Pemerintah Belanda menolak permohonan visa politisi Partai Demokrat Rachland Nashidik dan keluarga. Padahal kunjungan Rachland dan keluarga hanya untuk menjenguk anak lelakinya yang sedang berkuliah di sana.
"Tak pernah sekalipun dalam dua puluhan tahun terakhir, permohonan visa saya ditolak oleh negara yang pada1994, membuka pintunya lebar-lebar pada saya yang tengah diincar oleh tangan-tangan represi Soeharto," kata dia dilansir dari laman resmi FB-nya.
"Tentu saja, menolak atau menerima permohonan visa adalah hak absolut setiap negara. Tetapi ditolak oleh Belanda? Saya sungguh merasa patah hati," kata dia lagi.
Dia menyebutkan, dari awal dekade 90-an hingga tengah dekade sesudahnya, praktis setiap tahun terbang ke negeri Kincir Angin. Saat itu, aktivis HAM Indonesia rutin melobby sidang tahunan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Geneva, Switzerland. Pintu masuk ke Eropa selalu negeri Belanda. Tidak pernah ada masalah.
"Itulah kenapa saya sangat kaget ketika untuk pertamakali permohonan visa ditolak. Ada apa? Padahal kali ini tujuan saya ke Belanda cuma menjenguk anak-bukan mencari suaka politik, atau kegiatan politik apapun. Cuma mau mengunjungi anak dan berlibur belaka," ucap dia.
Dalam kenangan Rachland, Belanda selalu adalah negara bermusim dingin yang hangat dan bersahabat. Seorang sopir bus keturunan Suriname, yang menyambut setiap penumpangnya dengan ucapan selamat pagi, sesaat sebelum bus kembali bergegas menuju stasiun Almere Centraal.
Dia juga mengingat Jan Pronk, yang saat itu Menteri Perdagangan dan Kerjasama Pembangunan, yang turun tangan membantu diirnya mendapat izin tinggal. Di Belanda pula, pada suatu hari di musim panas, diirnya berketetapan hati akan melamar Ona Kaplale . Perempuan yang tak ragu melepas pekerjaannya yang bagus di Jakarta, hanya untuk mencari kekasihnya, seorang pelarian politik, di Belanda. Belakangan Rachland menikahi Ona di Jakarta pada 20 Desember 1996.
"Di Belanda pula, bertahun-tahun kemudian, mata saya berkaca-kaca, dada saya penuh oleh rasa haru dan bangga, ketika bersama Suciwati Allende Suukyi dan Hendardi menyaksikan peresmian Jalan Munir di Den Haag, 2015. Jalan Munir ini melengkapi Jalan Sjahrir di Leiden, Jalan Hatta di Haarlem, Jalan Kartini di Utrecht, dan Jalan Pattimura di kawasan Wierden," ucap dia.
Mungkin karena memiliki semacam hubungan emosional dengan Belanda, Rachland merasa sangat gembira, ketika tahun ini anak keduanya, selepas SMA memilih berkuliah di Belanda. Meski juga diterima di beberapa Universitas di Inggris. Tahun depan, putri sulung Rachland juga berencana mengambil master hukum di Universitas Leiden. Malah ada kemungkinan anaknya yang ketiga juga memilih berkuliah di Belanda.
"Entahlah. Saat ini saya sungguh merasa patah hati. Bukan cuma sedih karena kemungkinan tak bisa membawa Ona dan anak-anak menjenguk si Abang, anak saya yang kedua, di Belanda. Saya merasa negeri yang biasanya sangat bersahabat itu kini sudah berubah. Cuma berada di dalam kenangan," tutur dia.
Tentu saja, saya akan mengajukan permohonan kedua untuk mendapat visa Belanda. Semoga nanti hasilnya berbeda. Meski sekarang semuanya tak lagi sama," kata dia lagi.