Ali Imron, eks Bomber Bali, membeberkan dua macam kelompok radikal yang sampai hari ini masih harus terus diawasi pergerakannya di Indonesia, yakni kelompok radikal utuh dan setengah radikal.
“Teroris itu masuk dalam kelompok radikal, dan yang setengah kelompok ini masuk dalam kelompok yang di bawah teroris. Kelompok yang setengah radikal ini, mereka taat terhadap Pancasila, tetapi kenyataanya mereka menggerogoti Pancasila karena memiliki tujuan-tujuan tertentu,” ungkapnya dalam webinar bertema “Menjaga Atmosfer Toleransi” yang ditayangkan di channel YouTube Kemkominfo TV, Jum’at (8/1).
Mantan napi teroris ini menjelaskan, kelompok setengah radikal tersebut bisa masuk dan berbaur dalam berbagai ruang atau institusi, seperti pemerintahan, perguruan tinggi, bahkan bisa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Namun, sambung Ali, lain halnya dengan kelompok radikal utuh yang tidak berbaur atau masuk dalam pelbagai ruang-ruang insitusi, melainkan menjadikan dakwah sebagai medium untuk menanamkan bibit-bibit atau paham radikal.
“Karena jalannya adalah mendakwah, ceramah, sampai menjadi guru atau ustaz di berbagai lembaga pendidikan dan di manapun. Ini yang digunakan oleh teroris untuk mempengaruhi orang, jadi semuanya akan kena dakwah mereka,” paparnya.
Siapa pun, lanjut Ali, mulai dari anak muda atau orang tua, tidak menutup kemungkinan mudah ditanami paham radikal. Baik itu radikal utuh atau pun yang hanya setengah radikal.
Muslim yang memiliki basic tentang pemikiran khilafah atau negara Islam, urai Ali, adalah kelompok yang paling mudah untuk ditanami paham radikal. Namun, menurut dia, yang kelompok setengah radikal tak kalah berbahaya bila pemahaman terhadap Pancasila mulai luntur dan terkikis ideologi radikal.
“Ini jelas membahayakan, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) nantinya akan diisi oleh orang-orang yang setengah radikal ini. Sehingga lama kelamaan bisa luntur pemahamannya terhadap pancasila,” terangnya.
Terjebak radikalisme
Ali kemudian berbagi cerita singkat bagaimana ia bisa masuk dan terjerumus dalam paham radikal, yang tak lain karena dipengaruhi Ali Gufron atau Muklas, saudara kandungnya.
“Sejak kelas 4 madrasah ibtidaiyah (MI) saya sudah berpaham radikal. Yang membuat saya radikal adalah kakak saya, Ali Gufron atau Muklas,” kata dia.
Lanjut Ali, selepas Ali Gufron atau Muklas berhasil lulus dari MI, dia memutuskan untuk lanjut menimba ilmu di pondok pesantren milik Abu Bakar Ba’asyir di Solo. Muklas, kata dia, selama 6 tahun mondok menjadi murid kesayangan di sana.
“Setiap waktu libur dia pulang. Dan setiap pulang itu dia pasti akan berbagi ilmu pada semua adiknya. Berhubung dari seluruh adiknya saya yang paling dia sayang, tentunya saya juga yang pertama kali berbuah paham radikalnya. Mulai kelas 5 MI itu saya sudah ribut sama Bapak saya yang dulu menjabat sebagai sekretaris desa (Sekdes). Waktu itu saya copot semua foto presiden dan wakil presiden, juga lambang burung garuda. Itu semua saya turunkan. Jadi sejak kecil saya sudah radikal,” ungkapnya.
Namun, sekarang ini keadaannya sudah berbeda 180 derajat. Kini Ali telah bertaubat dan menyesali perbuatannya. Saat ini ia memilih untuk bergabung dan membantu pemerintah untuk menumpas radikalisme di Indonesia.
“Begitu bom sudah kami ledakan di Bali kami sampaikan bahwa tujuan kami sebenarnya itu malah akhirnya membuat masyarakat baik Indonesia secara khusus atau dunia secara umum malah ketakutan (phobia) terhadap negara Islam. Kedua, yaitu masyarakat lokal Indonesia dan dunia phobia terhadap syariat jihad fi sabilillah. Dua tujuan yang saya anggap gagal inilah yang menyebabkan akhirnya saya mencari dan menyadari kesalahan itu dan bertaubat,” pungkas Ali Imron.
Diketahui, mantan terpidana teroris Abu Bakar Ba’asyir (ABB) resmi menghirup udara segar setelah menjalani hukuman pidana di Lapas Khusus Klas II A Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat (Jabar).
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Rika Aprianti mengatakan, ABB keluar pukul 05.30 WIB. Kebebasannya didampingi oleh pihak keluarga serta kuasa hukumnya.
"ABB diserahterimakan dengan pihak keluarga dan tim pengacara yang datang menjemput, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang di antaranya adalah membawa surat hasil tes swab Covid-19 negatif," ujar Rika dalam keterangan resminya, Jumat (8/1).