Balada PSBB di rusun dan kampung kota
Mendapati unit rumah susunnya disambangi belasan kerabat dan tetangga, rasa haru menghinggapi Fahmi Yuda. Tanpa malu-malu, pria berusia 31 tahun itu meneteskan air mata di depan para tamu dadakan tersebut.
"Alhamdulillah, perjuangan saya dan keluarga tidak sia-sia. Saya sehat. Jangan takut ketemu saya dan keluarga saya," kata Fahmi kepada Alinea.id di unit TA 0813 Rusun Jatinegara Barat, Jakarta Timur, Kamis (7/5) malam.
Hari itu jadi semacam hari kebebasan bagi Fahmi sekeluarga. Setelah 18 hari menjalani isolasi mandiri, Fahmi dinyatakan negatif Covid-19. Itu tertulis dalam dokumen hasil tes swab (air liur) yang ia terima beberapa jam sebelumnya.
"Saya sejak awal tidak yakin (terpapar), tapi tetap mengikuti anjuran dokter," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu bank swasta di DKI Jakarta itu.
Sekitar setengah bulan lalu, Fahmi dinyatakan positif Covid-19 setelah menjalani rapid test di kantornya. Atas anjuran seorang dokter di Puskesmas Jatinegara, ia sekeluarga menjalani isolasi mandiri di rumah mereka.
Selama isolasi, kebutuhan hidup Fahmi dan keluarga ditopang oleh pengurus RW. Selain isolasi mandiri, Fahmi dan istrinya juga menjalani tes swab untuk memverifikasi hasil rapid test. "Semoga apa yang dikasih ke keluarga saya, Allah membalasnya," ujar Fahmi.
Kepada Alinea.id, Ketua RW 09 Rusun Jatinegara Barat, Bahrudin mengatakan hasil tes Fahmi merupakan bukti kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan yang disepakati bersama di rusun itu.
Protokol itu, kata Bahrudin, mulai berlaku tak lama setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), awal Maret lalu.
"Dua pintu masuk ditutup, akses warga dibatasi. Warga yang tidak memiliki kepentingan mendesak di luar rusun, dilarang berpergian," kata Bahrudin.
Terletak hanya sekitar 300 meter dari Terminal Kampung Melayu, Rusun Jatinegara Barat merupakan salah satu permukiman padat di DKI Jakarta. Sekitar 3.000-an jiwa menghuni rusun itu. Mayoritas warga merupakan mantan penghuni Kampung Pulo yang direlokasi sejak Juni 2015.
"Pola hidup kami survival, hari ini kita cari untuk makan hari ini," ujar Bahrudin saat menjelaskan bahwa rata-rata penghuni rusun bekerja di sektor informal.
Sejak wabah Covid-19 merebak, Bahrudin bersama para ketua RT rajin mengedukasi warga mengenai bahaya Covid-19. Selain via spanduk-spanduk yang dipasang di tiap unit, mereka juga rajin membagi informasi terkait virus itu di grup WhatsApp.
Sejalan dengan diberlakukannya PSBB di DKI, ia mengatakan, Rusun Jatinegara Barat pun turut bersiaga. Beragam upaya mencegah penularan Covid-19 dilakukan, semisal melarang orang asing masuk rusun, menyediakan penyanitasi tangan di tempat-tempat strategis, dan melarang salat berjamaah.
Meski demikian, diakui Bahrudin, masih saja ada warga yang membandel. "Awalnya ada pro-kontra. Ada yang tidak terima. Kami yang tinggal di sini masih berhubungan dengan keluarga di wilayah asal (Kampung Pulo). Tetapi, setelah evaluasi, mereka mengerti dan tidak membawa famili dan teman ke sini," tutur dia.
Kampung "anti-PSBB" di Tangerang
Kurang lebih 37 kilometer dari Rusun Jatinegara Barat, kondisi kontras terlihat di Desa Kebon Cau, Kecamatan Teluk Naga, Tangerang, Banten. Di desa ini, mayoritas warga masih beraktivitas seperti biasa. Seolah tak sadar bahaya Covid-19, masih banyak warga yang keluar rumah tanpa mengenakan masker.
Tak hanya itu, warga juga tetap memadati masjid dan musala untuk menjalankan salat Jumat atau tarawih di malam hari. Fasilitas cuci tangan dan penyanitasi tangan juga hampir tak bisa ditemui di lokasi-lokasi strategis di seantero desa.
"Seperti biasa saja. Semua orang masih melakukan aktivitas seperti sebelum corona. Mungkin yang beda itu cuma ada yang pakai masker, ya," ujar Ahmad Maryuni, salah satu pemilik kedai kopi di desa itu, saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (8/5) sore.
Terletak tak jauh dari Bandara Soekarno Hatta, sebagian besar wilayah Kebon Cau masih rawa-rawa. Dihuni sekitar 14.000 jiwa, rata-rata warga desa itu merupakan keturunan Betawi dan pendatang dari Jawa. Mayoritas warga merupakan bekerja sebagai buruh, petani, dan nelayan.
Kepada Alinea.id, Kepala Desa Kebon Cau Ahmad Nur mengaku sudah berulang kali mengingatkan warganya akan bahaya Covid-19. Namun, mayoritas warga mengabaikan protokol kesehatan lantaran wilayahnya masih masuk zona hijau.
"Kami dari desa sudah sering menganjurkan, bahkan sekecamatan. Tapi, kewalahan juga menghadapi situasi masyarakat yang masih belum menggubris. Bahkan, kapolsek juga turun. Susah juga kalau masyarakatnya masih belum percaya," kata Ahmad.
Menurut Ahmad, minimnya kesadaran warga akan bahaya virus Covid-19 tak lepas dari faktor rendahnya tingkat pendidikan. "Ya, warga kami masih sangat sederhana," ujar pria berusia 50 tahun itu tanpa merinci lebih jauh.
Di sejumlah pasar di Kecamatan Teluk Naga, roda ekonomi juga berjalan sebagaimana biasanya. Toko-toko tetap buka. Pedagang dan pembeli bertemu tanpa "penghalang".
"Di situ kita kewalahan sama ulama-ulama, 'Kok pasar aja masih dibuka, ibadah dilarang?' Itu kita kalah (debat). Makanya, kami kewalahan. Tapi kami udah antisipasi, penyemprotan di lapangan kami jalan terus," jelas Ahmad.
Di wilayah Tangerang Raya--meliputi Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Tangerang Selatan--PSBB sebenarnya sudah mulai berlaku sejak beberapa pekan silam. Bahkan, PSBB diperpanjang hingga 17 Mei 2020.
Meski demikian, menurut Ahmad, belum semua kecamatan menaati imbauan pemerintah. "Kita sudah berlakukan di desa, udah imbau warga juga. Tapi kembali lagi, warga cuma diminta enggak ke mana-mana. Jadi, interaksi masyarakat cuma di dalam desa aja," kata dia.
Situasi serupa juga terlihat di Kampung Alang, tetangga Kebon Cau. Di kampung itu, social distancing dan physical distancing hanya sekadar slogan. Asep--yang sehari-hari bekerja sebagai penjual jamu di kampung itu--sepakat dengan mayoritas warga untuk tetap ibadah berjamaah.
"Zaman Nabi, aman-aman saja meskipun ada wabah. Saya yakin orang yang masuk ke masjid itu bersih semua. Kan mereka mandi dulu sebelum ke masjid, terus wudhu lagi. Gimana enggak bersih," tutur dia.
Asep mengaku tetap berjualan seperti biasanya lantaran pemerintah minim solusi. Bagi dia, bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp600 ribu tak cukup menopang kehidupan warga yang terpukul perekonomiannya karena pandemi.
Pemerintah harus turun tangan
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan kesadaran warga merupakan salah satu kunci efektifnya PSBB di rusun dan kampung kota. Apalagi, polisi memang tidak punya kewenangan untuk membubarkan kerumunan di permukiman warga.
"Makanya saya bilang, polisi enggak bisa datang ke pemukiman padat untuk usir orang yang berkumpul. Enggak ada urusan. Awal-awal polisi dan TNI masih keliling untuk melakukan imbauan. Tapi, ke sini seperti biasa-biasa aja," kata Rissalwan kepada Alinea.id, Sabtu (9/5).
Menurut Rissalwan, penerapan PSBB di permukiman bisa efektif jika dikombinasikan dengan dua opsi lain. Opsi itu adalah pencegahan wabah penyakit yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni karantina rumah dan karantina rumah sakit.
"Ini yang membuat kurva kita enggak turun-turun karena penyebaran enggak dicegah. Karena kebijakan kita dibuat enggak efektif. Dari hulu seharusnya jangan plin-plan. Hari ini tidak boleh, besok bilang boleh," jelas Rissalwan.
Epidemiolog UI Pandu Riono mengatakan pemerintah harus segera bersikap untuk memastikan PSBB juga efektif di permukiman warga. Pasalnya, permukiman padat dan rusun berisiko tinggi menjadi pusat penyebaran Covid-19.
Salah satu cara ialah menerapkan PSBB berbasis komunitas. Lewat cara ini, Pandu mengatakan, pemerintah bisa menggandeng tokoh-tokoh masyarakat sebagai ujung tombak untuk menyosialisasikan bahaya Covid-19 dan protokol kesehatan.
"Jadi, komunitas yang menjaga lingkungan mereka. Enggak boleh ada orang luar yang masuk. Kalau mau masuk, minta disediakan tempat cuci tangan, dan sebagainya. Semuanya pakai masker kalau berpergian. Kalau mereka jualan atau jual jasa, harus tetap pakai masker," tutur Pandu.
Terkait masih adanya tempat ibadah yang melakukan aktivitas, Pandu menyarankan agar pemerintah menggandeng para pemimpin agama yang lebih tinggi. Untuk larangan salat di masjid, misalnya, pemerintah menyertakan surat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Ditunjukin surat dari MUI, dilaporkan ke dewan masjid. Biar mereka yang lakukan edukasi, jangan kita (pemerintah atau polisi). Mereka nurut sama ulama yang lebih senior. Kalau itu (masjid) ditutup, disangkanya menistakan agama. Jadi, benar-benar berhati-hati," kata dia.
Untuk mengurai kerumunan di pasar, Pandu menyarankan pemberlakuan sistem ganjil-genap. "Jual makanan harus take away. Untuk toko pakaian bisa jualan online atau gantian bukanya. Yang nomor genap, buka hari apa dan yang nomor urut ganjil, hari apa. Jadi, kerumunan bisa berkurang," tuturnya.