Belit regulasi dalam integrasi BRIN dan lembaga riset
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto mengaku bingung saat membaca isi pasal-pasal dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Tak hanya potensial melemahkan lembaga-lembaga riset yang sudah eksis bertahun-tahun, menurut Mulyanto, mandat peleburan empat lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dengan BRIN dalam Perpres itu juga menghadirkan kekacauan regulasi.
“Saya prihatin dengan gejala ini,” ujar pria yang menyandang gelar doktor ilmu nuklir dari Tokyo Technology of Institute, Jepang, itu saat dihubungi Alinea.id, Minggu (6/6).
Perpres BRIN diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 28 April 2021. Selain mengatur kelembagaan BRIN, Perpres itu juga mengamanatkan pengintegrasian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Tertera pada Pasal 69 ayat (2) Perpres tersebut, LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN bakal berubah menjadi organisasi pelaksana penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (OP litbangjirap atau OPL) di lingkungan BRIN.
Perubahan itu, kata Mulyanto, dikeluhkan sejumlah pegawai LPNK riset yang lembaganya didesain masuk ke BRIN. "Mereka (pegawai LPNK riset) menolak dilebur menjadi sekedar OPL dalam BRIN. Mereka menganggap mengerdilkan kelembagaan iptek. Mereka merasa karier mereka tidak jelas,” ungkap Mulyanto.
Ihwal regulasi yang ditabrak Perpres BRIN, Mulyanto mencontohkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Dua UU itu mengamanatkan pembentukan BATAN dan LAPAN sebagai lembaga yang melaksanakan tugas dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
“Jelas itu menabrak UU terkait pembentukan BATAN dan pembentukan LAPAN karena BATAN dan LAPAN itu bukan sekedar lembaga litbang yang bisa dilebur masuk dalam BRIN. Dia adalah lembaga yang menjalankan fungsi penyelenggaraan ketenaganukliran dan penyelenggaraan keantariksaan,” tegas Mulyanto.
Mulyanto menilai mandat Perpres BRIN juga bertentangan bunyi Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ( UU Sisnas IPTEK). Dalam pasal itu, disebutkan BRIN dibentuk untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Maksud dari 'integrasi' pada pasal itu dijelaskan lebih lanjut dalam diktum pada bab penjelasan.
“Yang dimaksud dengan terintegrasi adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi, dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional,” bunyi penjelasan Pasal 48.
Menurut Mulyanto, bunyi penjelasan pada Pasal 48 UU Sisnas Iptek tegas tidak mengamanatkan peleburan lembaga-lembaga riset. "Yang dimaksud adalah integrasi dari aspek program dan anggaran, bukan peleburan kelembagaan sehingga membubarkan atau meleburkan BPPT, meleburkan lembaga lain juga tidak secara tegas diamanatkan UU itu," imbuh dia.
Pernyatan senada diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi. Menurut Ferdian, peleburan empat LPNK riset yang diatur dalam Perpres BRIN tidak mencerminkan semangat UU Sisnas IPTEK.
Secara khusus, Ferdian menyoroti konflik antara substansi Pasal 70 ayat (1) Perpres BRIN dengan substansi Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 66 UU Sisnas Iptek. Pasal 70 ayat (1) Perpres BRIN memberikan wewenang kepada BRIN untuk mengalihkan anggaran, sumber daya manusia (SDM), serta sarana dan prasarana empat LPNK riset.
Di sisi lain, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 66 UU Sisnas Iptek menyiratkan kemandirian lembaga litbangjirap. Pada Pasal 49 beleid itu, diterangkan bahwa yang termasuk sumber daya iptek adalah sumber daya manusia, pendanaan, serta sarana dan prasarana iptek.
Pada Pasal 50 ayat (1) UU Sisnas Iptek dijelaskan bahwa SDM iptek terdiri dari peneliti, perekayasa, dosen, dan SDM iptek lainnya. Sedangkan Pasal 66 beleid itu secara umum menjabarkan kewenangan lembaga litbangjirap untuk mengelola sumber daya iptek.
“Bila dilihat, empat LPNK riset yang dilebur ke dalam BRIN seperti LIPI, BATAN, LAPAN, dan BPPT merupakan lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan,” ujar Ferdian kepada Alinea.id, Rabu (9/6).
Mandat integrasi dalam Pepres BRIN, kata Ferdian, juga tidak sejalan dengan semangat kemandirian lembaga riset yang tertera dalam sejumlah pasal di UU Sisnas Iptek. Pada Pasal 72 ayat (1), misalnya, lembaga iptek diberikan mandat untuk membangun kerja sama kemitraan untuk mengembangkan jaringan iptek.
Pasal 73 ayat (2) memberi kewenangan kepada lembaga iptek untuk mengelola hasil invensi dan inovasi. Sedangkan Pasal 74 ayat (3) memberikan kewenangan kelembagaan iptek dapat membentuk unit pengelolaan kekayaan intelektual (KI).
"Tujuannya untuk meningkatkan pengelolaan KI. Dengan demikian, kelembagaan iptek mempunyai otoritas penuh dalam mengelola KI," jelas pengajar di Universitas Bhayangkara tersebut.
Peleburan berisiko
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai penggabungan empat LPNK riset ke dalam BRIN keliru. Kesimpulan itu ia peroleh setelah sempat mengkaji sejumlah regulasi yang mengatur hubungan lembaga litbangjirap dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pada Januari 2021.
Menggunakan perspektif yuridis-normatif dan pendekatan kualitatif, hasil kajian itu dimaksudkan sebagai salah satu masukan kepada pemangku kepentingan dalam proses penyempurnaan kelembagaan BRIN saat masih melekat pada Kemenristek atau sebelum ditetapkan sebagai lembaga otonom lewat Pepres BRIN.
Dijelaskan Fajri, kajian itu digarap enam peneliti PSHK dengan mendalami sejumlah regulasi, semisal UU Sisnas IPTEK, Perpres Nomor 74 Tahun 2019 juncto Perpres Nomor 95 Tahun 2019 tentang BRIN, serta peraturan yang mendasari pembentukan lembaga LIPI, LAPAN, BATAN, dan BPPT.
Dari hasil analisis, PSHK menyimpulkan ada tiga kelembagaan besar diamanahkan dalam UU Sisnas Iptek. Pertama, kelompok kelembagaan IPTEK yang tertulis pada UU Sisnas Iptek, yakni lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pengkajian dan penerapan, perguruan tinggi, badan usaha, serta lembaga penunjang.
Kedua, kelembagaan riset yang masuk dalam pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketiga, kelembagaan BRIN. Tiga kelompok kelembagaan yang dipetakan itu, kata Fajri, memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.
“Itu menunjukan bahwa Undang-Undang (Sisnas IPTEK) ini sebenarnya tidak mengharapkan ketiga kelompok ini digabungkan. Langkah keliru, menurut saya, menggabungkan antara dua kelompok ini,” ujar Fajri saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (9/6).
Fajri menilai peleburan LPNK riset ke dalam BRIN menyalahi teori organisasi dan potensial melahirkan persoalan tata kelola. Menurut dia, seharusnya lembaga-lembaga yang punya tupoksi berbeda dibiarkan untuk saling mengimbangi, saling mengawasi, dan saling memberi masukan.
“Saya analogikan wasit di pertandingan sepak bola. Jadi dia (BRIN) wasit yang regulator, dia yang ngatur, dia yang memastikan fairness penggunaan anggaran. Tetapi, dia juga yang main bola. Jadinya, enggak mungkin fair. Enggak mungkin terjadi keadilan dan rawan monopoli," jelas Fajri.
Peneliti senior LIPI Siti Zuhro berpendapat rencana peleburan lembaga riset berisiko membuat BRIN "jalan di tempat". Pasalnya, penataan nomenklatur, pengalihan aset, dan SDM bakal membutuhkan waktu yang lama serta potensial menghadirkan beragam persoalan yang membebani kinerja BRIN.
"Bisa jadi akan membuat BRIN tidak efektif. Dalam situasi pandemi Covid-19 dan dampak-dampaknya yang sangat luas terhadap kehidupan sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya dan hukum, berfungsinya institusi menjadi suatu keniscayaan,” tutur Siti kepada Alinea.id, Rabu (9/6).
Siti berharap kemandirian lembaga riset dipertahankan dan BRIN difungsikan sebagai koordinator perencanaan dan pembiayaan program penelitian. BRIN juga bisa berfungsi sebagai lembaga penghubung dalam model tripple-helix antara pemerintah, industri dan peneliti atau dalam model penta-helix antara pemerintah, industri, peneliti, lembaga swadaya masyarakat dan media.
“Pendidikan tinggi, riset dan inovasi perlu dikelola secara efektif dan tepat. Birokratisasi penelitian harus dieliminasi. BRIN mengoordinasi dan memfasilitasi riset dan inovasi di pendidikan tinggi agar menjadi produk komersial yang bermanfaat untuk meningkatkan daya saing bangsa," jelasnya.
Dalih pemerintah
Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Agung Hardjono menampik anggapan Perpres melabrak sejumlah undang-undang. Menurut dia, pemerintah telah mengkaji secara mendalam payung hukum pendirian BRIN guna menghindari konflik antar regulasi.
Sejak Perpres BRIN diterbitkan, Agung mengatakan, pemerintah telah menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) yang potensial lahir. Agung mengaku tak ingat apa saja DIM yang ditemukan. Namun, ia meyakini tak ada konflik antar regulasi yang masuk dalam DIM.
“Banyak sih (DIM Perpres BRIN). Ada beberapa list-nya. Saya enggak hafal isi satu-satunya. Mungkin Setneg (Sekretariat Negara)-lah yang lebih memahami. Memang banyak sekali,” ujar Agung saat dihubungi Alinea.id, Senin (7/6).
Agung optimistis isi Perpres BRIN telah sejalan dengan UU Sisnas Iptek dan UU lainnya karena penyusunannya melibatkan Setneg serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil pembahasan draf Perpres BRIN itu pun diverifikasi secara berlapis.
“Mereka ngecek lagi. Kalau dilihat dari prosesnya, ini cukup rigid, ya. Ini sih sudah sesuai dengan apa yang menjadi concern (perhatian) para pihak karena di dalam proses konsolidasi di Setneg sendiri juga mengundang perwakilan dari semua kementerian dan lembaga tadi," terang Agung.
Terkait proses integrasi, Agung mengungkapkan, saat ini sebanyak 90% aparatur sipil negara (ASN) Kemenristek tengah diproyeksikan untuk dialihkan ke BRIN. Meskipun personelnya bakal gemuk jika semua ASN di lembaga riset bergabung di BRIN, Agung meyakini itu tidak akan menimbulkan persoalan.
"Lambat laun jumlah pegawai di BRIN akan berkurang seiring adanya ASN yang sudah masuk masa purna tugas. Untuk kelembagaannya juga seperti itu kan. Tidak ada lembaga yang permanen dari waktu ke waktu. Pasti akan ada penyisihan dan sebagainya,” ujar Agung.
Lebih jauh, Agung memperkirakan proses integrasi bakal rampung dalam setahun hingga dua tahun. Jika struktur dan sistem kelembagaannya terbentuk setelah proses integrasi, ia meyakini lembaga yang dinakhodai Laksana Tri Handoko itu bisa mengakselerasi progam-program kerjanya dengan cepat dan efektif.
"Ya, (dengan durasi) waktu itu penggabungan di lembaga ini kan sudah cukup lama, ya. Tetapi, semoga dengan pengalaman yang ada itu, bisa dipercepat lagi, ya,” ujar mantan Ketua Pusat Informasi dan Teknologi Terapan Pengelolaan Keuangan (Pusintek) itu.
Dihubungi Alinea.id, Senin (7/6) lalu, Sekretaris Utama BRIN Mego Pinandito irit bicara. Saat ditanya soal potensi konflik antara regulasi, Mego hanya mengatakan BRIN masih fokus mengonsolidasi tata kelola lembaganya.
“BRIN saat ini masih terus berproses dan belum selesai. Semoga bisa berjalan dengan cepat dan lancar sesuai tahapannya. Terima kasih. Salam sehat selalu,” kata Mego.