Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 dikeluarkan pada 30 Desember 2002 dan ditandatangani oleh Presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri. Inpres ini merupakan pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menuntaskan kewajiban atau tindakan hukum kepada debitur yang mangkir dari kewajiban.
“SKL (Surat Keterangan Lunas) sangat berbahaya dan akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Akan mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar," demikian pernyataan Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Ada benarnya, pernyataan pria kelahiran Pati tahun 1935 itu saat bersaksi untuk terdakwa eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, 5 Juli 2018. Terbukti, belasan tahun sudah kasus megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tak kunjung menemui titik terang.
Jika ditelisik lebih jauh, penerbitan SKL yang menguntungkan para obligor penerima BLBI itu bukan tanpa dasar. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 lah dalih para obligor yang terindikasi terlibat praktik rasuah terkesan seperti kebal hukum.
Bagaimana tidak, Inpres itu berisi mengenai pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan oleh Presiden ke-5 Republik Indonesia, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau yang lebih dikenal Megawati Soekarnoputri.
Asal mula Inpres
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu bukan tanpa alasan untuk meneken Inpres tersebut. Ketetapan (TAP) MPR RI Nomor IV/MPR/1999 yang ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 lah dasar pijak Megawati untuk mengesahkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002.
Dalam kesaksiannya di persidangan untuk terpidana Syafruddin Arsyad Temenggung, Kwik Kian Gie menyebut ada tiga kali rapat untuk membahas Inpres yang berujung terbitnya SKL untuk para obligor. Saat itu, Kwik menentang rencana pengesahan Inpres tersebut.
Rapat pertama dilakukan di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Pada rapat itu turut dihadiri oleh Menteri Koordinator Perekonomian Dorojatun Kuntjoro Jakti, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi dan Jaksa Agung MA Rahman. Dalam rapat itu dibahas rencana menerbitkan SKL untuk para obligor yang dianggap kooperatif.
Rapat kedua dan ketiga berlangsung di Istana Negara. Pada rapat ketiga membahas mengenai penerbitan SKL BLBI. Kwik, yang turut serta ikut dalam rapat tersebut menentang penerbitan SKL. Namun usahanya kandas, Megawati selaku Presiden saat itu memutuskan untuk mengeluarkan SKL bagi para obligor yang dianggap kooperatif.
Buntut masalah
Jika dilihat, poin pertama dalam Inpres tersebut menyebutkan bahwa obligor yang kooperatif dan telah melunasi utang dengan mekanisme MSAA, MENIA, atau Akta Pengakuan Utang (APU), dapat menerima SKL yang dikeluarkan oleh BPPN dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum obligor. Hal itu diduga menjadi penyebab, para obligor merasa telah menjalankan kewajibannya dengan membayar utang ke pemerintah, termasuk dengan konglomerat Sjamsul Nursalim.
Sjamsul Nursalim tercatat sebagai obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Kewajiban taipan terkaya urutan ke-26 versi Majalah Forbes pada tahun lalu yang harus dibayar kepada pemerintah berjumlah Rp47,258 triliun.
Namun, dalam mekanisme MSAA yang disepakati oleh Sjamsul dan pemerintah pada 21 September 1998, Sjamsul menganggap telah melunasi kewajibannya dengan hanya membayar Rp28,408 triliun. Kewajiban itu, disepakati Sjamsul untuk menyelesaikan utangnya dengan cara membayar uang tunai sebesar Rp1 triliun, dan sisanya penyerahan aset.
Meski demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi SKL BLBI.
Tetapi, taipan Sjamsul tak tinggal diam, melalui penasihat hukumnya, Otto Hasibuan menyayangkan penetapan tersangka terhadap kliennya. Otto menganggap penetapan tersangka terhadap kliennya bertentangan dengan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia dengan Sjamsul sebagaimana tertuang dalam perjanjian MSAA tanggal 21 September 1998 itu.
Otto berdalih, kliennya tidak bisa diperkarakan oleh KPK lantaran terdapat Inpres Nomor 8 Tahun 2002. Pada poin empat, secara gamblang menyebutkan bahwa dalam memberi kepastian hukum pada para obligor yang telah melunasi utang, pemerintah membebaskan obligor dari aspek pidana terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), baik tahap penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan oleh instansi penegak hukum.
Artinya, Inpres tersebut telah menegaskan pemberian payung hukum kepada para obligor yang terindikasi terlibat kasus korupsi terkait terbitnya SKL BLBI.
Jadi, dapat diamini pernyataan Kwik ihwal terbitnya SKL akan semakin kusut kasus megakorupsi BLBI. Di mana, penerbitan SKL itu bermuara pada Inpers Nomor 8 Tahun 2002, yang disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Berikut dokumen Inpers Nomor 8 Tahun 2002: