Kementerian Investasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan, realisasi investasi tertinggi pada kuartal IV-2022 dan sepanjang 2022 yang paling tinggi diraih oleh Provinsi Jawa Barat. Kondisi ini berbanding terbalik dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan penduduk miskin di Jawa Barat justru tertinggi kedua per September 2022.
Menteri Investasi/BKPM, Bahlil Lahadalia mengatakan, capaian realisasi investasi di Jawa Barat pada kuartal IV-2022 dan sepanjang 2022 menjadi yang tertinggi, yaitu masing-masing sebesar Rp46,2 triliun dan Rp174,6 triliun. Tapi berdasarkan laporan BPS, tercatat per September 2022, jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Barat adalah tertinggi kedua, yaitu mencapai 4,05 juta orang.
Tak hanya itu, berdasarkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2022, provinsi dengan jumlah pengangguran tertinggi diduduki oleh Jawa Barat sebanyak 8,31%, disusul Kepulauan Riau 8,23%, Banten 8.09%, dan DKI Jakarta 7,18%.
Bahlil menanggapi hal ini dengan alasan, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang tertinggi di Indonesia. Sehingga meskipun investasinya tertinggi,jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya juga sangat tinggi, maka penduduk miskin juga masih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Desember 2022, Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbanyak, yaitu 48,22 juta jiwa dari total 273 juta jiwa di seluruh Indonesia.
“Tahu nggak? Jawa Barat itu adalah jumlah penduduk terbesar di RI dari provinsi, Jawa Timur kalah loh. Jadi Jawa Barat itu harus dibandingkan juga dengan jumlah penduduknya. Jangan kau samakan jumlah penduduk Papua dengan Jawa Barat,” ujar Bahlil kepada Alinea.id pada konferensi pers realisasi investasi triwulan IV-2022, ditulis Minggu (29/1).
Bahlil menambahkan, investasi yang dilakukan di Indonesia saat ini merupakan penyediaan lapangan kerja kombinasi antara padat karya dan teknologi tinggi. Yang termasuk padat karya di antaranya seperti pabrik sepatu dan garmen dengan investasi yang bersifat temporer atau sesaat.
“Karena investasinya tidak besar, jadi dia (industri padat karya) akan lihat mana regulasi yang baik. Kalau orang bangun pabrik pakaian di Indonesia jalan 2-3 tahun, lalu di tahun ke 4 sudah pada demo karyawannya, dia akan melihat negara lain seperti Bangladesh, maka dia akan memilih ke sana. Dia relokasilah,” tuturnya.
Dia juga menegaskan, ketersediaan lapangan kerja saat ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan perusahaan saja, namun karyawan juga harus ikut serta. Sehingga untuk lapangan pekerjaan dan tenaga kerja harus memiliki korelasi.
“Jadi kalau boleh, skill ini harus ditempatkan dan kita harus korelasikan dengan tingkat kebutuhan dan persiapan tenaga kerja itu sendiri, Kementerian investasi tapi tidak di bagian itu, kami tapi sudah menyampaikan kepada kementerian-kementerian lain bahwa ‘hai kami akan membangun pabrik ini, industrinya ini, dan skill yang dibutuhkan ini’,” ucap Bahlil.