close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi film Jejak Khilafah di Nusantara. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi film Jejak Khilafah di Nusantara. Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Kamis, 10 September 2020 10:09

Bayang-bayang HTI dalam sejarah imajiner "Jejak Khilafah di Nusantara"

Orang-orang HTI ada di dalam dan di luar film "Jejak Khilafah di Nusantara"
swipe

Pada mulanya adalah cuplikan gambar gerakan awan di langit, suara burung, pepohonan, dan sebuah masjid. Lantas, suara sang narator berkumandang di antara potongan-potongan gambar orang-orang bergerak dalam mode fast motion.

"Khilafah sebuah institusi pemerintahan Islam yang berjalan sejak zaman para sahabat hingga tahun 1924 yang merupakan simbol keagungan peradaban Islam selama 1.300 tahun," tutur sang narator diiringi musik dramatis.

Setelah sang narator menandaskan narasinya, sejarawan pertama muncul. Namanya Moeflich Hasbullah. Dia dosen di Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Moeflich langsung bicara pada intinya.

"Kita tahu khilafah atau kekhilafahan Islam itu di Nusantara bukan hal yang baru. Sudah ada hubungan atau relasi antara kesultanan-kesultanan dan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan kekhilafahan Turki Usmani atau wilayah Arab secara keseluruhan itu sejak abad ke-7," kata Moeflich.

Begitulah film "Jejak Khilafah di Nusantara" atau JKdN dimulai. Sebagaimana judulnya, film dokumenter yang disutradarai Nicko Pandawa itu bertutur mengenai dugaan adanya hubungan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan khalifah Islam di masa lalu. 

Ada tujuh narasumber yang muncul di film itu. Mayoritas ialah sejarawan seperti Moeflich. Sang sutradara juga muncul dalam beberapa scene dengan titel sebagai seorang sejarawan.  

Film itu kali pertama diputar di Youtube Khilafah Channel pada 20 Agustus lalu. Di tengah penayangan, Youtube memblokirnya. Meski begitu, film itu segera "dikloning" dan diunggah akun-akun lain untuk khalayak. 

Tak butuh lama, film berdurasi 52 menit 36 detik itu langsung memicu kontroversi. Sasaran utama para kritikus ialah soal cacatnya potongan-potongan sejarah yang dimunculkan dalam film tersebut. Lainnya mengkritik film tersebut sebagai alat propaganda Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). 

Tudingan-tudingan itu ditepis Nicko, sang sutradara. Kepada Alinea.id, Nicko mengatakan, film itu dibuat atas inisiatifnya sendiri. Tujuannya untuk mengungkap "kebenaran" mengenai kedekatan Indonesia dengan khilafah dari perspektif historis.  

"Lihat saja filmnya. Apakah di film itu kami menyebut kata HTI atau enggak. Film diinisiasi oleh Komunitas Literasi Islam. Itu komunitas saya juga," kata Nicko saat dihubungi, Rabu (9/9). 

Kehadiran HTI di belakang layar memang sulit dimungkiri. Film itu, misalnya, diluncurkan kali pertama di Khilafah Channel. Di kanal Youtube itu, wajah mantan juru bicara HTI Ismail Yusanto ditampilkan sebagai foto header

Hafidz Abdurrahman, ulama yang diwawancara sebagai salah satu narasumber dalam JKdN juga kerap berdakwah di Khilafah Channel. Afiliasi narsum-narsum lainnya di JKdN dengan HTI juga bisa mudah ditelusuri. 

"Ketika berbicara khilafah tentu kami melihat person atau pelaku atau organisasi yang sering membicarakan khilafah. Ya, kami melihat orang kayak beliau-beliau (Ismail Yusanto cs) ini. Jadi, ya nyambunglah. Dari segi struktural, enggak ada hubungannya. Ini dari segi kerja sama aja," kilah Nicko. 

Soal tudingan cacat historis, Nicko mengatakan, filmnya berbasis riset dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Ia mencontohkan soal hubungan kuasa "vertikal" antara Turki Utsmani dan Kesultanan Aceh (Samudera Pasai) pada abad-16.

Kesimpulan itu, kata Nicko, diperoleh setelah ditemukannya berisi sumpah setia Kesultanan Aceh terhadap Turki Utsmani pada 1566. Surat itu tercatat di buku kumpulan arsip Turki Utsmani-Indonesia terbitan Istanbul yang dirilis tahun lalu.

"Nah, dari situ kami mempelajari dari beberapa jurnal yang ada dan karya-karya yang menjelaskan tentang ini surat. Kami mendapatkan isi surat itu ada pernyataan baiat kepada khilafah Turki Utsmani dari Sultan Aceh," ujar alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu.

Saat dikonfirmasi, mantan Ketua DPP HTI Rohkmat S. Labib mengatakan isi film merupakan tanggung jawab sang sutradara. Ia pun menolak berkomentar terkait hubungan HTI dan film tersebut. "Tanya sutradaranya saja," kata dia. 

Sutradara film Jejak Khilafah di Nusantara, Nicko Pandawa. Foto screenshot Youtube

Banjir kritik

Selain Kesultanan Aceh, JKdN juga menyimpulkan adanya relasi kuasa antara Turki Utsmani dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada pertengahan film, disebutkan bahwa kerajaan-kerajaan yang berbaiat kepada Turki Utsmani melancarkan invasi bermotif Islamisasi. 

Namun demikian, kesimpulan itu ramai-ramai dibantah. Salah satunya oleh anggota Dewan Penasehat Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Kota Malang Aji Prasetyo. Dalam akun YouTube-nya, Aji mengatakan manuver kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara cenderung politis dan ekonomis. 

Ia mencontohkan peristiwa jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada1500-an. Dalam film tersebut, konflik antara Portugis dan kerajaan-kerajaan Nusantara dalam perebutan Malaka dibingkai dalam kerangka konflik agama. 

Padahal, lanjut Aji, perang antara Portugis dan kerajaan-kerajaan Nusantara yang dibantu Tiongkok dan Turki Utsmani murni bermotif ekonomi. "Harusnya kita jeli melihat peristiwa ini sebagai perang rebutan lahan perdagangan," kata dia.

Aji kemudian mengkritik invasi Kerajaan Demak dan Mataram setelahnya ke kerajaan-kerajaan Hindu pada dekade 1500 hingga 1700-an yang dibingkai dalam bentuk konflik agama. Menurut Aji, invasi tersebut didasari motif politik. 

Ia mencontohkan invasi Blambangan oleh Mataram pada era Amangkurat I. Ketika itu, pasukan Mataram dipimpin Adipati Wiraguna. Invasi tersebut gagal dan Wiraguna pulang dengan tangan kosong. Murka, Amangkurat I menjatuhkan hukuman mati. 

Menurut Aji, keputusan Amangkurat I sebenarnya politis lantaran dendam pribadi di antara keduanya. Sewaktu masih menjadi putra mahkota, Amangkurat I pernah dilaporkan kepada Sultan Agung oleh Wiraguna. "Kelakuannya apa? Amangkurat I melarikan selir dari Adipati Wiraguna," jelas Aji.

Pada tahun 1773, Mataram yang dipimpin Pakubuwono II, memberikan wilayahnya di wilayah timur kepada Belanda. Salah satunya adalah Blambangan. Tapi, Blambangan tidak pernah merasa sedang dikuasai Mataram. 

Rakyat Blambangan yang muak dengan Mataram memutuskan melawan hingga titik darah penghabisan. Dalam sejarah, peristiwa ini dikenal dengan sebutan Puputan Bayu. "Jadi dari cerita ini bisa disimpulkaan, faktor politik lebih dominan daripada agama," kata Aji.

 

Fakta-fakta sejarah yang dicatut JKdN pun disangsikan guru besar Ilmu Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ibnu Burdah. Ia menyebut muatan sejarah yang ada di film lebih bermotif politik.

"Untuk membingkai satu benang sejarah bahwa ada hubungan yang mendekati formal setidaknya antara kekuatan-kekuatan politik di Nusantara dengan simpul politik muslim di Timur Tengah, terutama di Istanbul dan sekitarnya," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (8/9).

Burdah mengatakan sejauh ini belum ada bukti kuat untuk memastikan kesultanan di Nusantara berbaiat pada kekhilafahan di Timur Tengah. Pasalnya, tidak pernah ada pengerahan pasukan militer secara besar-besaran dari Turki Utsmani ke daerah kasultanan di Nusantara. 

Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan kesultanan di Nusantara rutin memberi upeti kepada kesultanan Turki Utsmani. Padahal, kedua hal itu lazim dilakukan Kesultanan Turki Utsmani terhadap daerah kekuasaannya sebagai bentuk legitimasi politik.

"Kebiasaan Turki adalah mendorong supaya dia menguasai birokrasi. Di Mesir, misalnya, dia kirim tokoh. Itu untuk menunjukkan daerah tersebut berada dalam dekapan Turki Utsmani secara formal dan struktural. Selain itu, ada pengiriman pajak atau upeti ke Kesultanan Turki," jelas Burdah.

Terkait gelar khalifatullah yang diberikan kepada penguasa Mataram Islam yang diulas dalam JKdN, Burdah mengatakan, pemberian gelar hanya sekadar bagian diplomasi sang sultan untuk memperkuat status politiknya sebagai pemimpin Muslim.

"Faktanya, interaksi itu benar-benar ada, baik melalui utusan-utusan politik, perdagangan, dan lainnya. Akan tetapi, bukan dalam bentuk hubungan formal-struktural seperti yang diklaim oleh teman-teman yang ingin dan mendesak-desak agenda restorasi khilafah itu," ucap Burdah.

Berbasis catatan historis, Burdah menegaskan, tidak ada kesultanan di Nusantara yang menerapkan sistem khilafah. Setiap kesultanan di Nusantara berdaulat dan tidak terikat dalam satu simpul politik yang bersifat sentralistik sebagaimana dibingkai JKdN.

"Bila mengklaim Samudera Pasai dan sebagainya itu negara khilafah, ya, bisa saja sebagai suatu istilah. Tapi, sama sekali tidak matching dengan khilafah sebagai gagasan penyatuan dunia Islam dalam suatu simpul politik yang sentralistik," terang Burdah.

Burdah berpandangan hubungan antara simpul kekhalifahan besar seperti Ustmani Istanbul, Mughal di New Delhi, dan Kerajaan Syiah Syafawiyah di Iran dengan kesultanan di Nusantara tak ubahnya hubungan antara negara-negara Islam di dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

"Jadi, gelar itu lebih tepat dimaknai sebagai penghargaan terhadap kerajaan Mataram Islam yang otonom dan dalam bingkai persaudaraan keislaman sebagaimana hubungan Indonesia-Turki dalam organisasi OKI saat ini," kata dia.

Ilustrasi kekhalifahan di Timur Tengah. /Foto Unsplash

Sejarah imajiner JKdN 

Klaim hubungan antara Kesultanan Turki Utsmani dengan kerajaan Islam di Nusantara dalam film JKdN juga ditepis sejarawan spesialis Pangeran Diponegoro, Peter Carey. Dalam film itu, Peter muncul di menit-menit akhir membahas tema hubungan Pangeran Diponegoro (1785-1855) dengan Turki Utsmaniah.

Saat peluncuran JKdN, nama Peter disebut-sebut hadir dalam sebuah diskusi bersama mantan jubir HTI Ismail Yusanto. Namun, Peter membantahnya. Dalam rilis yang beredar Agustus lalu, Peter juga mengatakan Kesultanan Turki sama sekali tidak peduli dengan perang-perang di Jawa. 

"Dari pihak Diponegoro, semuanya berakar dari rasa kagum yang diromantisir mengenai orang Turki Utsmani sebagai benteng pertahanan terakhir umat Muslim terhadap dunia Barat pada awal abad sembilan belas," kata Peter.

Asisten Peter Carey, Christopher Reinhart, mengatakan pencantutan nama bosnya dalam acara diskusi merupakan indikasi lemahnya kepercayaan diri pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film JKdN. Nama Peter dicatut untuk menunjukkan seolah-olah isi film valid. 

"Padahal, jelas sejarah yang asli dari negara ini menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia sendiri dan perjuangannya adalah faktor yang membuat Indonesia dapat bertahan melewati penjajahan Eropa maupun Jepang hingga akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan," kata Christopher kepada Alinea.id

Ditegaskan dia, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Turki Utsmani dan Kesultanan Yogyakarta (didirikan 1749) dalam hal hierarkhi. Dokumen sejarah yang menunjukkan bahwa panji Tunggul Wulung merupakan bukti bahwa Yogyakarta adalah wakil dari Turki Utsmani di Jawa pun nihil.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Membantah isi film, Christopher mengatakan tidak ada bukti pada dokumen-dokumen di arsip Turki Utsmani yang menunjukkan bahwa "negara" Islam pertama di Jawa yaitu Kesultanan Demak (1475–1558) menjalin komunikasi dengan Turki Utsmani. "Demak tidak disebutkan di arsip," kata dia. 

Kesalahan paling fatal para pembuat film, kata Christopher, ialah mengategorikan Turki sebagai khilafah. "Turki Utsmani adalah sebuah kerajaan dinasti. Bagaimana caranya sebuah dinasti bisa mewariskan unsur khilafah? Ini sejarah yang imajiner," kata Christopher.

Christopher sepakat bahwa film JKdN terlampau dipaksakan. "Betul. Sebab tidak ada sebatang hidung catatan tentang khilafah di arsip Turki Utsmani dan mereka pun tidak mempunyai minat atau wewenang untuk memberi gelar semacam itu," ujarnya.

Soal polemik pencatutan nama Peter dalam diskusi, Nicko, sang sutradara JKdN, mengatakan, itu hanya kesalahan teknis. Menurut Nicko, sejarawan asal Inggris itu tak hadir dalam acara peluncuran karena menolak dikait-kaitkan dengan orang-orang HTI. 

Saat diwawancara, menurut Nicko, Peter juga sudah tahu timnya sedang membuat film mengenai sejarah khilafah di Nusantara. "Clear kok. Sebenarnya yang masalahnya di launching aja karena ada dari HTI. Ya, itu pas kita bersama ustaz Ismail Yusanto itu. Prof Peter jadi takut," kata dia. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan