close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejak 2012, ribuan warga yang tinggal di bantaran sungai digusur rumahnya oleh Pemprov DKI demi program normalisasi sungai. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Sejak 2012, ribuan warga yang tinggal di bantaran sungai digusur rumahnya oleh Pemprov DKI demi program normalisasi sungai. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Sabtu, 11 Januari 2020 17:05

Balada mereka yang tersingkir karena banjir

Warga DKI Jakarta tidak serta-merta sejahtera setelah direlokasi dari kawasan yang rutin diterjang banjir.
swipe

Gunawan, 55 tahun, tampak tertegun. Dari jendela kamarnya di lantai 12 Rusunawa Jatinegara Barat, Jakarta Timur, pandangan matanya menyapu deretan rumah di seberang gedung rusun. Pikirannya 'melayang'. Sesekali, ia menghisap rokok kretek di sela-sela jarinya. 

"Saya empat tahun yang lalu tinggal di situ," ujar Gunawan sembari menunjuk ke arah deretan rumah tersebut saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (8/1) sore itu.

Deretan rumah yang ia tunjuk berada di area Kampung Pulo. Jaraknya hanya selemparan batu dari rusun 16 lantai tersebut. Dari jendelanya, Gunawan bisa melihat warna kecoklatan Sungai Ciliwung yang bersisian dengan kampung yang terkenal langganan banjir itu. 

Pada 2015, Gunawan turut menjadi salah satu warga yang direlokasi ke rusun tersebut karena terimbas program normalisasi Sungai Ciliwung. Program itu dicanangkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menggandeng Pemprov DKI sejak 2012. 

Menurut Gunawan, bentrok fisik antara warga dan petugas sempat terjadi saat proses penggusuran. Pasalnya, sebagian besar warga yang kena gusur menolak hengkang. "Saya pun sebenarnya menolak untuk direlokasi," ujar dia.

Sebelum penggusuran, Gunawan menuturkan, Joko Widodo, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, sempat mengunjungi Kampung Pulo pada April 2013. Kepada warga, Jokowi berjanji bakal mengganti rugi semua rumah yang terdampak program normalisasi. 

Namun, Jokowi naik kelas menjadi presiden pada 2014. Jabatan Gubernur DKI Jakarta lantas diteruskan pendampingnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Saat 'mengeksekusi' Kampung Pulo, Ahok menolak memberikan ganti rugi kepada warga yang tak punya sertifikat resmi. 

"Bahkan Jokowi mengatakan, 'Jangankan rumah, kandang ayam pun saya ganti'. Tapi, pada akhirnya, boro-boro kandang ayam, kandang (rumah) saya aja enggak ada gantinya," ujarnya. 

Sehari-hari, Gunawan bekerja sebagai tukang reparasi alat elektronik. Profesi itu telah ia geluti sejak masih tinggal di Kampung Pulo. Namun, ia mengaku, belakangan terus merugi. 

"Siapa emang yang mau servis di tempat yang tertutup begini? Beda banget sama waktu saya buka di rumah waktu di Kampung Pulo. Di sana rame yang mau servis," ujarnya.

Meskipun sering diterjang air bah, Gunawan mengaku lebih betah tinggal di Kampung Pulo. Biaya sewa rusun menjadi alasan utama. "Biar banjir, tapi di sana kan enggak bayar kayak di sini. Bagaimana saya mau bayar sewa? Orang buat makan aja susah," imbuhnya. 

Banjir merendam kawasan Jalan Jatinegara Barat, Kampung Pulo, Jakarta, Kamis (2/1). /Antara Foto

Berry, 46 tahun, setali tiga uang. Seperti Gunawan, bekas warga Kampung Pulo yang kini tinggal di salah satu unit di lantai 3 Rusun Jatinegara Barat itu juga tak mau membayar sewa.

"Setelah dipindah, yang tadinya punya, jadi enggak punya. Yang awalnya enggak bayar, jadi bayar. Jadi, itu beban buat kami," tuturnya. 

Menurut Berry, wajar jika mayoritas penghuni rusun menolak membayar sewa. Selain tidak mendapat ganti rugi dari Pemprov DKI, banyak warga Kampung Pulo yang turun tingkat kesejahteraannya setelah direlokasi. 

"Waktu di Kampung Pulo, warga itu kan punya yang punya usaha sampingan dekat rumah. Ada yang jual burung, buka warung, tambal ban, dan lain-lain. Setelah pindah ke sini, raib," ujar dia. 

Sebelum tinggal di rusun, Berry sempat bertugas sebagai Sekretaris RW 03 Kampung Pulo. Diakui dia, rata-rata warga yang kena relokasi tinggal di atas tanah negara. Namun demikian, menurut dia, tak seharusnya warga digusur tanpa ganti rugi. 

"Buktinya masalah penunggakan ini bentuk memindahkan masalah saja dari tempat satu ke tempat lain. Saya melihatnya dulu Ahok hanya ingin memindahkan kami agar terbebas banjir. Tapi, dia enggak mikirin bagaimana mata pencaharian kami," ujarnya.

Relokasi, lanjut Berry, juga merusak hubungan sosial antarwarga. Perlahan, warga eks Kampung Pulo yang tinggal di rusun mulai acuh tak acuh. Itu setidaknya terlihat dari pintu unit-unit rusun yang hampir selalu tertutup setiap harinya.

"Waktu di Kampung Pulo kami tak pernah khawatir kelaparan. Satu sama lain itu saling peduli. Nah, pas di sini kohesi sosial kami sudah mulai hilang. Sekarang semua masing-masing," ujarnya.

Sejumlah anak membersihkan endapan lumpur pascabanjir yang melanda kawasan Kampung Pulo, Jakarta, Jumat (3/1). /Antara Foto

Pernyataan Gunawan dan Berry diamini Joko. Saat ditemui Alinea.id, pria berusia 61 tahun itu tengah sibuk menata kembali rumahnya di RT 16/03 Kampung Pulo, Jakarta Timur. Rumah bercat krem itu turut terendam saat banjir besar kembali melanda Jakarta, awal Januari lalu. 

Pada 2015, sebagian rumah Joko ikut tergusur karena proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Karena itu, meskipun masih memiliki hunian di Kampung Pulo, namanya tercatat sebagai penyewa di Rusunawa Jatinegara Barat.

Meski bersyukur bisa mengungsi ke rusun saat banjir, Joko mengaku, tak pernah sukses membuka usaha di rusun. "Mulai dari jualan sayur, jualan gado-gado sampai jualan mie ayam. Tapi, tetap saja tak mendatangkan hasil. Malah justru menghabiskan modal," ujarnya.

Kepala Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) Jatinegara Barat Dwiyanti Chotifah mengatakan, ada 518 kepala keluarga (KK) eks Kampung Pulo yang tinggal di rusun tersebut. Setiap bulannya, para penghuni diwajibkan membayar sewa Rp300 ribu.

Ia pun membenarkan bahwa mayoritas penghuni tak mau membayar sewa. Hingga kini, total tunggakan sewa telah mencapai Rp2 miliar. Angka itu, menurut Dwiyanti, bakal terus bertambah.

"Ada tiga alasan yang menjadi alasan mereka tak mau membayar sewa. Pertama, sakit hati karena merasa dipindahkan paksa. Kedua, terprovokasi oleh pihak yang memang menunggak. Terakhir, memang tak ada niat buat bayar," ujarnya.

Dwiyanti membantah pernyataan bekas warga Kampung Pulo yang mengaku kian miskin setelah direlokasi. "Mereka yang berlatar belakang pedagang tak kehilangan langganannya. Beda kalau dia pindahnya ke (Rusun) Marunda atau ke Penjaringan," ujar dia. 

Menyoal ganti rugi yang dipermasalahkan warga relokasi, Dwiyanti mengungkapkan, pemerintah sebenarnya telah membuka ruang kompromi. Asalkan memiliki surat kepemilikan rumah yang sah, ganti rugi pasti diberikan. 

"Tapi masalahnya, dari bedol desa ini, tidak ada yang bisa menunjukkan bukti kepemilikan yang sah. Ya, otomatis berarti mereka tinggalnya ilegal," terang Dwiyanti. 

 Penghuni Blok D Rusunawa Daan Mogot, Siti Syarah (kanan) tengah bercengkrama dengan keluarganya, Jumat (10/1). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Potret serupa 

Selain Kampung Pulo, program normalisasi juga menyentuh hampir semua kampung warga di DKI yang dekat dengan sungai. Situasi serupa, misalnya, dialami Satiri yang kini menghungi salah satu unit di Blok I Rusunawa Daan Mogot. 

Sebelum tinggal di rusun, Satiri tinggal di Kedawung, Kali Angke, Jakarta Barat. Namun, rumah Satiri yang berada di bantaran Kali Apuran terkena gusur pada 2014. "Normalisasi sepanjang 2,8 kilometer," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (10/1).

Ketimbang di rusun, Satiri lebih betah tinggal di bantaran kali. Pasalnya, ia tak perlu memikirkan sewa bulanan sebesar Rp281 ribu serta biaya listrik dan air. 

"Namanya kontrak. Kami sih lebih enak tempat yang dulu. Meskipun sering banjir, tapi kami enggak mikir bulanan," imbuh pria berusia 65 tahun itu. 

Nasib lebih apes dialami Siti Syarah, 30 tahun. Sebelum tinggal di Blok D Rusunawa Daan Mogot, Siti dan keluarga besarnya di RT 07/08 Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat. 

Siti mengaku terpaksa hengkang dari rumahnya di Palmerah karena terdampak program normalisasi Kali Grogol. "Rumah kami digusur pada September 2014. Rumah itu sudah kami tempati sejak 1978. Saya, lima bersaudara, tinggal di sana," tuturnya.

Hingga kini, menurut Siti, ia dan keluarga belum legawa kena gusur. Pasalnya, rumah yang mereka huni selama bertahun-tahun itu telah bersertifikat. 

"Sertifikat kami tertulis jelas itu tanah berdiri di atas tanah milik Pak Jain, bapak saya. Tapi, tetap saja aparat merobohkan rumah kami," ujar Siti. 

Selain digusur secara sepihak, menurut Siti, tak sepeser pun ganti rugi yang diterima keluarga mereka. Pemprov berdalih rumah Siti berdiri di tanah milik pemerintah.

"Padahal, rumah itu boleh beli. Orangtua saya merupakan pendatang dari Bogor. Awalnya ngontrak di sana. Mereka kerja sampai akhirnya bisa beli rumah," kata dia. 

Siti mengaku masih trauma jika harus melintasi kawasan Palmerah. 

"Masih terekam jelas di ingatan saya, bagaimana alat berat meratakan rumah kami dan warga lainnya. Saya pun masih ingat ibu-ibu pada nangis. Saya enggak kuat kalau ingat itu. Soalnya bapak-ibu bangun rumah itu dari nol," ujar dia. 

Tak hanya itu, menurut Siti, kehidupannya tak lebih baik saat tinggal di rusun. Selain harus membayar sewa, menurut Siti, sulit untuk membuka usaha di lingkungan rusun. "Ditambah orang-orangnya individual," imbuh dia. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Peneliti bidang perkotaan dan masyarakat urban Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Charlie Albajili menyebut, persoalan-persoalan sosial yang muncul di beragam rusun di DKI merupakan potret tak beresnya program normalisasi sungai yang digelar pemerintah. 

Menurut Charlie, Pemprov DKI Jakarta hanya memikirkan persoalan relokasi saat menggusur warga yang tinggal di bantaran sungai. Padahal, banyak variabel lain yang mesti dipertimbangkan selain urusan papan.

"Sehingga masalah ekonomi-sosialnya tidak kompatibel terhadap kebutuhan warga. Soalnya mikirnya hanya  memindahkan bangunan secara fisik. Tapi, tidak memulihkan ekonomi dan sosialnya," ujarnya.

Salah satu yang luput dari perhatian pemerintah, lanjut Charlie, ialah persoalan kultur. Sesuai survei yang digelar LBH Jakarta pada 2016, Charlie mengatakan, banyak warga yang tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan rusun yang cenderung individualistis. 

Survei LBH Jakarta juga menunjukkan banyak warga korban penggusuran yang kian turun kesejahteraannya setelah direlokasi. "Rusun kurang kompatibel bagi mereka karena banyak pekerjaannya yang tidak bisa ikut pindah ke rusun. Contohnya tukang burung," jelas Charlie. 

Ia juga menyoroti praktik-praktik penggusuran yang cenderung menimbulkan gesekan antara warga dan aparat. "Penggusuran di Kampung Pulo itu melibatkan TNI dan Polri yang sebenarnya tak perlu. Kalau kita lihat, jumlah rasio aparat cukup besar, ya. Satu banding tiga. Itu jadi itu cerminan penggusuran yang  melanggar HAM," ujarnya.

Ke depan, Charlie berharap Pemprov DKI lebih memperhatikan kebutuhan warga setempat dalam mengelola tata ruang Jakarta. Dengan begitu, warga tidak hanya terkesan disingkirkan demi program-program penangkal banjir. 

"Tidak masalah bila pemerintah ingin membangun untuk kepentingan umum yang mesti menggusur warga. Tapi, prosedurnya harus partisipatif dan melibatkan warga. Jika tidak, (penggusuran) akan menimbulkan konflik baru antara pemerintah dan masyarakat," kata dia. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan