close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pasir laut. Foo Pixabay
icon caption
Ilustrasi pasir laut. Foo Pixabay
Nasional
Jumat, 02 Juni 2023 14:50

KNTI: Aturan ekspor pasir laut Jokowi lebih buruk dari Megawati

Aturan baru Jokowi merupakan langkah mundur dalam pelestarian ekosistem pesisir dan laut.
swipe

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai, aturan baru Presiden Joko Widodo soal izin eksploitasi dan ekspor pasir laut lebih buruk jika dibandingkan dengan aturan yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Pada era Mega, ekspor pasir laut dihentikan sementara untuk mengendalikan dampak buruk eksploitasi pasir laut bagi lingkungan, nelayan, dan pembudidaya ikan.

Menurut Ketua Umum KNTI Dani Setiawan, ada dua hal yang patut dipersoalkan dalam beleid ini. Yang pertama, aturan ini menegaskan pengalihan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi setiap warga negara Indonesia terhadap lingkungan yang baik dan sehat menjadi tanggung jawab sektor swasta atau pelaku usaha.

Hal itu, urai Dani, diatur dalam pengendalian hasil sedimentasi melalui pembersihan (Pasal 10) yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki izin pemanfaatan pasir laut.

"Peraturan ini sesungguhnya menyembunyikan orientasi utama komersialisasi laut di balik kedok pelestarian lingkungan laut dan pesisir melalui pengelolaan hasil sedimentasi," ujar Dani lewat keterangan tertulis yang dikutip Jumat (2/6).

Kedua, lanjut Dani, aturan baru Jokowi merupakan langkah mundur dalam pelestarian ekosistem pesisir dan laut. Ini ditandai dengan dibukanya kembali perizinan usaha bagi penambangan pasir laut untuk tujuan komersial dan bahkan untuk ekspor.

Di masa lalu, urai Dani, ekspor pasir laut merupakan bisnis menggiurkan. Namun, langkah itu telah merugikan negara jutaan dolar akibat ekspor ilegal pasir laut.

"Penambangan pasir laut menjadi tidak terkendali dan merusak lingkungan laut dan pesisir, mengancam kehidupan nelayan, dan menguntungkan negara lain," urai dia.

Selain itu, dalam penyusunan kebijakan baru ini pemerintah sama sekali tidak menyinggung nelayan dan pembudidaya yang berpotensi terkena dampak dari aktifitas pemanfaatan pasir laut. Baik dalam konsideran maupun pasal-pasal di dalamnya. 

"Nelayan dan pembudidaya merupakan kosa kata yang asing dan tidak dikenal dalam peraturan yang justeru sangat dekat dengan kedua aktor ini," jelas Dani.

Karena itu, KNTI meminta Presiden Jokowi membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan itu, menambah panjang daftar narasi kebijakan yang meresahkan masyarakat.

Tertuang di Pasal 2 beleid itu, tujuan pengelolaan hasil sedimentasi di laut adalah: (1) menanggulangi sedimentasi yang menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, dan (2) mengoptimalkan hasil sedimentasi di Laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir.

Sementara pada Pasal 9 dinyatakan bahwa hasil sedimentasi di laut dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan atau material sedimen lain berupa lumpur. Pasir laut dapat digunakan untuk empat hal: reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.

PP Nomor 26 Tahun 2023 yang terbit pada 15 Mei 2023 ini berbeda 180 derajat dari Keputusan Presiden RI No. 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang dibuat Megawati. Saat itu, Megawati menghentikan sementara ekspor pasir laut. Dua puluh tahun kemudian aturan itu diubah Presiden Jokowi.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan