close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sebuah mobil yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Rakyat untuk melakukan penerangan atau propaganda mengenai masalah kesehatan dan penyembuhan penyakit flu Spanyol 1918. Foto BNPB/ lampiran buku “Yang Terlupakan Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Bel
icon caption
Sebuah mobil yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Rakyat untuk melakukan penerangan atau propaganda mengenai masalah kesehatan dan penyembuhan penyakit flu Spanyol 1918. Foto BNPB/ lampiran buku “Yang Terlupakan Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Bel
Nasional
Senin, 03 Agustus 2020 07:52

Belajar dari flu Spanyol 1918, pemahaman literasi menjadi kunci

Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan buku literasi berjudul “Lelara Influenza” (Penyakit Influenza).
swipe

Pandemi Covid-19 yang sedang melanda Indonesia dan sebagian besar negara di dunia, tak jauh berbeda dengan flu Spanyol pada 1918 silam.

Pemerintah Hindia Belanda atau Indonesia pada saat itu, juga memberikan imbauan kepada masyarakat agar patuh terhadap protokol kesehatan, meliputi memakai masker, tinggal di rumah dan menjaga kebersihan, layaknya apa yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk penanganan pandemi Covid-19 saat ini.

Dalam menyampaikan imbauan itu, Pemerintah Hindia Belanda melakukannya melalui berbagai upaya, seperti melalui kampanye mobil kesehatan. Hal tersebut lebih efektif dilakukan mengingat masih banyak keterbatasan pada saat itu.

“Secara rutin berkeliling kota dan seolah-olah mengingatkan, ini adalah penyakit yang sifatnya mematikan, jadi lebih baik tinggal di rumah, tetap memakai masker, karena itu, dan juga terjagalah kebersihan. Itu yang disampaikan terus dan terus dan terus,” jelas Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam, di Media Center Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Jakarta, Sabtu (1/8).

Selain melalui kampanye tersebut, Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan buku literasi berjudul “Lelara Influenza” (Penyakit Influenza), yang kemudian dialihbahasakan ke dalam cerita pewayangan oleh campur tangan dalang.

Sementara Sejarawan Publik Kresno Brahmantyo menambahkan, buku “Lelara Influenza” cukup populer, meski pada saat itu masyarakat belum banyak yang dapat membaca.

“Ada data yang menunjukkan bahwa tingkat peminjaman buku itu pada tahun 1820 sampai 1823 itu cukup signifikan. Tinggi, 3.000,” ujarnya.

Dalam buku terbitan Balai Pustaka tersebut dijelaskan tentang bagaimana influenza menurut gejala dan penanganannya. Beberapa kalimatnya juga menekankan tentang imbauan agar manusia tidak bertindak ceroboh.

"Berhati-hatilah jangan sampai bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan munculnya debu. Orang yang terkena panas dan batuk tidak boleh ke luar rumah. Harus tidur atau istirahat saja. Badannya diselimuti sampai rapat, kepalanya dikompres, tidak boleh mandi,” jelas Kresno.

Dalam hal ini, pemahanan serta literasi masyarakat akan bahaya pandemi sangat penting dan diutamakan. Sebab, hal itu akan memengaruhi adanya perubahan perilaku masyarakat sehingga upaya penanganan akan lebih mudah dilakukan.

Pandemi Covid-19 yang sedang melanda Indonesia dan sebagian besar negara di dunia, tak jauh berbeda dengan flu Spanyol pada 1918 silam.

Pemerintah Hindia Belanda atau Indonesia pada saat itu, juga memberikan imbauan kepada masyarakat agar patuh terhadap protokol kesehatan, meliputi memakai masker, tinggal di rumah dan menjaga kebersihan, layaknya apa yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk penanganan pandemi Covid-19 saat ini.

Dalam menyampaikan imbauan itu, Pemerintah Hindia Belanda melakukannya melalui berbagai upaya, seperti melalui kampanye mobil kesehatan. Hal tersebut lebih efektif dilakukan mengingat masih banyak keterbatasan pada saat itu.

“Secara rutin berkeliling kota dan seolah-olah mengingatkan, ini adalah penyakit yang sifatnya mematikan, jadi lebih baik tinggal di rumah, tetap memakai masker, karena itu, dan juga terjagalah kebersihan. Itu yang disampaikan terus dan terus dan terus,” jelas Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam, di Media Center Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Jakarta, Sabtu (1/8).

Selain melalui kampanye tersebut, Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan buku literasi berjudul “Lelara Influenza” (Penyakit Influenza), yang kemudian dialihbahasakan ke dalam cerita pewayangan oleh campur tangan dalang.

Sementara Sejarawan Publik Kresno Brahmantyo menambahkan, buku “Lelara Influenza” cukup populer, meski pada saat itu masyarakat belum banyak yang dapat membaca.

“Ada data yang menunjukkan bahwa tingkat peminjaman buku itu pada tahun 1820 sampai 1823 itu cukup signifikan. Tinggi, 3.000,” ujarnya.

Dalam buku terbitan Balai Pustaka tersebut dijelaskan tentang bagaimana influenza menurut gejala dan penanganannya. Beberapa kalimatnya juga menekankan tentang imbauan agar manusia tidak bertindak ceroboh.

"Berhati-hatilah jangan sampai bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan munculnya debu. Orang yang terkena panas dan batuk tidak boleh ke luar rumah. Harus tidur atau istirahat saja. Badannya diselimuti sampai rapat, kepalanya dikompres, tidak boleh mandi,” jelas Kresno.

Dalam hal ini, pemahanan serta literasi masyarakat akan bahaya pandemi sangat penting dan diutamakan. Sebab, hal itu akan memengaruhi adanya perubahan perilaku masyarakat sehingga upaya penanganan akan lebih mudah dilakukan.

Beda pandang antara pemerintah dan masyarakat

Kendati penyampaian imbauan kesehatan dan penanganan pandemi Flu Spanyol 1918 sudah dilakukan, namun hal itu tidak menutup adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat.

Tri menyampaikan, rata-rata masyarakat pada saat itu berkeyakinan wabah yang melanda berasal dari alam, kendati pemerintah berusaha meyakinkan bahwa hal itu berasal dari adanya transmisi dari pendatang.

“Mereka masyarakat melihat, bahwa sumber penyakit ini adalah dari alam. Dari debu, dari angin, dan sebagainya. Sementara pihak pemerintah Belanda dalam hal ini ini adalah dari luar. Pendatang yang datang ke Indonesia itu membawa, atau carrier,” ungkap Tri.

Adanya perbedaan pendapat yang membuat penanganan penyakit justru menjadi lambat tersebut kemudian juga memantik kepedulian para tokoh nasional yang akhirnya bergerak untuk perubahan, salah satunya adalah dr Cipto Mangunkusumo dengan para siswa Stovia dan munculnya mantri-mantri kesehatan.

Melalui gerakannya, imbauan penerapan protokol kesehatan digalakkan. Selain itu, tercetuslah beberapa upaya lainnya seperti pemanfaatan ramuan jamu tradisional untuk penanganan penyakit. Kemudian pelabuhan sebagai pintu masuk Hindia Belanda harus ditutup sementara dan dibatasi pergerakannya.

Beberapa rumah penyintas diberi tanda bendera kuning, dengan tujuan untuk mencegah adanya masyarakat yang datang dan berpotensi tertular dan beberapa langkah lain yang juga menimbulkan pro dan kontra.

Apabila kembali melihat pada literasi sejarah Flu Spanyol 1918, Tri mengatakan masyarakat dan Pemerintah Hindia Belanda atau Indonesia pada saat itu memang belum benar-benar siap.

Segala informasi mengenai pandemi yang masuk ke Hindia Belanda pada saat itu menjadi sempat tidak terlalu dihiraukan, bahkan sampai akhirnya memicu perbedaan pendapat antara pemerintah dengan masyarakatnya.

Satu pelajaran penting yang kemudian dapat dipetik dari pandemi seabad silam menurut Tri adalah bahwa belajar dari literasi masa lalu menjadi penting untuk menangani masalah yang tidak jauh beda di masa sekarang maupun di kemudian hari. Dalam hal ini, penyamaan persepsi dan pemahaman menjadi kunci bagaimana pandemi dapat lebih mudah ditangani.

“Masalah lalu itu bukan hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Jadi marilah kita melangkah dengan kearifan masa lalu,” kata Tri.

Sejalan dengan Tri, Kresno Brahmantyo juga menganggap catatan atau rekaman kelam mengenai ‘pageblug’ hendaknya dapat dijadikan sebagai pembelajaran, baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Sebab menurut Tri, setiap peristiwa atau bencana dapat berulang dan tentunya dibutuhkan solusi penanganan yang sama untuk ke depannya.

“Mulailah kita mulai membuat rekaman walaupun agak telat gitu. Tetapi itu bisa dilakukan, supaya nanti ketika 10 atau 20 tahun yang akan datang kita punya data untuk menghadapi ini semua. Karena ini berulang, dan kelihatannya solusinya sama juga,” pungkas Kresno. 

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan