Saat Belanda kirim pegawai dan buang kaum pergerakan ke Papua
Seperti biasa, sorotan kamera mengabadikan Menteri Sosial Tri Rismaharini atau Risma yang marah-marah. Kali ini, yang disemprot adalah pimpinan dan staf di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna, Kota Bandung, Jawa Barat, yang dikumpulkan di lapangan.
Mulanya, pada Selasa (13/9), Risma mengunjungi BRSPDSN Wyata Guna untuk melihat dapur umum Kementerian Sosial (Kemensos), yang menyiapkan makanan selama penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat Jawa-Bali. Namun, ia geram lantaran dapur umum itu tak siap karena kekurangan peralatan memasak dan personel.
Sikap Risma untuk mendisiplinkan anak buahnya tak salah. Gaya seperti itu sudah ia tunjukan sejak dirinya menjadi Wali Kota Surabaya. Namun, yang menjadi sorotan adalah pernyataannya yang dianggap diskriminatif.
“Saya tidak mau lihat seperti ini lagi. Kalau seperti ini lagi, saya pindahkan semua ke Papua. Saya enggak bisa pecat orang kalau enggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua,” kata Risma bersungut-sungut.
Pada masa kolonial, Belanda pun mengirim pegawai negeri atau ambtenaar ke Papua. Tapi bukan pegawai buangan yang tak bisa kerja apa-apa, melainkan mereka yang terdidik.
Ambtenaar militan di Papua
Belanda menguasai wilayah Papua bagian barat pada akhir abad ke-19, usai perebutan dengan Inggris dan Jerman. Wilayah ini dahulu dikenal sebagai Nederlands Nieuw Guinea atau Nugini Belanda. Besarnya perhatian dari negara Eropa lain, mendorong Belanda memperhatikan wilayah koloninya.
Nugini Belanda dibagi menjadi beberapa afdeeling (setingkat kabupaten) dan onderafdeeling (setingkat kawedanan). Menurut mantan Kepala Onderafdeling Muyu tahun 1950-an, Pim Schoorl dalam buku Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962 (2001) pengingkatan jumlah aparat pemerintahan, baru berlangsung setelah Perang Dunia I.
Schoorl merinci banyaknya pegawai Eropa dan bumiputra yang dipekerjakan di Nugini Belanda pada 1938. Di Afdeeling Nugini Utara, yang terdiri dari Onderafdeeling Manokwari, Sorong, Serui, dan Hollandia ada tujuh pegawai Eropa dan 35 pegawai dari daerah lain.
Di Afdeeling Nugini Barat yang terdiri dari Onderafdeeling Fak-Fak, Inanwatan, Mimika, M. Vogelkop, dan Wisselmeren ada enam pegawai Eropa dan 16 pegawai dari daerah lain. Dan di Afdeeling Tual yang terdiri dari Onderafdeeling Boven Digul dan Marauke ada dua pegawai Eropa dan tiga pegawai dari daerah lain.
Ambtenaar atau pegawai negeri yang dikirim ke Nugini Belanda berasal dari Binnenlands Bestuur (Departemen Dalam Negeri). Mereka bukan orang sembarangan dengan kinerja yang buruk. Mayoritas pegawai yang dikirim sudah menempuh pendidikan Indologi di Universitas Leiden dan Utrecht.
Di samping itu, personel aparat pemerintah kolonial di Nugini Belanda, baik itu aparat kepolisian, awak kapal, maupun kontrolir (kepala onderafdeeling) harus melewati sejumlah persyaratan sebelum dikirim ke daerah koloni.
“Persyaratan yang paling diutamakan selalu orang yang mempunyai pengalaman dalam pekerjaannya dan mengenal wilayah Nugini. Orang yang direkrut juga harus memiliki ambisi dan semangat pengabdian yang tinggi,” tulis Rosmaida Sinaga dalam Masa Kuasa Belanda di Papua, 1898-1962 (2013).
Segala persyaratan tersebut, menurut Rosmaida, bertujuan agar para pegawai yang terpilih bisa melaksanakan tugasnya dengan baik di medan kerja yang berat pada pos-pos pemerintahan yang baru dibuka.
Menurut Schoorl, para ambtenaar Binnenlands Bestuur yang bertugas di Nugini Belanda harus berhubungan dengan masyarakat yang belum mengenal bentuk-bentuk pemerintahan sentralistik.
“Seorang ambtenaar yang datang di daerah ‘baru’, harus membantu membentuk masyarakat ‘modern’, mulai dari tingkat yang sangat sederhana,” tulis Schoorl.
Schoorl menulis, tak ada leha-leha bagi para ambtenaar. Mereka tak punya rumah yang layak untuk dihuni. Mereka harus bekerja dengan sarana yang sangat terbatas. Oleh karenanya, menurut Schoorl, banyak orang menganggap penempatan di Nugini Belanda sebagai pemindahan hukuman.
“Mengherankankah jika Nugini Belanda merupakan daerah terkutuk, jika setiap pegawai berusaha mengelakkan penempatannya di sana atau berusaha sekuat tenaga secepatnya meninggalkannya, dan jika ambisi segelintir pegawai yang ambisius pun segera pudar di suatu kawasan di mana tak pernah tersedia uang untuk melakukan perbaikan sekadarnya,” kata JPK Eechoud yang kemudian menjadi pejabat Gubernur Nugini Papua.
Tak semua pegawai merasa dibuang. Mereka bahkan ada yang berusaha menghasilkan pembangunan dengan mengoptimalkan sarana yang minim.
Schoorl menyebut, seorang ambtenaar, terutama kepala onderafdeeling atau kontrolir yang bertugas di daerah terpencil, harus merangkap banyak tugas. Selain sebagai wakil pemerintah, mereka dapat merangkap pula menjadi kepala polisi, hakim, kepala penjara, kepala jawatan pengairan, koordinator rencana pembangunan daerah, pegawai catatan sipil, hingga pengamat meteorologi.
Oleh karena itu, Rosmaida menulis, seorang kontrolir di Nugini Belanda tak harus orang yang cerdas, tetapi mereka yang punya pengalaman dalam pemerintahan dan punya ambisi besar.
“Kontrolir yang dibutuhkan di Nugini Belanda adalah orang yang dianggap memiliki sifat dan kemampuan sebagai kaum perintis dan mampu mempelajari etnologi penduduk di wilayah kerjanya,” tulis Rosmaida.
Dengan segala pekerjaan yang berat, kata Rosmaida, pemerintah kolonial pun memberikan gaji dan tunjangan yang sesuai dengan mahalnya biaya kebutuhan hidup di Nugini Belanda. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja para pegawai tersebut.
Membuang para “pembangkang”
Cerita pahit pun muncul di tanah Papua masa kolonial. Daerah Onderafdeeling Boven Digul, yang menjadi bagian Afdeeling Zuid Nieuw Guinea atau Nugini Selatan menjadi tempat pengucilan “pemberontak” pemerintah kolonial.
Digul menjadi tempat isolasi yang sempurna. Ada dua kamp di Digul, yakni Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Tanah Merah menjadi pusat pemerintahan dan kamp penampungan utama, dengan lokasi di tengah hutan belantara, dekat perbatasan Papua Nugini dan Australia.
Sedangkan Tanah Tinggi terisolasi lebih jauh dari Tanah Merah. Daerah ini terkenal dengan ganasnya nyamuk malaria, panas, lembap, gersang, dan sangat jarang penduduk. Di sekitar lingkungan interniran ada para pemburu kepala dan kanibal, serta buaya di sungai yang siap menghabisi nyawa siapa pun yang mencoba kabur.
Sejarawan Takashi Shiraishi dalam Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2001) menulis, pendirian kamp pengasingan massal itu diputuskan pada pertemuan luar biasa Raad van Nederlandsch-Indie atau Dewan Hindia Belanda pada 18 November 1926.
Keputusan pendirian kamp pengasingan ini adalah respons dari pemberontakan komunis yang berawal di Jawa Barat pada 12 November 1926. “Rombongan pertama para interniran tiba pada Maret 1927, ada 50 orang,” tulis Takashi.
Jumlah orang yang dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial, lalu diasingkan ke Digul bertambah banyak. Takashi mencatat, pada April 1930, penghuninya mencapai sekitar 2.000 orang.
Menurut Takashi, pada periode 1931-1935 bukan hanya orang-orang PKI dan Sarekat Rakyat (SR) yang diasingkan ke Digul. Sasaran lainnya adalah kaum nasionalis nonkooperatif dan pemimpin organisasi nonkomunis.
Tokoh seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir yang menjadi aktivis Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) ikut ditangkap dan diasingkan ke Digul. Sjahrir tiba di Tanah Merah pada awal Maret 1935, setelah nyaris setahun mendekam di Penjara Cipinang, Batavia.
Sjahrir dalam catatannya yang dibukukan Renungan dan Perjuangan (1990) mengisahkan, Tanah Merah terdiri dari dua daerah yang dipisahkan sebuah parit. Bagian yang satu merupakan wilayah gedung pemerintah, tangsi tentara, penjara, rumah ambtenaar, dan orang lain yang bukan orang buangan.
“Kedua bagian itu dipisahkan dengan sangat ketat, dan penghuni perkampunganyang satu hanya bisa masuk ke perkampungan yang lain dengan seizin kepala pemerintah setempat yang merangkap jadi komandan pendudukan militer,” tulis Sjahrir.
Tokoh pers Mas Marco Kartodikromo termasuk pula yang diasingkan ke Digul karena tulisan-tulisannya dan dianggap terlibat pemberontakan PKI pada 1926. Ia menjadi bagian dari gelombang awal orang buangan.
Menurut Mas Marco dalam catatannya yang dibukukan Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel (2002), ia tiba di Digul pada 21 Juni 1927. Di sana, kata dia, sudah ada 14 barak yang masing-masing panjangnya 30 meter dan lebar 4 meter, beratap daun rumbia dan berdinding perlak.
“Tempat itu amat busuk kelihatannya, dan air muka orang-orang itu pun tampak amat menyedihkan,” tulis Mas Marco.
Menurutnya, interniran mendapat pinjaman dari pemerintah berupa satu kelambu kecil, satu tikar kecil, satu selimut kecil, satu parang tumpul, satu kapak, satu cangkul, dan satu sekop.
“Tiap setengah bulan semua orang menerima ransum 9 kilogram beras, ikan kering, dendeng tengik, garam, gula jawa, kacang ijo, dan teh,” katanya.
Salah satu kerja wajib di kamp, tulis Marco, adalah membabat hutan untuk jalan dan kampung. Pada Februari 1936, Sjahrir dan Hatta dikirim ke tempat pengasingan lainnya, Banda Neira, Maluku.
Menurut Takashi, ketika itu pemerintah membuat kesimpulan kalau Digul tak cocok untuk intelektual berpendidikan universitas. Akan tetapi, nahas bagi Mas Marco. Ia harus kehilangan nyawa di Digul karena malaria pada 18 Maret 1932.
Jika dahulu Belanda mengirim para pegawai terbaiknya dan membuang kaum pergerakan ke Papua, maka pikiran memutasi pegawai kaleng-kaleng ke sana justru mundur ke belakang. Papua butuh kaum terdidik untuk dibangun bersama-sama, bukan mengirim pegawai yang enak-enakan santai di bawah embusan angin sejuk AC ruang kerjanya.