Bayang-bayang diskriminasi di balik paspor vaksinasi Covid-19
Kanselir Austria, Sebastian Kurz senang bukan main usai Presiden Komisi Uni Eropa, Ursula von der Leyen menyatakan bakal mengusulkan proposal penerapan paspor vaksinasi Covid-19 pada awal Maret 2021, melalui akun Twitter pribadinya.
Dilansir dari Schengen Visa Info, 3 Maret 2021, von der Leyen mengungkap rencana meluncurkan paspor hijau berbentuk digital untuk mereka yang sudah divaksinasi Covid-19. Disebutkan, keputusan itu diambil sebagai solusi pemulihan perjalanan wisata di Eropa.
Kruz merasa, inilah buah dari cita-citanya. Pada akhir Februari 2021, Austria meminta Uni Eropa mempertimbangkan pemberlakuan paspor vaksinasi. Bagi Kurz, usulan itu bertujuan mengakhiri ruang gerak warga akibat pembatasan dalam mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2 Penyebab Covid-19.
“Kami menginginkan paspor hijau seluruh Uni Eropa, yang dengannya seseorang dapat bepergian bebas, berada di jalan tanpa batasan, dan pergi berlibur,” kata Kurz dalam kicauannya di akun Twitter pribadinya, Kamis (25/2).
Pria berusia 34 tahun itu yakin, paspos vaksinasi merupakan sebuah solusi bagi masyarakat Eropa yang sudah disuntik dua kali dosis vaksin Covid-19 untuk meraih kebebasan dari segala macam aturan yang mengikat semasa pandemi.
“Kontrol perbatasan dan peraturan karantina di Eropa akan segera menjadi bagian dari masa lalu,” tulis Kurz di akun Twitter-nya, Kamis (18/3).
Uni Eropa bukan yang pertama mencetuskan ide penerapan paspor vaksinasi. Beberapa negara sudah curi start. Israel misalnya, sudah memberlakukan green pass untuk mencabut sejumlah batasan terhadap mereka yang sudah menerima dosis kedua vaksin Covid-19 sejak Februari 2021.
Pada awal Februari 2021, Islandia mulai menerbitkan sertifikat vaksinasi digital untuk warga yang sudah menerima dua injeksi vaksin. Islandia bahkan menerima paspor vaksin dari pelancong, sehingga mereka bebas dari karantina dan pengujian.
Bahrain sudah meluncurkan paspor vaksinasi digital yang diberi nama BeAware. Bahkan, negara tetangga kita, Singapura akan menerima pelancong yang menggunakan sertifikat dan paspor vaksinasi digital dalam tiket perjalanan pada Mei 2021.
Beberapa masalah
Pengamat pariwisata, Asnawi Bahar menilai, kebijakan paspor vaksinasi yang menawarkan keleluasaan mobilitas di tengah pandemi didasari atas keinginan mendongkrak devisa bagi negara pendukungnya.
“Sertifikat vaksin ini tentu juga memberikan harapan bagi kita di industri pariwisata,” ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Senin (26/4).
Mantan Ketua Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) itu mengatakan, penerapan lisensi kebebasan mobilitas ini dapat pula meningkatkan capaian vaksinasi dalam negeri dan menjadi solusi terpuruknya industri pariwisata selama pandemi.
“Boleh dikatakan, semua sudah semaput lah. Paling yang masih bergerak sedikit itu hotel. Maka ini adalah sebuah jawaban,” ucapnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian pun menganggap, pemberlakuan paspor vaksinasi bisa membawa angin segar bagi pelaku industri pariwisata. Ia sepakat dengan paspor vaksinasi.
“Namun, perlu dikaji lebih lanjut,” tutur politikus Partai Golkar itu saat dihubungi, Senin (26/4).
Menurutnya, pemerintah harus melihat sikap World Health Organization (WHO). Selain itu, saat ini belum ada kesetaraan cakupan vaksinasi. Adanya varian baru virus Corona, menurut Hetifah perlu juga menjadi pertimbangan.
“Terjadi lonjakan kasus dan kematian akibat Covid-19 di India karena mutasi virus dan longgarnya protokol kesehatan,” katanya.
“Jika memang paspor vaksin Covid-19 dilaksanakan di Indonesia, saya rasa dokumen tersebut tak bisa berdiri sendiri. Harus tetap didampingi swab PCR.”
Namun, tampaknya Indonesia masih jauh dari wacana paspor vaksinasi. Juru bicara vaksinasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengaku, Indonesia belum terbesit untuk memberlakukan paspor vaksinasi. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah.
“Sampai saat ini, jumlah supply vaksin masih terbatas. Ada pula kelompok orang yang sampai saat ini karena berbagai kondisi, seperti ibu hamil dan anak usia di bawah 18 tahun, belum bisa mendapatkan vaksin,” kata Siti saat dihubungi, Sabtu (24/4).
Meskipun ada beberapa negara yang sudah menerapkan paspor vaksinasi, Siti mengungkapkan, warga negara asing (WNA) yang masuk ke Indonesia tetap akan diberlakukan prosedur protokol kesehatan.
“Tetap dilakukan pemeriksaan PCR atau antigen dan karantina,” ucap Siti.
Menurut epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, terdapat beberapa masalah bila paspor vaksin diterapkan. Salah satunya muncul diskriminasi lantaran ketidaksetaraan distribusi vaksin Covid-19.
“Tidak semua negara seberuntung Israel, Amerika, atau sebagian negara Eropa. Vaksin ini masih sedikit jumlahnya. Di sini cakupan penduduk yang sudah divaksin juga masih sedikit,” kata Dicky saat dihubungi, Minggu (25/4).
Ia khawatir paspor vaksinasi tak dapat menjangkau seluruh warga dunia, apalagi yang tinggal di negara berkembang, seperti Indonesia. Paspor vaksinasi, kata dia, justru akan menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara yang sulit mengakses vaksin.
“Orang yang memiliki paspor terkesan diberi keleluasaan untuk bepergian. Sementara yang lain enggak bisa pergi karena enggak ada paspor vaksin,” tutur dia.
Tak hanya itu, pria yang sudah 22 tahun menggeluti ilmu penyebaran penyakit menular ini mengatakan, paspor vaksinasi hanya akan melahirkan rasa aman yang semu terhadap kekebalan yang diperoleh dari vaksin Covid-19. Padahal, vaksin bukan jaminan seseorang bebas dari penularan virus.
Di samping itu, mutasi virus yang memunculkan varian baru, kata Dicky, menjadikan tingkat efikasi vaksin dipertanyakan. “Nah, ini yang akan mengurangi potensi kemanfaatan dari paspor vaksin,” ujarnya.
Paspor vaksin pun rentan penyalahgunaan, seperti pemalsuan. “Orang mencari jalan. Apalagi kalau diberlakukan di Indonesia,” katanya.
Tak perlu buru-buru
Atas dasar itu, Dicky mewanti-wanti pemerintah agar tak ikut-ikutan negara yang saling berpacu menerapkan paspor vaksinasi. Ia menyarankan, pemerintah mengambil opsi pemberlakuan sertifikat vaksinasi jika sudah mendekati target penyuntikan.
“Setidaknya, kalau mau memberlakukan ya sampai setengah dari penduduk kita sudah divaksin,” kata dia.
Hingga Senin (26/4) baru tujuh juta orang atau 17,34% yang telah menerima dosis kedua vaksin Covid-19 dan 11,8 juta atau 29,42% yang menerima dosis pertama. Angka ini masih sangat jauh dari total sasaran vaksinasi, yakni 181,5 juta orang.
Perkara ini diperparah dengan masih banyaknya warga yang enggan divaksin. Survei Saiful Mujani Research & Consulting (SRMC) yang dilakukan pada 28 Februari-8 Maret 2021 menunjukkan, 29% warga tak mau divaksin dan 23% masih ragu-ragu. Hanya 46% warga yang siap disuntik vaksin.
Dicky pun menyarankan pemerintah agar bisa melancarkan sosialisasi dan vaksinasi dapat diakses di semua lapisan masyarakat. Sebab, aspek kesetaraan dan keterjangkauan vaksinasi harus dicapai, jika ingin menerapkan paspor vaksinasi.
“Dan kriteria itu berat. Artinya, untuk situasi pandemi, tampaknya (paspor vaksinasi) itu harus menjadi opsi belakangan lah,” tuturnya.
Sementara itu, peneliti program doktoral Public Health Law University of Birmingham, Citta Widagdo meminta pemerintah memperhatikan aspek keadilan dan keterjangkauan akses kebutuhan dasar dan sosial, bila ingin menerapkan paspor vaksinasi. Ia merasa, pemberlakuan paspor vaksinasi bakal menyulitkan warga yang tak masuk kategori penerima vaksin untuk melangsungkan hidup.
“Kemudian, kebijakan apa yang bisa diterapkan untuk mereka yang tidak dapat menerima vaksin atas dasar yang valid? Sehingga mereka tidak terkucilkan dari tempat kerja dan kehidupan sosial,” kata Citta saat dihubungi, Selasa (27/4).
Lebih lanjut, ia mengatakan, pemerintah perlu memikirkan langkah diplomasi agar mobilitas warga negara Indonesai (WNI) tak terkekang oleh negara yang menerapkan paspor vaksinasi.
“Untuk international travel, bagaimana kemudian penduduk Indonesia dapat mengakses travel secara global, jika ada pemberlakuan paspor vaksin?” ujarnya.
Bagi Citta, kebijakan paspor vaksinasi juga menurunkan risiko secara bertahap di tengah kompleksitas sosial-ekonomi. Oleh karenanya, ia mengingatkan pengambil kebijakan agar bisa membuat aturan yang baik dalam jangka waktu lama.
“Kebijakan yang tampaknya logis di satu saat, kemudian tak lagi tepat di saat berikutnya,” ujarnya.
“Ada banyak kebijakan yang berubah seiring dengan munculnya berbagai bukti saintifik vaksinasi. Pemerintah perlu mengingat pentingnya adaptasi dan fleksibilitas dalam mengambil kebijakan.”
Intinya, menurut Citta, hingga vaksin dapat tersedia dan mudah diakses bagi semua orang, langkah yang tepat untuk keluar dari pandemi adalah dengan terus memastikan tes, pelacakan kontak, karantina kontak dengan orang yang positif, dan isolasi.
“Dengan memastikan public trust, bukan menerapkan kebijakan yang dapat memperburuk ketidakadilan,” tuturnya.