Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin meminta konseling pranikah digalakkan kembali di tengah tingginya angka perceraian. Sebab, kelas konseling pranikah bakal mengajarkan hal-hal krusial mulai dari tujuan perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, bagaimana memahami pasangan, seluk beluk kesehatan reproduksi, hingga kesehatan ibu hamil dan anak.
“Maka, apabila diperlukan dibuatkan aturan bagi calon pasangan perkawinan harus lulus kelas konseling pranikah, baru boleh menikah, ini supaya dia siap betul,” ucapnya dalam konferensi pers virtual, Kamis (18/3).
Kesiapan pernikahan, jelasnya, bukan hanya terkait kematangan fisik belaka. Jadi, tidak hanya merujuk pada usia atau hanya memandang dari kesiapan sistem reproduksi ihwal kehamilan dan persalinan. Namun, harus pula mempertimbangkan kesiapan mental dalam perencanaan pernikahan.
“Jangan hanya dilihat dari sisi bolehnya saja, tetapi yang paling penting adalah mengedepankan tujuan perkawinannya untuk memberikan maslahat bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa,” ujar Wapres Ma’ruf.
Kematangan mental, sambungnya, erat kaitannya dengan pemahaman hak dan kewajiban sebagai suami istri dalam membina hubungan rumah tangga. Jika tidak ada kematangan mental, maka pernikahan kemungkinan besar menciptakan keluarga yang tidak harmonis.
Bahkan, kata dia, kematangan mental yang tidak memadai dapat berdampak pada ancaman kesehatan reproduksi, seperti keselamatan persalinan. Juga menyebabkan hubungan rumah tangga rentan terjadi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).
“Kurangnya kemampuan (kematangan mental/bekal pemahaman setelah menikah) berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti mencegah anak agar tidak mengalami stunting akibat tidak terpenuhi kebutuhan nutrisinya, atau anak-anak yang tidak cukup pendidikannya, sehingga menciptakan generasi yang lemah,” tutur Ma’ruf Amin.
Di sisi lain, dalam pernikahan yang tidak harmonis, perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban. Kedudukan perempuan sangat lemah dan tidak memiliki posisi daya tawar dalam hubungan rumah tangga, karena umumnya bergantung secara ekonomi kepada suaminya. Hal tersebut juga dapat berujung pada kesempatan dalam menyediakan gizi bagi keluarga dan anak-anaknya.
“Dalam contoh yang ekstrem, pengeluaran keluarga lebih banyak dihabiskan untuk rokok, ketimbang untuk membeli makanan bergizi atau membiayai pendidikan,” ujar Ma'ruf Amin.
Selain itu, pendidikan dinilai berperan penting dalam membangun kemampuan menikah dan kematangan mental individu. Apalagi, perempuan bakal memiliki posisi daya tawar dalam hubungan rumah tangga jika berpendidikan. Anak-anak juga harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan pemerintah membantunya dengan mengalokasikan 20% anggaran APBN untuk pendidikan.