Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyinggung posisinya dalam ketatanegaraan untuk kembali seperti sebelum era reformasi. Sebelum 1998, MPR menempati kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan bukan lembaga tinggi negara seperti sekarang ini.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, pertimbangan di atas berangkat dari kekhawatiran penyelenggaraan pemilu yang mengganti seluruh komposisi dalam penyelenggaraan tinggi negara serempak. Namun, akan sangat menyulitkan, bila dalam transisi pergantian tersebut justru ada bencana ataupun perang, sementara posisi ketatanegaraan sedang kosong melompong.
“Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu,” katanya di Kompleks Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8).
Ia kemudian melihat dalami masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan referensi tersebut MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan.
“Untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi kita,” ujarnya.
Bamsoet merasa, hal ini penting untuk dibicarakan bersama demi menjaga keutuhan sebagai bangsa dan negara. Mengingat, setelah perubahan undang-undang dasar, MPR tidak memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan.
Belum lagi, merujuk amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat. MPR dapat di-atribusikan dengan kewenangan subjektif, superlatif, dan kewajiban hukum.
Dalam hal ini, MPR dapat mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan. Tujuannya, mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.