Ban vulkanisir dan maut yang mengintai para penggunanya
Sejak berangkat dari Cilacap, Jawa Tengah, Sarwin merasa ada yang tidak beres dengan truk engkel yang ia kendarai. Di perjalanan, truk angkutan barang itu seringkali sulit dikendalikan. Rem truk itu juga kerap terasa tak menggigit.
Usai membongkar muatan di Pasar Induk Tanah Tinggi, Jalan Sudirman, Tangerang, Banten, Rabu (25/5) malam itu, Sarwin memutuskan mengistirahatkan truknya tak jauh dari Mal Bale Kota. Ia bergegas membongkar roda ban truk tersebut.
"Sepanjang dari Cilacap ke sini (Tangerang), mobil enggak enak. Roda depan enggak enak, rem juga enggak nyengkrem. Enggak tahu nih kenapa? Oli rem (habis) kayaknya," kata Sarwin saat berbincang dengan Alinea.id.
Selain persoalan rem, Sarwin juga mengeluhkan kondisi ban depan truknya yang sudah plontos. Ia khawatir perjalanannya pulang ke Cilacap bakal bermasalah keesokan harinya. Apalagi, ia juga sudah punya "kontrak" untuk mengangkut perabotan.
"Besok mau nganter orang pindahan. Perabotannya lumayan banyak. Kalau melebihi bobot, bisa pecah ban botak begini. (Pemilik truk) tahunya setoran aja. Kalau ditanya soal servis, jawabannya nanti-nanti mulu. Enggak tanggap," cetus Sarwin.
Sarwin sebenarnya masih punya satu ban serep di truknya. Tapi, ban itu merupakan ban vulkanisir atau ban bekas yang sudah botak dan dilapisi kembali dengan menggunakan potongan material karet berserat supaya terlihat baru.
Ban serep tersebut, kata Sarwin, hanya digunakan saat pecah ban. Itu pun hanya sampai Sarwin bertemu kios tambal ban terdekat. "Saya juga cuma berani kalau enggak ada bawaan. Kalau ada bawaan, enggak berani. Jadi, enggak dipakai seterusnya. Bahaya," imbuh dia.
Menyetok ban vulkanisir, kata Sarwin, jadi solusi paling memungkinkan bagi pemilik truk dan dia. Pasalnya, sepanjang pandemi harga komponen suku cadang truk engkel naik tinggi. Harga ban belakang, misalnya, naik dari Rp1,8 juta menjadi Rp2,1 juta. Harga ban depan naik dari Rp1,2 juta menjadi Rp1,6 juta.
"Itu baru di ban. Belum yang lain. Ya, karena selama pandemi kan mobil juga seringnya enggak jalan. Pemasukan enggak ada. Boro-boro buat beli ban, buat gaji sopir aja susah. Ya, jadi paling kanibal aja," kata pria yang sudah 25 tahun jadi sopir truk barang itu.
Dari harga sewa truk sebesar Rp2 juta sekali jalan, Sarwin mengaku mendapat jatah Rp1 juta dari pemilik truk. Sisanya masuk ke kantong bosnya. Namun, duit jatah Sarwin itu kebanyakan habis untuk membayar bensin dan tol. "Jadi, paling saya pegang uang Rp 200 ribu," terang Sarwin.
Sarwin bertutur hampir semua pengemudi truk barang punya persoalan serupa. Belum lama ini, salah satu rekan Sarwin bahkan mengalami kecelakaan karena rem blong. "Tapi, (teman saya) masih selamat untungnya. Paling karena enggak ada ongkos buat servis sama ganti oli rem," jelas Sarwin.
Dipaksa keadaan
Cerita serupa diungkap Kasiro, 49 tahun. Sopir asal Purbalingga, Jawa Tengah itu sedang mangkal di Pasar Induk Tangerang saat berbincang dengan Alinea.id. Ia sedang mencari orang yang berniat menggunakan jasanya.
"Saya mending cari di sini. Barangkali ada orang yang mau kirim buah ke Purbalingga. Soalnya kalau angkut yang lain, apalagi material, jujur aja, agak kurang berani saya," terang Kasiro.
Seperti truk yang dikendarai Sarwin, Kasiro mengaku truknya juga sedang sakit-sakitan karena kurang dirawat. Ia juga mengatakan menyimpan ban vulkanisir yang khusus digunakan saat kondisi darurat.
"Ya, itu kalau lagi apes aja dan enggak bawa barang. Kalau lagi bawa barang, saya enggak berani pakai ban vulkanisir di depan. Paling ban belakang aja. Itu pun kita kira-kira dulu berat badan (truk) memungkinkan enggak," kata Kasiro.
Kasiro mengaku tak mampu membeli ban baru lantaran frekuensi pengiriman barang berkurang selama pandemi. Imbasnya, bos Kasiro mengurangi biaya perawatan. Meski begitu, Kasiro menyebut sang bos keukeuh minta truknya membawa muatan hingga penuh.
"Kadang kita enggak bisa ngelak. Dari ekspedisi maunya terus melebihi muatan. Sebenarnya, kendaraan saya enggak mampu kalau lihat kondisi ban dan kesehatan mesin. Di jalan, kadang akhirnya enggak terlalu berani bawa kenceng," terang Kasiro.
Menurut Kasiro, nasib serupa dialami pebisnis logistik milik perorangan. Ia bahkan kerap menemukan truk-truk yang menggunakan ban vulkanisir pada bagian ban depan.
"Itu barang yang paling gampang kelihatan. Belum soal daleman mesin. Sebenarnya bisa dibilang ketimbang ngeluarin ongkos buat perawatan, ya, mending buat tambah uang jajan kita," tutur dia.
Situasi seperti itu tentu tak ideal. Kasiro menyebut truk-truk pengguna ban vulkanisir rawan kecelakaan karena sulit dikendalikan.
"Ban botak sama rem itu yang paling kelihatan. Tapi, ya, sopir sadar diri aja. Kalau kendaraan emang enggak kuat, ya, enggak usah ngoyo bawa kenceng," terang Kasiro.
Situasi berbeda dirasakan Eko, seorang sopir sebuah perusahaan angkutan barang. Ia mengaku kendaraannya masih rutin dirawat. Truk yang biasa ia kendarai juga masih menggunakan ban asli.
"Sebelum berangkat itu, dari perusahaan selalu dicek kondisi kendaraan. Prima enggak? Kalau enggak, enggak bakal jalan," terang Eko kepada Alinea.id, Senin (23/5).
Perusahaannya, kata Eko, sebenarnya melarang penggunaan ban vulkanisir saat membawa barang muatan. Namun, Eko mengaku kadang masih menggunakan jenis itu dalam kondisi darurat. Sebagai ban serep, Eko lebih memilih menggunakan ban kawat.
"Enggak berani kita. Lagi pula ketahanan ban vulkanisir itu enggak tahan lama. Paling lama satu trip. Apalagi, kalau jalan ke Sumatera. Agak riskan. Tapi, itu juga kalau perusahaan ngasih (ban kawat). Kalau dikasihnya vulkanisir, ya, terima aja," ucap Eko.
Rawan kecelakaan
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarat (DIY) Bambang Widjanarko membenarkan perawatan kendaraan kerap diabaikan para pebisnis logistik perorangan selama pandemi Covid-19. Penyebab utamanya ialah meroketnya harga suku cadang berbahan metal dan ban truk.
Menurut Bambang, kenaikan harga suku cadang terjadi lantaran Tiongkok sebagai salah satu negara produsen utama suku cadang kendaraan berat sempat mengalami resesi ekonomi. Walhasil, distribusi barang dari China ke Indonesia macet. Suku cadang truk engkel pun langka di pasaran.
"Sejak bulan Januari 2020 sampai hari ini, harga suku cadang naik semua, baik oli unit dan ban. Itu sudah mengalami kenaikan sekitar 15-20%. Jadi, segala suku cadang dan komponen kendaraan maupun harga kendaraan sendiri itu sudah naik," kata Bambang kepada Alinea.id, Selasa (24/5).
Dalam kondisi normal, menurut Bambang, harga suku cadang truk engkel hanya naik maksimal di kisaran 3-4%. Drastisnya kenaikan harga suku cadang juga dipicu kenaikan biaya perjalanan kontainer impor. Sejak pandemi Covid-19 merebak, biaya pengiriman barang dari Tiongkok menggunakan kontainer naik hingga mencapai US$4.000.
"Yang dulu satu kontainer impor hanya US$600 dari pelabuhan Shanghai ke Indonesia. Karena kelangkaan kontainer di mana-mana itu menciptakan situasi kiamat kontainer. Imbasnya, itu menaikkan harga-harga," kata dia.
Di lain sisi, biaya pengiriman barang di dalam negeri relatif tidak naik signifikan. Pasalnya, harga solar yang lazim digunakan sebagai patokan ongkos pengiriman cenderung stabil dalam beberapa tahun terakhir.
"Ongkos hanya bisa berubah jika harga biosolar berubah, sedangkan komponen lain seperti ban peleg dan sebagainya yang naik tinggi sekali itu tidak pernah diperhitungkan," jelas Bambang.
Situasi itulah, kata Bambang, yang menyebabkan banyak pemilik truk mengabaikan perawatan dan peremajaan kendaraan. Salah satu indikasinya ialah kian maraknya truk-truk yang menggunakan ban vulkanisir di jalan raya.
"Sejak pandemi utilitas bus kan turun. Kok kecelakaannya naik? Lha jelas dong! Karena perawatan itu dikorbankan. Satu-satunya yang dikorbankan tidak menjerit itu hanya perawatan. Beda dengan gaji pegawai di kantor, gaji sopir, gaji kernet. Kalau dikorbankan, mereka menjerit. Bisa protes mereka," kata Bambang.
Seperti diungkap Bambang, kecelakaan yang melibatkan truk pengangkut barang memang rutin terjadi di berbagai daerah dalam beberapa pekan terakhir. Kamis (26/5) lalu, misalnya, kecelakaan beruntun terjadi di kawasan Alas Roban, Batang, Jawa Tengah, melibatkan empat truk.
Kecelakaan terjadi lantaran truk trailer bernomor polisi N-9230-UR yang sedang membawa muatan baja dari Cilegon menuju Surabaya diduga mengalami rem blong. Truk itu menabrak truk diesel B-9940-BXS bermuatan beras yang sedang berada di depannya.
Ditabrak dari belakang, truk beras terlempar hingga masuk ke jalur berlawanan dan menghantam truk lainnya yang datang dari arah timur. Sedangkan truk bernomor N-9230-UR terus melaju dan menabrak truk lainnya di ruas jalan. Satu orang tewas dalam peristiwa tersebut.
"Inilah kenapa ban vulkanisir digunakan di lapangan. Bahkan, ada truk yang menggunakan sampai ke ban depan. Karena ada kenaikan harga yang tinggi di komponen kendaraan. Imbasnya banyak kendaraan kecelakaan," kata Bambang.
Sebagai solusi, Bambang mengusulkan agar pemerintah menaikan harga solar. Dengan begitu, para pengusaha logistik bisa mendongkrak ongkos kirim dan punya duit lebih untuk merawat kendaraan-kendaraan operasional mereka.
"Itu lumayan meringankan bisa menyelamatkan (pengemudi dari kecelakaan). Misalnya, harga solar naik (dari Rp5.150) jadi Rp8.000. Wah, itu gelontoran duit yang luar biasa dan pengusaha angkutan bisa melakukan perbaikan besar-besaran," kata Bambang.
Pemerintah tutup mata?
Penggunaan ban vulkanisir di bagian depan kendaraan sebenarnya dilarang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2015 (Permenhub 29/2015). Sesuai regulasi, ban vulkanisir hanya diperbolehkan digunakan pada ban belakang.
Namun demikian, ketentuan itu kini kerap dilanggar para pemilik truk. Meski tahu kecelakaan yang melibatkan truk logistik kerap terjadi lantaran pengunaan ban vulkanisir dan buruknya perawatan kendaraan, menurut Bambang, pemerintah terkesan mengabaikan pelanggaran-pelanggaran tersebut di lapangan.
Tanpa merinci, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setyadi membenarkan banyak kecelakaan yang melibatkan truk pengangkut barang terjadi disebabkan karena kondisi kendaraan tidak prima. Ia juga menyebut perawatan rutin kerap diabaikan pemilik selama pandemi.
"Dari beberapa kejadian kecelakaan, ada beberapa kendaraan yang terlibat yang tidak memenuhi persyaratan teknis laik jalan dengan tidak melakukan pengujian berkala atau melakukan modifikasi terhadap kondisi fisik kendaraan," kata Budi kepada Alinea.id, Rabu (25/5).
Lebih jauh, Budi mengakui Kemenhub mulai menemukan banyak pengemudi truk yang nekat memasang ban vulkanisir di bagian depan kendaraan. Itu kerap dilakukan untuk menekan biaya operasional yang membengkak.
Meski situasinya sedang serba sulit, Budi mengingatkan agar perusahaan tetap patuh aturan. "Kemenhub mulai melakukan sosialisasi kepada para asosiasi angkutan barang untuk menggunakan kendaraan yang memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan," kata dia.
Penggunaaan ban vulkanisir pada roda pengendali, kata Budi, potensial menyebabkan kecelakaan. Untuk mengawasinya, Kemenhub rutin mengadakan pengujian berkala di unit-unit pelaksana pengujian kendaraan bermotor di dinas perhubungan kabupaten dan kota.
"Selain itu, Kemenhub bersama dengan stakeholder terkait melakukan penegakan hukum terhadap kendaraan yang melakukan pelanggaran overdimention dan overloading (odol) melalui unit penimbangan kendaraan bermotor," kata dia.