close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pekerja seks komersial. Alinea.id/Jums
icon caption
Ilustrasi pekerja seks komersial. Alinea.id/Jums
Nasional
Minggu, 18 April 2021 13:29

Bayang-bayang maut di jalan hidup si kupu-kupu malam

Pembunuhan terhadap pekerja seks komersial oleh pelanggan seolah tak pernah berhenti terjadi.
swipe

Mengenakan baju terusan berwarna merah super ketat, perempuan muda itu duduk di pojok kiri sebuah kafe di kawasan, Jakarta Pusat. Dengan rambut dicat pirang dan bibir yang dipoles gincu berwarna cokelat, ia terlihat penuh percaya diri. 

Penampilannya yang "berani" itu bikin sejumlah pria pengunjung kafe tak kuasa untuk melirik ke arahnya. Di tengah tatapan orang-orang asing itu, ia membuka tas make up dan mulai membenahi dandanannya.  

"Saya sebenarnya pengin berhenti, tapi enggak tahu entah kapan," kata perempuan itu saat berbincang dengan Alinea.id di kafe itu, belum lama ini.

Dara muda itu ingin disamarkan dengan nama Dewi. Empat tahun lalu, ia sempat bekerja di sebuah kelab (club) malam di kawasan Jakarta Pusat. Di tempat itu, selain sebagai pramusaji, Dewi juga bertugas melayani pria-pria hidung belang.

Dewi ke Jakarta diajak seorang temannya sekitar tujuh tahun lalu. Meski dilarang orang tua dan hanya mengantongi ijazah sekolah menengah pertama (SMP), Dewi nekat mengadu nasib. Apalagi, temannya itu terkenal sukses di kampung. 

"Sudah punya rumah di kampung waktu itu. Dia cerita ke orang tua saya kalau cari kerja di Jakarta tidak susah. Waktu itu, dia bilang kalau saya akan jadi pelayan di toko bosnya di Jakarta. Jadi, orang tua saya percaya," ujar Dewi.

Masih terbilang belia, Dewi dan teman sekampungnya itu berangkat ke Jakarta pada 2014. Sesuai janji, Dewi mulai dipekerjakan di sebuah toko pakaian di Tanah Abang milik kenalan teman kampungnya. "Kurang lebih setahun ada. Saya ngekos di dekat situ," ceritanya.

Meski tak tinggal seatap di Jakarta, Dewi mengaku masih sering bertemu dengan teman kampungnya. Saat bertemu, ia kerap diajak temannya untuk belanja barang mewah. "Dia cuma tamatan SD (sekolah dasar) malah. Tapi, waktu itu saya pikir itu nasib baiknya dia kali, ya," ujar dia. 

Setelah beberapa bulan di Jakarta, Dewi mulai tak kerasan. Saat mengungkapkan keinginannya untuk pulang kampung, temannya melarang. Rekan Dewi itu menjanjikan pekerjaan baru yang menghasilkan lebih banyak uang. Dewi pun diajak bekerja di sebuah kelab malam.

"Saya kaget waktu itu, ternyata dia kerja kayak gitu. Saya awalnya nolak, cuma dia rayu terus setiap kali bertemu. Tapi, karena mengingat keadaan orang tua di kampung yang serba susah, saya akhirnya ikut dia," tutur Dewi. 

Pada 2015, Dewi pun akhirnya luluh dan menerima ajakan temannya bekerja di kelab malam. Pada mulanya, ia dipekerjakan sebagai waitress sebelum akhirnya diminta melayani lelaki hidung belang.

"Perih sekali setahun pertama. Saya bisa melayani lelaki sampai tujuh hingga delapan orang. Jika saya tolak, saya dipukul sama sama security-nya mami. Saya hanya bebas kalau lagi menstruasi," kata Dewi.

Selain perlakuan kasar dari mucikarinya, Dewi juga mengaku kerap diperlakukan semena-mena oleh para tamu. "Ada tamu yang baik kasih saya tip besar. Ada juga yang kasar banget. Mintanya macam-macam. Kalau nolak, katanya saya sudah dibayar. Jadi, saya ngikutin apa kata dia," kata Dewi.

Penderitaan Dewi menjadi-jadi manakala mendapati tamu yang menggunakan obat kuat. Dia mengaku pernah melayani tamu berjam-jam hingga akhirnya ia pingsan. "Saya masuk rumah sakit karena pendarahan. Tapi, setelah sembuh, saya balik lagi bekerja," katanya. 

Tak tahan lagi, Dewi keluar dari kelab malam itu pada 2018. Ia kini memilih "jualan" via aplikasi. "Saya hanya layani BO (booking out) sekarang. Alhamdulillah, saya sudah sering kirim orang tua uang. Saya pilih-pilih tamu karena masih trauma," kata dia.

Ilustrasi pekerja seks komersial. /Foto Pixabay

Berbeda dengan Dewi yang menjadi pekerja seks karena dirayu teman sekampungnya, Siska--juga bukan nama sebenarnya--memilih menjual tubuhnya karena terlilit utang. Perempuan berusia 34 tahun itu beralih profesi lantaran usahanya rontok dihantam pandemi. 

"Aku sebelumnya ambil barang dari Batam lalu jual ke TKW (tenaga  kerja wanita) di Malaysia dan Penang. Semenjak pandemi corona ini, hancur-hancuran (usahaku). Utangku banyak," kata Siska. 

Siska baru jadi pekerja seks sejak delapan bulan lalu. Bersama seorang temannya, ia menjadikan sebuah kamar kos di kawasan Jakarta Timur sebagai "tempat usaha". Pelanggan ia dapat melalui aplikasi Michat dan Tinder.

Sekali kencan, ia dan temannya mematok tarif sekitar Rp300 hingga Rp500 ribu. "Kalau ada tamu, aku dan teman gantian. Kita saling paham aja," ujar janda yang sudah punya dua anak itu. 

Selama membuka layanan prostitusi, Siska menutup rapat-rapat identitasnya. Dia selalu menghindari tamu yang berasal dari daerahnya. "Aku kawin muda. Anakku udah gede-gede semua. Malu kalau ketahuan ibu mereka ini jadi lonte," kata perempuan asal Sumatera Utara itu. 

Meskipun belum lama melakoni profesi sebagai pekerja seks, Siska juga mengaku kerap mendapatkan tamu yang kasar dan kurang ajar. Tak hanya dimaki-maki, Siska bahkan pernah dipukul oleh tamunya.

"Mereka bilang aku ini mirip waria. Jadi, marahlah aku ke orang-orang itu. Eh, kena gampar pipiku ini. Pengenlah aku berhenti. Siapa yang mau jadi lonte kayak aku ini. Cuma nasibku yang jelek kali, ya," kata dia. 

Polisi wanita (Polwan) menggiring dua tersangka mucikari dari prostitusi daring artis dan model Endang alias Siska (ES) dan Tantri (TN) ketika ungkap kasus di Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, Kamis (10/01/2019).

Pengaruh stigma 

Psikolog dari Universitas Al Azhar Indonesia, Fitriani F Syahrul mengatakan PSK memang rentan jadi objek kekerasan. Dalam konteks psikologi spiritual, menurut dia, pengguna PSK pada umumnya merupakan orang-orang yang menyalurkan libido secara tak formal atau di luar jalur perkawinan. 

Penyaluran libido seperti itu, lanjut dia, sangat mungkin disertai dengan emosi yang meluap-luap. Pasalnya, pasangan seks dalam konteks prostitusi tidak dihargai sebagaimana pasangan dalam perkawinan yang sah. 

"Nah, hawa nafsu yang negatif ini tidak sendirian. Ada hawa nafsu lain, bisa bentuk agresif, marah-marah, atau bisa di luar kewajaran, seperti menabok, tempeleng, dan caci maki," kata Fitriani saat dihubungi Alinea.id, Jumat (16/4).

Ketika hawa nafsu negatif itu bekerja, menurut Fitriani, maka yang muncul dalam benak pengguna PSK umumnya adalah keinginan untuk melampiaskan libido sampai puas. Karena itu, para pria hidung belang tersebut kerap murka saat ekspektasi mereka tak terpenuhi.

"Mungkin dia harap PSK wangi, tapi PSK enggak wangi. Dia bisa marah dan bahkan bisa sampai membunuh. Kenapa sampai membunuh? Karena dia sudah melakukan dengan konteks negatif, bukan karena cinta," jelas Fitriani. 

Infografik Alinea.id/MT Fadillah

Kekerasan terhadap pekerja seks memang bukan hal baru lagi. Setiap tahun, kasus kekerasan semacam itu terungkap ke publik di berbagai daerah. Dalam sejumlah kasus, pekerja seks bahkan dianiaya hingga tewas oleh pelanggan. 

Kasus teranyar ialah pembunuhan dua pekerja seks panggilan oleh Muhammad Rian alias MRI di kawasan Puncak, Bogor, pertengahan Maret lalu. Sempat diduga pembunuh berantai, Rian ternyata menghabisi korban pertama lantaran jengkel diminta membayar melebihi kesepakatan awal. 

Pada kasus lain yang terjadi pada September 2020, seorang pekerja seks berinisial DP di Yogyakarta tewas lantaran dipaksa melayani enam orang pelanggan sekaligus di sebuah hotel. Saat kejang-kejang usai berhubungan seks, seorang pengguna jasa malah menutupi muka DP supaya tidak berisik.  

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan kekerasan terhadap PSK lahir karena stigma buruk terhadap perempuan malam. PSK kerap dianggap sebagai perempuan yang sekadar menjual badan lantaran tak mau berusaha mencari penghasilan yang legal. 

"Malah ada yang pakai manajer dan lain-lain. Contohnya adalah pelacur-pelacur daring yang tarifnya gila-gilaan itu. Mereka sepatutnya bisa dipidana," kata Reza saat dihubungi Alinea.id, Kamis (15/4).

Padahal, tak semua PSK seperti itu. Menurut Reza, banyak perempuan terpaksa melacur karena tidak punya opsi lain untuk menyambung hidup. "Mereka ini adalah pelacur, yang dengan empati, patut disebut sebagai budak seks. Sebagai korban eksploitasi, mereka perlu ditolong," kata Reza  

Sayangnya, orang-orang kerap menyamaratakan jenis PSK. Pelacur, kata Reza, seringkali dianggap sebagai sampah masyarakat yang berhak diperlakukan semena-mena. Ironisnya, saat menjadi korban kekerasan pun, PSK kerap kesulitan mendapatkan perlindungan. 

"Dianggap bahwa orang hina tidak terlindungi hukum, tidak punya HAM (hak asasi manusia), dan seterusnya. Padahal, kalau budak seks, apa yang dia lakukan saja, pada dasarnya sudah merupakan bentuk kejahatan yang memosisikan dia sebagai korban. Korban eksploitasi," jelas Reza.

 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan