close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi aplikasi ASN No Radikal. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi aplikasi ASN No Radikal. Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Selasa, 15 September 2020 06:29

Bahaya kriminalisasi di ujung jari "intel" ASN No Radikal

Di tengah pandemi, KemenPAN-RB meluncurkan aplikasi untuk memudahkan pelaporan terhadap aparatur sipil negara yang diduga radikal.
swipe

Guru besar ilmu hukum Universitas Diponegoro (Undip) Suteki mengaku gusar mendengar kabar peluncuran aplikasi khusus untuk melaporkan aparatur sipil negara (ASN) yang diduga radikal. Berkaca pada pengalamannya, Suteki memprediksi keberadaan aplikasi itu bakal memunculkan beragam persoalan. 

"Pelarangan terhadap tindakan, pemikiran yang dilakukan oleh warga negara harus diatur dengan undang-undang. Tidak cukup dengan surat keputusan bersama (SKB). Apalagi, hanya dengan aplikasi," kata dia kepada Alinea.id, Minggu (6/9). 

Aplikasi yang dimaksud Suteki ialah aplikasi ASN No Radikal. Aplikasi itu resmi diluncurkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo di Gedung Kemenpan-RB, Jakarta, pada awal September lalu.

Saat meresmikan ASN No Radikal, Tjahjo mengatakan, aplikasi itu bakal terhubung hingga ke pemerintah-pemerintah daerah. Ia berharap, aplikasi itu dapat memudahkan penanganan pengaduan terhadap ASN yang terpapar paham radikal. 

ASN No Radikal merupakan upaya lanjutan pemerintah untuk mengekang radikalisme di lingkugan ASN. Pada 2019, Kemenpan-RB bersama 9 kementerian dan lembaga (K/L) telah meluncurkan situs aduanasn.id untuk mengumpulkan laporan dari masyarakat mengenai ASN radikal. 

Ada 11 kriteria tingkah laku radikal yang bisa dilaporkan, semisal pendapat bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah di media sosial dan turut menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

ASN juga bisa dikategorikan radikal jika ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. 

Yang paling kontroversial, ASN juga bisa dianggap radikal hanya karena memberikan likes, dislike, love, retweet, atau berkomentar mendukung opini-opini yang digolongkan radikal di lini masa media sosial milik mereka.  

Suteki mengatakan, seseorang tidak bisa semena-mena dilabeli sebagai individu radikal hanya karena dilaporkan oleh orang lain. Harus ada pembuktian yang komprehensif. Apalagi, terminologi radikalisme cenderung bersifat lentur dan politis. 

"Radikalisme itu lebih condong pada nomenklatur politik dibandingkan hukum sehingga bersifat kabur dan lentur sesuai kepentingan rezim penguasa. Tapi, celakanya yang sering dipakai adalah koridor politik. Asal tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, ditindak," katanya

Lebih jauh, Suteki mengatakan, bukan perkara gampang membuktikan seseorang terpapar paham radikal dalam koridor hukum. Pihak yang dituduh juga harus diberikan panggung untuk membela diri. 

"Bukan penilaian sepihak tanpa memberikan ruang untuk membela diri secara patut. Jangan asal menuduh dan memberikan sanksi lantaran berhak dan berwenang," tuturnya.

Suteki kemudian mencontohkan pengalamannya. Pada 2017, Suteki dicopot dari jabatan Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum dan Ketua Senat Fakultas Hukum Undip karena hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan gugatan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di PTUN Jakarta dan Mahkamah Konstitusi. 

Ia dicopot dari dua jabatan itu oleh Rektor Undip Yos Johan Utama tanpa klarifikasi terlebih dahulu. Suteki dianggap melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. "Tidak ada (cover both side)," ujar dia. 

Meski masih berstatus sebagai pengajar di Undip, Suteki mengatakan, ia kini dilabeli kaum radikal dan dijauhi. "Risiko perjuangan. Stigma apa pun, ya, sakarepe (terserah) yang mau ngomong. Yang penting saya tidak korupsi, tidak maling, tidak membunuh, dan merugikan orang lain," kata dia. 

Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo meresmikan peluncuran aplikasi ASN No Radikal di Gedung Kemenpan-RB, Jakarta Pusat, Rabu (2/9). Foto Dok Humas Menpan-RB

ASN No Radikal dianggap salah sasaran

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengkritik peluncuran aplikasi ASN No Radikal untuk mendeteksi bahaya radikalisme di lingkungan ASN. Menurut dia, aplikasi ASN No Radikal ini justru malah bisa memicu kecurigaan antara ASN.

"Alih-alih menyelesaikan masalah radikalisme, ini malah menimbulkan masalah baru saling curiga atau bahkan saling lapor. Jika ini terjadi, malah buruk bagi ASN. Mereka tidak dapat bersikap profesional dalam lingkungan yang negatif," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (4/9).

Mardani meminta Menpan-RB Tjahjo Kumolo untuk lebih bijak mengelola persoalan-persoalan radikalisme di kalangan ASN. Ia menilai aplikasi ASN No Radikal tidak tepat untuk membasmi radikalisme di lingkungan pemerintah.

"Ini seperti kisah (pujangga Arab) Abu Nawas hilang cincin di pekarangan mencarinya di ruang tamu. Saat ditanya kenapa? Karena ruang tamu terang dan halaman gelap," ucap politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.

Peneliti terorisme dari Indonesia Muslim Crisis Center, Roby Sugara sepakat penggunaan aplikasi ASN No Radikal untuk mendeteksi ancaman radikalisme di lingkup ASN merupakan langkah yang mubazir. 

Ketimbang mengandalkan aplikasi itu, Roby menyarakan agar Kemenpan-RB menggelar sensus guna mendapat fakta aktual mengenai seberapa besar pengaruh paham radikal di lingkungan ASN. Sensus itu, kata dia, bisa mudah digelar jika manajemen administrasi kepegawaian dibenahi. 

"Kalau terstruktur secara baik itu gampang banget tracking-nya. Apalagi, sekarang semua orang punya akun sosmed. Ada mesin yang bisa men-track apakah dia terlibat pada percakapan isu-isu yang masuk dalam kategori radikalisme," ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (6/9).

Sensus tersebut, jelas Roby, bisa dilakukan lewat angket online. Meskipun ada kemungkinan jawaban para ASN cenderung cari aman, Robby menilai, sensus lebih bisa menggambarkan kecenderungan ASN. 

"Tidak masalah yang penting dia akan menyerahkan akun media sosialnya. Setelah dilakukan track terhadap media sosialnya, otomatis kan bisa diambil datanya lewat mesin. Kelihatan berapa persentasenya. Nah, dari situ baru bersihin satu-satu dengan profiling terlebih dulu," tutur dia.

Lebih jauh, Roby mengatakan, pemerintah harus bersikap tegas dalam mengawasi potensi radikalisme di kalangan ASN. Untuk ASN yang menolak sensus, misalnya, sanksi penundaan gaji bisa diberlakukan. "Jadi, orang-orang yang cenderung komitmen kebangsaannya kurang, ya, sudah dikeluarkan saja," ujarnya.

Aparatur sipil negara (ASN) eselon III dan IV mengikuti pengambilan sumpah jabatan dengan mengantisipasi penularan corona di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (27/3/2020). Foto Antara/Zabur Karuru

Pemerintah janji objektif

Pendapat berbeda diutarakan Wakil Ketua Komisi II Yaqut Cholil Qoumas. Pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu justru mengapresiasi kehadiran aplikasi ASN No Radikal untuk mendeteksi ASN yang terpapar paham radikal. 

"Menurut saya, selama laporan yang masuk dilakukan klarifikasi terlebih dahulu, tidak akan ada masalah," ujarnya saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Sabtu (5/9).

Klarifikasi, lanjut dia, penting agar pemerintah tidak semena-mena dalam menyimpulkan seseorang terindikasi menganut paham radikal. "Ini juga bagus untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam membatasi ruang gerak radikalisme," kata dia. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz
 
Staf khusus bidang radikalisme Mepan-RB, Kombes Yoyon Tony Surya Putra mengungkapkan aplikasi ASN No Radikal tak bisa diakses sembarang orang. Hanya pejabat tertentu di kementerian dan lembaga yang bisa mengakses aplikasi ASN No Radikal itu.

Akses terhadap aplikasi, lanjut Tony, juga hanya bisa dibuka setelah ada rekomendasi dari satuan tugas penanganan radikalisme yang diamanatkan oleh SKB 11 kementerian dan lembaga. 

"Kalau itu (rekomendasi) ada, bila ada ASN yang terpapar radikalisme, baru bisa mengakses. Kalau enggak ada, kementerian dan lembaga tidak bisa mengakses. Itu fungsinya untuk komunikasi dan koordinasi untuk menyikapi dan mengatasi masa pandemi ini," ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (5/9).

Tony menegaskan, laporan terhadap ASN yang diduga radikal harus diproses bertahap. Kasus dugaan ASN terpapar radikalisme hanya bisa masuk ke aplikasi tersebut setelah upaya penyelesaian di internal menemui jalan buntu. 

"Setelah di-profiling, pendalaman, dan lain sebagainya, dilihat terbukti atau tidak. Kalau terbukti, disanksi. Kalau enggak terbukti, ya, kemungkinan fitnah. Pokoknya kami sangat objektif," ucap mantan Kapolres Jakarta Timur itu.

Lebih jauh, Tony mengatakan, pemerintah bakal tegas terhadap ASN yang radikal. Deretan sanksi disiapkan sesuai dengan jenis pelanggaran yang mereka lakukan. "Sanksinya pasti akan macam-macam. Tergantung tingkat terpapar radikalisme, ya," kata dia. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan