Pengamat hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyatakan, munculnya kasus suap izin hak guna usaha (HGU) PT Duta Palma Group di Indragiri Hulu, Riau, pada 2004-2022 karena para penyelenggara negara sejak awal gampang disuap. Imbasnya, nyaris banyak usaha besar memanipulasi hak negara.
"Padahal, sudah jelas [aturan main] sejak awal. Hanya saja para penyelenggara ini terlalu mudah dibuai suap, ya, akibatnya kerugian negara yang seharusnya dapat diakokasikan untuk kepentingan publik habis dimanipulasi oleh para pengusaha kotor," katanya saat dihubungi Alinea.id, Minggu (26/2).
"Ke depan, negara harus memulai sejak awal dengan menertibkan perpajakan dan kewajiban-kewajiban usaha lainnya," sambungnya.
Meskipun demikian, Fickar mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) menempuh banding atas vonis bos Duta Palma, Surya Darmadi. Namun, diminta tak sekadar fokus hukuman badan.
"Jika orientasi penuntutan tidak hanya menghukum badan tapi juga ganti rugi kepada negara yang sebesar-besarnya, saya setuju," ucapnya.
Fickar menyarankan jaksa penuntut umum (JPU) menyertai bukti untuk pembuktian kerugian negara dalam mengajukan banding. Pun itu harus menjadi dasar tuntutan.
"Jika tidak ada perhitungan riil yang didukung bukti-bukti kerugian, maka hakimnya akan kesulitan untuk merumuskan besaran ganti rugi yang akan dijadikan amar putusan dari hukuman," tuturnya.
"Begitulah konsekuensi mengajukan banding agar hukuman ganti ruginya bisa sebanding dengan kerugian riil dan kerugian potensial di masa datang," sambungnya.
Oleh sebab itu, Fickar mengusulkan Kejagung menggandeng instansi lain dalam menghitung kerugian keuangan dan perekonomian negara imbas beroperasinya perkebunan sawit Duta Palma Group. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya.
"Ya, seharusnya begitu supaya [penghitungan kerugian negara] akurat dan riil, tidak sembarangan jumlah, tetapi harus bisa dipertanggungjawabkan," tandasnya.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (23/2), memvonis Surya Darmadi 15 tahun penjara dan membayar denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Sebab, dinilai dengan sah dan meyakinkan melakukan suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) izin hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit di Indragiri Hulu, Riau, pada 2004-2022.
Selain itu, Apeng, nama sapa bos PT Duta Palma Group ini, juga diperintahkan membayar uang pengganti kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara. Nilainya menembus Rp41 triliun.
Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam memvonis Surya Darmadi. Hal-hal yang memberatkan adalah tak membantu program pemerintah memberantas korupsi dan Duta Palma belum menerapkan plasma sehingga memicu konflik dengan warga sekitar.
Adapun hal-hal yang meringankan hukuman Surya Darmadi adalah lansia; bersikap sopan selama persidangan; Duta Palma melakukan CSR; membangun perumahan untuk karyawan, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas kesehatan senilai Rp200 miliar serta biaya pendidikan Rp28 miliar; mempekerjakan 21.000 karyawan; dan 5 perusahaannya membayar pajak hingga Rp215 miliar.
Vonis tersebut lebih ringan daripada tuntutan JPU, penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. JPU juga meminta Surya Darmadi membayar uang pengganti kerugian keuangan negara sekitar Rp4,7 triliun dan US$7,8 juta serta merugikan perekonomian negara Rp73 triliun.
Tuntutan tersebut diajukan JPU lantaran mendakwa Surya Darmadi dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 3 ayat (1) huruf c UU TPPU, serta Pasal 3 atau Pasal 4 UU TPPU.
Sementara itu, Kejagung mengisyaratkan mengajukan banding atas vonis Surya Darmadi. Ini selaras dengan langkah hukum yang diambil kuasa hukum terdakwa.
"Secara umum, terdakwa [mengajukan] banding, kita pasti [juga mengajukan] banding," ucap Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Hendro Dewanto, usai sidang putusan Surya Darmadi.