Bau malaadministrasi di Disnaker Banten: "Itu pengawasnya sudah dikasih uang..."
Perjalanan sejauh tujuh puluh kilometer ditempuh Ardi Adnan dari kediamannya hingga tiba di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Banten pada 7 Januari 2021. Menggunakan motor bebek andalannya, lebih dari dua jam dia habiskan untuk membelah aspal jalanan.
Hari itu, ia dijadwalkan bertemu Rahmatullah, penyidik pegawai negeri Sipil (PPNS) Disnakertrans Provinsi Banten. Harapan Ketua Advokasi dan Hukum Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) membuncah. Di tangannya, ada sebundel dokumen aduan dari 20 kliennya yang rata-rata berprofesi sebagai buruh.
Mayoritas kliennya mengadukan persoalan klasik yang dialami buruh kecil, semisal honor yang dibayarkan perusahaan berada di bawah standar upah minimum, kelebihan jam kerja, dan tidak adanya jaminan sosial dan ketenagakerjaan bagi buruh.
Namun, isi pertemuan itu bikin Ardi kecele. Setelah berbincang ngalor-ngidul soal permasalahan-permasalahan di ranah ketenagakerjaan, Rahmatullah tak menyinggung kasus-kasus yang tengah ditangani OPSI. Menurut Ardi, Rahmatullah malah menyarankan dia beralih profesi.
"Lalu, dia (Rahmatullah) bilang, 'Bapak kalau di OPSI kan enggak dapat uang. Saya sarankan ada dua saran kalau mau dapat uang. Mau jadi konsultan perusahaan atau buka perusahaan outsourcing? Begitu,” ucap Ardi menirukan percakapannya dengan Rahmatullah kepada Alinea.id, Minggu (24/10).
Tawaran itu sontak bikin Ardi kaget. Sebelumnya, ia berpikir pertemuan itu digelar untuk mencari solusi terkait kasus-kasus sengketa buruh yang ditangani OPSI. Apalagi, sudah lebih dari setahun kasus-kasus tersebut mandek tanpa ada kejelasan.
Syahdan, Ardi menolak tawaran Rahmatullah. Menurut dia, rayuan untuk beralih profesi merupakan upaya menjegal langkah advokasi OPSI. Meski tak punya bukti, ia menduga ada permainan antara pihak perusahaan yang digugat OPSI dengan oknum di Disnakertrans Banten.
Kecurigaan itu menguat saat Ardi mendapat informasi mengenai adanya uang pelicin yang diterima pengawas ketenagakerjaan di Disnakertrans Banten untuk mengabaikan aduan permasalahan tenaga kerja. Bocoran itu ia dengar dari pihak perusahaan penyalur tenaga kerja di Banten dalam salah satu audiensi dengan OPSI.
"Saya tidak melihat langsung. Tetapi, ketika saya gugat salah satu perusahaan outsourcing di situ, nah, tiba-tiba ada orang outsorcing ngomong, 'Itu pengawasnya sudah dikasih uang.' 'Berapa sih?' Saya bilang gitu. Terus dijawab, ‘Ya, sekitar Rp15 juta.' 'Ngapain ngasih ke pengawas, bayar aja itu haknya buruh.' Saya gituin,” ujar Ardi.
Ardi juga menemukan kejanggalan dalam pemeriksaan terhadap para kliennya oleh PPNS Disnakertrans. Menurut pria berusia 55 tahun itu, pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada kliennya oleh justru malah melenceng dari substansi.
"Bukan persoalan upah yang ditanyakan, tetapi soal kuasa yang mereka (buruh) berikan ke saya yang dipersoalkan. Jadi, yang ditanya, 'Kamu benar enggak memberi kuasa ke Pak Ardi? Benar enggak kamu tanda tangani? Coba kamu tanda tangan! Cocok apa enggak?'" tutur Ardi menirukan pengakuan dari kliennya.
Dugaan malaadministrasi
Mendengar testimoni dari kliennya, Ardi menduga ada praktik malaadministrasi dalam pelaksanaan tanggung jawab penyidik Disnakertrans Banten terhadap aduan-aduan yang dilaporkan OPSI. Dugaan tersebut sudah dilaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Dalam laporan itu, Ardi menyertakan PPNS Disnakertrans Banten dan Gubernur Banten Wahidin Halim sebagai pihak tergugat. "Dia (PPNS) kan mengabaikan kewenangan penegakan hukum, tidak dilaksanakan. Makanya, saya lapor malaadministrasi," imbuh Ardi.
Menurut Ardi, Ombudsman RI sudah meneruskan laporan tersebut ke Ombudsman Banten. Setidaknya dua kali Ombudsman Banten mengundang para tergugat untuk dimintai keterangan. Namun, hingga saat ini belum ada perwakilan Pemprov Banten yang memenuhi panggilan Ombudsman.
Permintaan klarifikasi kedua dilayangkan kepada Kepala Disnakertrans Provinsi Banten Al Hamidi melalui surat bernomor B/0067/LM.14-10/011038.2020/II/2021. Dalam surat tertanggal 24 Februari 2021 itu, Ombudsman Banten meminta Disnakertrans Banten memberikan penjelasan secara tertulis.
Usai surat permintaan klarifikasi diterima pihak Pemprov Banten, Ardi mengaku mendapat protes dari Rahmatullah yang namanya turut tercatat sebagai tergugat dalam laporan OPSI ke Ombudsman.
“Nah, ketika saya gugat, respons mereka marah. ‘Bagaimana sih Pak Ardi? Kita kan sudah ketemu. Kenapa kita dijadikan turut tergugat.’ Saya bilang, 'Saya enggak bisa membiarkan. Itu kan kerjaan kalian," kata Ardi.
Meski diprotes, Ardi menegaskan tak akan mencabut laporannya. Ia bertekad meneruskan perkaranya ke jalur hukum hingga ada titik terang mengenai nasib buruh yang diadvokasi OPSI. "Ya, memang pengawas ini yang harus digugat. Caranya? Kalau enggak perbuatan melawan hukum atau ke PTUN. Supaya mereka ada efek jera," kata dia.
Saat dikonfirmasi soal dugaan malaadministrasi dalam penanganan aduan OPSI, Rahmatullah enggan berkomentar. “Tanya beliau (Ardi) saja. Beliau lebih tahu. Tanya beliau saja," ucap Rahmatullah kepada Alinea.id, Selasa (26/10).
Ia juga membantah pernah menawarkan jabatan konsultan perusahaan outsourcing kepada Ardi dalam sebuah pertemuan di Disnakertrans Banten. “Enggak, enggak pernah. Tanya Pak Ardi saja. Enggak ada istilah itu. Enggak ada,” ucap Rahmatullah.
Serupa, Kepala Disnakertrans Provinsi Banten Al Hamidi juga irit bicara. Saat diminta klarifikasi terkait dugaan malaadministrasi yang dilaporkan OPSI, Hamidi hanya menegaskan laporan sengketa tenaga kerja baru bisa diproses jika ada bukti yang kuat.
“Untuk laporan ke Disnaker (Banten), harus ada bukti-bukti yang akurat dan legal, baru dapat ditindaklanjuti,” ujar Hamidi dalam pesan singkat telepon seluler yang diterima Alinea.id, Rabu (27/10).
Kepada Alinea.id, anggota Ombudsman RI Hery Susanto mengatakan siap mengawal laporan dugaan malaadministrasi penyelesaian sengketa ketenagakerjaan di Dinaskertrans Banten. Ia mengingatkan agar PPNS di pemda mana pun bekerja sesuai aturan yang berlaku.
“Bagi para pekerja yang tadi sudah melapor, coba lakukan lagi koordinasi ke Ombudsman pusat. Ya, selama ada laporan, ada informasi update, kita siap saja. Nanti kita ingatkan jajaran Ombudsman di daerah,” kata Hery saat dihubungi, Senin (25/10).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan sudah ada regulasi terperinci yang mengatur tugas dan wewenang pokok pengawas ketenagakerjaan di level pemerintah pusat dan daerah. Lazimnya pengawas ketenagakerjaan bekerja mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang telah ditetapkan pemerintah.
Fungsi pengawasan, lanjut dia, diterapkan dalam sejumlah kegiatan, semisal pembinaan, pemeriksaan untuk memastikan penerapan norma ketenagakerjaan, pengujian objek keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta kegiatan penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan.
“Dalam pemeriksaan (sengketa) ketenagakerjaan, ketika ditemukan ketidakpatuhan, maka pengawas ketenagakerjaan mengeluarkan nota pemeriksaan sebagai peringatan untuk memperbaiki ketidakpatuhan dalam batas waktu tertentu," kata Anwar saat dihubungi Alinea.id, Selasa (26/10).
Anwar menjelaskan penyidikan terhadap pelanggaran hak tenaga kerja oleh perusahaan bersifat ultimum remidium. Artinya, kasus-kasus pelanggaran sebisa mungkin diupayakan tidak masuk ke meja hijau. "Setelah diberikan nota pemeriksaan tetap tidak patuh, maka dapat dilakukan upaya paksa melalui proses penyidikan,” kata dia.
Pengawas eksternal
Pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar mengatakan kasus dugaan malaadministrasi di Dinaskertans Banten yang dilaporkan OPSI bukan hal baru. Menurut dia, kasus-kasus pelanggaran hak pekerja oleh perusahaan yang kerap diabaikan pemerintah tergolong masif.
"Ini terjadi terus-menerus. Sepertinya pemerintah tidak punya niat untuk memperbaiki ini. Pelanggaran itu kasat mata kita lihat, kita dengar. Telinga kita sudah lelah mendengar ada pelanggaran hak normatif buruh,” ujar Timboel saat dihubungi Alinea.id, Rabu (27/10).
Ucapan Timboel itu setidaknya dibenarkan data terbaru yang dikompilasi Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Dalam situs satudata.kemnaker.go.id, tercatat setidaknya ada 8.909 perusahaan yang melanggar norma kerja sepanjang triwulan kedua 2020.
Jenis pelanggarannya beragam. Hak buruh dan pekerja yang paling banyak dilanggar, semisal pelanggaran terkait waktu kerja (2.679 kasus), upah minimum (2.573 kasus), upah lembur (699 kasus), pemberian tunjangan hari raya atau THR (183 kasus) dan pelanggaran terhadap hak cuti tahunan (425 kasus).
Tak hanya kaum buru, menurut Timboel, pelanggaran terhadap hak-hak pekerja juga akan merugikan pengusaha dalam jangka panjang. Pengabaian terhadap hak-hak pekerja akan terus melahirkan gelombang unjuk rasa dan merusak iklim investasi dan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Kalau itu terjadi terus, iklim investasi kita tidak akan baik. Sementara kita mengajak investor datang, tetapi ketika investor datang dengan karpet merah UU Cipta Kerja, tetap ada demo, ada yang diperselisihkan, digugat. Pengusaha juga akan lelah,” ujar Timboel.
Sebagai solusi, Timboel menyarankan dibentuknya lembaga eksternal untuk mengawasi kinerja pengawas ketenegakerjaan. Ia berkaca dari kehadiran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak) yang ditugasi mengawasi kinerja aparat penegak hukum.
“Pengawas internal, menurut saya, sudah tidak tepat karena justru mereka yang bermain dari atasan hingga bawahan. Pengawas itu yang sangat berpotensi melakukan kolusi. Jadi, memang ini menjadi persoalan harus diselesaikan oleh pemerintah, dalam hal ini, Kemenaker dari sisi pengawasan," tutur dia.