, saat ini sudah banyak atlet berprestasi yang diangkat jadi aparatur sipil negara (ASN), ditempatkan di BUMN, dan diberikan rumah tinggal. 

"Terakhir kemarin saat Olimpiade itu untuk (atlet meraih) emas itu (bonusnya) Rp5 miliar. Jadi, bukan materi saja. Pengangkatan sebagai PNS ini sudah banyak untuk atlet kita yang memperoleh medali di Asean Games kemarin. Itu ada ratusanlah yang diangkat," ujar Jonni. 
 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan