close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi hutan Jawa yang dikelola Perhutani dan warga. Alinea.id/Muji
icon caption
Ilustrasi hutan Jawa yang dikelola Perhutani dan warga. Alinea.id/Muji
Nasional
Kamis, 26 Mei 2022 16:41

Bara konflik 'perebutan' hutan Jawa setelah SK Menteri Siti terbit

Di Karawang, muncul kelompok-kelompok masyarakat yang mengklaim berhak mengelola hutan yang sebelumnya dikuasai Perhutani.
swipe

Ketua Lembaga Desa Masyarakat Hutan (LMDH) Wana Sejahtera Deni Hilman Syahbani terperangah saat mendapati puluhan orang berkumpul di bibir jalan akses menuju kawasan hutan produksi Perusahaan Umum (Perum) Perhutani di Telukjambe, Karawang, Jawa Barat, Rabu (6/4). Ia tak mengira hari itu bakal ada aksi unjuk rasa di kawasan tersebut. 

“Sehari setelah terbit SK Menteri LHK soal KHDPK itu, tiba-tiba ramai-ramai orang asing datang ke kawasan hutan di Teluk Jambe dengan dalih reforma agraria. Banyak spanduk di mana-mana bertuliskan Perhutani dilarang masuk,” ujar Deni saat berbincang dengan Alinea.id mengenai peristiwa itu, Rabu (25/5).

SK yang dimaksud Deni ialah Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Aturan itu terbit pada Selasa (5/4). Menteri KLHK Siti Nurbaya meneken SK itu pada April 2022. 

Isi SK utamanya mengatur tata kelola pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang ada di Pulau Jawa yang selama ini dikelola Perhutani. Tertulis dalam SK itu, sebanyak 1,1 juta hektare kawasan hutan yang dikelola Perhutani akan "dialihkan" kepada perorangan. 

Dalam aksi unjuk rasa kecil awal Mei itu, LMDH juga turut jadi sasaran tembak. Menurut Deni, salah satu spanduk yang dibawa peserta aksi bertuliskan "Cabut LMDH". Di Teluk Jambe, LMDH Wana Sejahtera merupakan salah satu LMDH yang telah bertahun-tahun bekerja sama dengan Perhutani mengelola hutan produksi. 

Tak mau berkonflik, Deni buru-buru menyebar pesan berantai kepada para anggota LMDH Wana Sejahtera. Ia mengingatkan agar mereka tetap tenang. “Kalau saya paksakan, terjadilah konflik. Tetapi, saya enggak mau. Setetes darah pun, saya enggak mau terjadi,” imbuh dia. 

Deni mengaku telah membaca lengkap isi SK Menteri KLHK tentang KHDPK. Ia merasa aturan itu janggal. Pasalnya, hingga kini belum jelas wilayah hutan mana saja yang bakal diambil alih KLHK. Ia khawatir SK itu ditafsirkan secara semberono. 

“Multitafsirnya? Khususnya siapa yang (berhak mengelola hutan) di dalam SK ini? Kok tiba-tiba ada LSM (lembaga swadaya masyarakat) mengklaim? Ada gabungan pensiunan atau veteran, ada pensiunan polisi-tentara main klaim. Mereka barbar,” tutur Deni.  

Sesuai isi SK tersebut, KHDPK akan dialokasikan untuk enam jenis pengelolaan yakni, perhutanan sosial, pemanfaatan jasa lingkungan, penggunaan kawasan hutan, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, rehabilitasi, dan perlindungan hutan. 

Tiga jenis pengelolaan yang pertama disebut bakal diserahkan kepada  perorangan atau kelompok masyarakat yang telah mendapat izin atau sertifikasi dari KLHK. Sisanya bakal diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah. 

Menurut Deni, sertifikasi lahan KHDPK juga potensial bermasalah. Karena aturannya tidak jelas dan rinci, ia khawatir lahan hutan bakal diperebutkan para cukong dan makelar. Lahan bersertifikasi itu lantas bisa dijual kembali kepada warga setempat. 

"Kan menjadi luas dan liar tafsirannya. Saya khawatir nanti banyak cukong-cukong. Kalau sudah banyak cukong, itu mereka menjual lahan garapan untuk satu meter persegi harganya bisa Rp10 ribu atau satu hektare bisa Rp100 juta-Rp200 juta,” kata Deni.

Persoalan lain yang mungkin muncul, kata Deni, ialah konflik horizontal antara penggarap lahan hutan yang lama dan yang baru. Supaya itu tidak terjadi, ia berharap KLHK melibatkan LMDH dan komunitas petani di kawasan hutan yang telah lama bekerja sama dengan Perhutani. 

“Kalau tidak ada pengelolaannya begini, yang berkuasa dan punya uang barbar main klaim tanah. Kami hanya ingin asas keadilan untuk masyarakat sekitar hutan itu masih terjaga, ya. Saya menuntut keadilan saja,” cetus Deni.

Ketua LMDH Kabupaten Karawang Nace Permana mengatakan pemberlakuan SK Menteri LHK tentang KHPDK potensial menimbulkan bencana ekologi. Aturan itu dinilai dapat mendorong seluruh pihak untuk mengeksploitasi hutan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan. 

Pemerintah daerah, lanjut Nace, juga bakal kesulitan memenuhi ketentuan luas ruang terbuka hijau (RTH) yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang Wilayah jika SK itu diberlakukan. 

“Dalam pasal itu, kan, disebutkan, suatu daerah harus memiliki luas 20% untuk RTH. Nah, dengan KHDPK ini sangat riskan dimanfaatkan pihak tertentu sehingga fungsi hutannya tidak ada. Bagaimana nanti konsep RTH?” ujar Nace saat dihubungi Alinea.id, Senin (23/5).

Pemberlakuan kebijakan KHDPK, menurut Nace, juga bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Pasal 3 beleid itu ditegaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan harus mengedepankan konservasi.

“Bagi kami, yang terpenting program pemerintah ini memperhatikan rakyat dan lingkungan. Jadi, bukan hanya rakyat saja. Kalau lingkungan rusak dan menimbulkan bencana, kan rakyat juga yang repot? KHDPK mengambil alih lahan yang selama ini dikelola oleh Perhutani. Nah, ini akan memperpanjang kerusakan lingkungan,” ucap dia. 

Ilustrasi hutan. /Foto Pixabay

Protes karyawan Perhutani 

Dirilisnya SK Menteri LHK tentang KHDPK juga memicu protes dari kalangan pegawai Perhutani. Pekan lalu, ribuan pegawai Perhutani yang tergabung menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat. Mereka menuntut SK dibatalkan karena merugikan karyawan Perhutani. 

"Apabila SK ini berlanjut, tentunya akan ada banyak pengelolaan yang nantinya menimbulkan gesekan di lapangan," kata juru bicara Serikat Karyawan (Sekar) Perum Perhutani Muhammad Ikhsan seperti dikutip dari Antara. 

Ikhsan mengatakan perwakilan pengunjuk rasa telah menyampaikan tuntutan mereka kepada Deputi IV Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Yohanes Joko. Sekar Perhutani memberi waktu selama dua pekan bagi pemerintah untuk merespons tuntutan mereka. 

Jika tuntutan pegawa Perhutani tak direspons, Sekar Perhutani akan menggelar aksi unjuk rasa yang jauh lebih besar. Dalam unjuk rasa mendatang, pihak-pihak yang terdampak SK Menteri LHK tentang KHDPK juga bakal dilibatkan, semisal LMDH dan kelompok petani yang tinggal di kawasan hutan yang dikelola Perhutani. 

"Jadi, jangan sampai hutan itu dikelola orang-perorangan dan semata-mata demi mencari keuntungan. Pemerintah seharusnya ikut membenahi kami dan membesarkan kami lagi supaya kami bisa melindungi ekosistem hutan Jawa ini," kata Ikhsan.

Saat ini, Perhutani menguasai sekitar 2,4 juta hektare hutan di Pulau Jawa. Rinciannya, sebanyak 630,7 ribu hektare di Jawa Tengah, 1.136 juta hektare di Jawa Timur, dan sebanyak 659,1 ribu hektare di Jawa Barat dan Banten. 

Pemberian kuasa kepada Perhutani untuk mengelola hutan Jawa diatur dalam sejumlah peraturan pemerintah (PP), di antaranya PP 15/1978 Tentang Pendirian Perusahaan Umum Kehutanan Negara, PP 72/2010 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara dan PP No 73/2017 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Dalam Modal Perusahaan Umum Kehutanan Negara. 

Direktur Utama Perum Perhutani Wahyu Kuncoro mengatakan akan mematuhi SK Menteri LHK tentang KHDPK. Saat ini, Perhutani telah menggelar sejumlah strategi untuk beradaptasi, semisal mengalokasikan sumber daya manusia (SDM) perusahaan dan menginventarisasi aset-aset Perhutani. 

“Pada saat yang sama, kami terus melakukan koordinasi dan sosialisasi kepada semua stakeholders di kalangan internal dan eksternal,” terang Wahyu dalam sebuah siaran pers yang diterima Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Lebih jauh, Wahyu berharap kebijakan baru KLHK itu dapat memberikan dampak positif bagi semua pemangku kepentingan di kawasan hutan, semisal warga setempat, pemerintah daerah, komunitas pecinta lingkungan dan LMDH. 

"Juga bagi LSM, pelaku bisnis, dan karyawan. Hal ini sejalan dengan peran dan fungsi Perhutani, yaitu mengelola sumber daya hutan secara berkelanjutan," kata dia. 

Ilustrasi kebakaran hutan. /Foto Antara

Inkonstitusional? 

Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa Eka Santosa menilai pemangkasan area hutan Jawa yang dikelola Perhutani bertentangan dengan sejumlah regulasi, semisal UU BUMN dan sejumlah PP. Pasalnya, kebijakan itu dikeluarkan pemerintah hanya berbasis SK Menteri LHK. 

Selain inkonstitusional, Eka merasa, kebijakan itu akan menambah daftar masalah dalam tata kelola kehutanan di dalam negeri. Apalagi, salah satu objek KHDPK merupakan hutan lindung dan lahan produksi yang sudah dikuasai oleh institusi tertentu. 

"Apa iya (kewenangan dan sumber daya Perhutani) ini bisa direduksi hanya dengan sebatas SK menteri? Kalau misalnya objeknya lahan telantar negara dan lahan HGU yang tidak jelas kan banyak di sini. Itu enggak masalah kita," ujar Eka saat dihubungi Alinea.id, Senin (23/5).

Lebih jauh, Eka memprediksi kebijakan KHDPK bakal menimbulkan konflik horizontal antara kelompok masyarakat di kawasan hutan. Menurut dia, reforma agraria yang menjadi tujuan regulasi itu justru muskil bakal tercapai. 

“Kebayang enggak kalau orang sudah garap lama, lalu diambil tiba-tiba oleh orang tidak jelas dari mana hanya dengan membawa SK KHDPK ini? Kan konflik. Itu yang kami sebut bahwa muka Jokowi dicoreng dengan Bu Menteri,” ucap Eka.

Eka menuntut agar SK tersebut segera dicabut. Ia menegaskan Forum Penyelamat Hutan Jawa akan menempuh jalur hukum jika SK terbaru Menteri Siti itu tetap diberlakukan. "Kami sedang mempersiapkan gugatan ke PTUN (pengadilan tata usaha negara)," ungkap dia. 

Infografik Alinea.id/Muji

Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI), Transtoto Handadhari menyebut SK KHDPK merupakan kebijakan serampangan yang justru potensial melahirkan bencana ekologi. Pasalnya, sekitar 465 ribu hektare kawasan hutan yang jadi objek regulasi itu berstatus sebagai kawasan hutan lindung. 

“Intinya seperti itu. Tuntutan dari kami, KHDPK itu jangan dilaksanakan dulu. Tetapi, dibenahi, diperbaiki, disesuaikan, atau dihentikan. Tetapi, kenapa Menteri LHK itu sepertinya berpikir lain?” ujar Transtoto kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (24/5).

Tanpa merinci, Transtoto mengatakan penerbitan SK Menteri tentang KHDPK merupakan salah satu upaya mengerdilkan Perhutani. Indikasinya, luas hutan Jawa yang bakal dialihkan pengelolaanya tergolong besar, yakni hampir setengah dari luas hutan yang dikuasai Perhutani.

"Mulai dari KHDPK, kemudian rencana mau diubah dari Perum Perhutani menjadi PT yang akan menjadi bagian dari holding PTPN III. Ini kan sudah gila? Padahal, Perhutani adalah legenda pengelolaan hutan se-Indonesia,” ujar dia. 

Jika tetap direalisasikan, Tarnoto berharap pemerintah menggandeng LMDH-LMDH di kawasan hutan dalam semua tahapan implementasi kebijakan. Itu harus dilakukan supaya konflik horizontal akibat kebijakan KHDPK bisa dihindari. 

“Pertimbangan, perencanaannya, ketentuan teknis, peserta program yang seharusnya memprioritaskan LMDH serta kesiapan psikologi sosial, aturan-aturan pengamanan hutan sebelum syarat-syarat pelepasan hutan dipenuhi dan keterkaitannya dengan pengendalian bencana alam,” ucap eks Dirut Perhutani itu. 

Alinea.id telah berupaya meminta tanggapan kepada sejumlah pejabat Kementerian BUMN dan KLHK mengenai penetapan kebijakan KHDPK tersebut. Namun, hingga artikel ini tayang, permintaan wawancara dari Alinea.id tak kunjung direspons.
 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan