Mengurai benang kusut penjemputan paksa jenazah PDP Covid-19
Ruang perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuang Baji, Sulawesi Selatan, tiba-tiba gempar, Jumat (5/6). Sekitar seratus orang menggeruduk rumah sakit itu. Tujuan mereka ialah mengangkut pulang jenazah Muhammad Yunus, seorang pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19.
"Jumlah massa 100 orang. Sebanyak 40 orang masuk ke dalam kamar jenazah, sedangkan yang lainnya menunggu di luar gedung," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulsel, Kombes Ibrahim Tompo saat mengisahkan penjemputan paksa jenazah Yunus kepada Alinea.id, Selasa (23/6).
Yunus tiba dalam kondisi sakit keras di RSUD Labuang Baji sehari sebelum peristiwa penggerudukan tersebut. Sempat dirawat selama beberapa jam, dokter RSUD Labuang Baji menyatakan Yunus meninggal karena diduga terjangkit virus Covid-19.
Kabar kematian Yunus itu sampai kepada keluarga dan tetangga. Warga yang mengenal Yunus sebagai seorang imam masjid dan figur publik di kampung, menurut Tompo, tak rela jika Yunus dikuburkan sesuai protokol kesehatan Covid-19. "Mereka menduga almarhum tidak sakit Covid-19," jelas dia.
Disambangi ratusan warga yang "beringas", pihak rumah sakit dan aparat keamanan yang berjaga tak bisa berbuat banyak. Jenazah Yunus pun berhasil direbut keluarga. Warga bahkan sempat menggondol sebuah cool box milik rumah sakit. "Yang bersangkutan mengira barang tersebut adalah milik almarhum," ujar Tompo.
Ini bukan kali pertama penjemputan paksa jenazah PDP Covid-19 terjadi di Makassar. Dua hari setelah penggerudukan RSUD Labuang Baji, penjemputan paksa jenazah PDP Covid-19 juga terjadi di RS Stella Maris. Kasus serupa juga berulang di RS Dadi Makassar pada 3 Juni dan 10 Juni 2020.
Menurut Tompo, peristiwa serupa kerap terjadi karena dipicu ketidakpercayaan warga terhadap rumah sakit. "Ada ketidakpuasan masyarakat terkait dengan adanya beberapa warga dirawat di rumah sakit. Awalnya kecelakaan, terus sakit yang lain, kemudian dirawat ada vonis yang bersangkutan PDP Covid. Terbentuk akhirnya, 'Kenapa kok sakit tulang, sakit yang lain, malah divonis PDP?'" tutur Tompo.
Meski begitu, Tompo mengatakan, penjemputan paksa tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, pihak rumah sakit telah menyatakan jika penanganan pasien sudah sesuai dengan standar protokol kesehatan penanganan Covid-19.
"Mereka merasa apa yang mereka lakukan itu, mengambil jenazah bukan Covid-19. Jadi, pikirannya sangat natural, bahwa itu bukan Covid-19. Tapi, ini kan bertentangan dengan hasil diagnosis dari rumah sakit. Hasil diagnosis tersebut didasarkan pemeriksaan-pemeriksaan yang kompeten. Nah, ini yang jadi bertentangan," kata Tompo.
Selain di beberapa kota di Sulawesi Selatan, kasus-kasus penjemputan paksa juga tercatat terjadi di Surabaya, Jawa Timur, dan Bekasi, Jawa Barat. Khusus untuk kasus Jatim, sejumlah keluarga yang ikut menjemput jenazah kini bahkan tercatat reaktif Covid-19.
Aksi jemput paksa ini umumnya terjadi karena keluarga tidak terima perihal status pasien yang dikeluarkan pihak rumah sakit setempat. Keluarga ingin pemulasaran jenazah dilakukan sesuai keyakinan korban tanpa harus mengikuti protokol penanganan jenazah Covid-19.
Hal itu setidaknya diakui Rinan, warga Desa Srimukti, Kampung Gabus Dukuh, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Rinan merupakan salah satu penjemput jenazah seorang PDP Covid-19 di RS Mekar Sari, Bekasi, beberapa waktu lalu.
"Hari pertama hasil uji lab negatif Covid-19. Itu kan sudah dicek di laboratorium. Nah, pertanyaannya kenapa pas pasien meninggal dunia dikabarkan kena Corona. Ada apa dengan RS Mekar Sari?" kata dia,
Kejanggalan itulah yang membuat warga Desa Srimukti dan keluarga pasien sepakat untuk membawa pulang jenazah. "Keluarga almarhum dan masyarakat akhirnya kompak bawa pulang jenazah walaupun tidak boleh," kata dia.
Antara sanksi tegas dan sosialisasi masif
Ketidakpercayaan warga juga dipicu berkembangnya rumor komersialisasi tes Covid-19 di tengah masyarakat. Dalam bergam sosialisasi penanganan jenazah Covid-19, banyak ditemukan warga yang percaya bahwa ada "permainan" dalam penetapan PDP Covid-19.
"Ada yang tidak sependapat saat diberikan pemahaman. Bahkan, banyak yang berpikiran ini seperti dipermainkan. Ada yang bilang dibisniskan, kongkalingkong pemerintah dan tenaga kesehatan," kata Brigadir Kepala (Bripka) Abdul Rahman kepada Alinea.id.
Rahman merupakan salah satu personel Polri yang ditugaskan menjaga RS Sayang Bunda Sulsel. Selain memastikan penjemputan paksa pasien PDP Covid-19 tidak terjadi, Rahman juga sehari-hari ikut menyosialisasikan bahaya Covid-19 kepada masyarakat.
Meskipun memaklumi beragam alasan warga dalam penjemputan paksa Covid-19, Polri tetap bertindak tegas dalam menyikapi peristiwa tersebut. Pada kasus penjemputan paksa jenazah di empat rumah sakit di Makassar, misalnya, Polda Sulsel sudah menangkap 31 orang yang diduga terlibat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, penyidik kemudian menetapkan 12 orang sebagai tersangka. Tompo mengatakan, para tersangka merupakan anggota keluarga dan tetangga dari pasien yang meninggal.
"Peran mereka macam-macam. Ada yang bawa mobil, ada yang provokasi massa untuk sama-sama ambil jenazah dan ada yang ikut-ikutan membawa keranda," ujar dia.
Menurut Tompo, penetapan 12 tersangka ini bertujuan untuk memberi efek jera dan mengedukasi publik akan bahaya Covid-19. Jika penegakan hukum tidak tegas, Tompo khawatir kasus-kasus serupa bakal terus terjadi di berbagai rumah sakit rujukan.
"Ini bukan semata-mata memberi sanksi kepada mereka yang berbuat. Akan tetapi, kita lebih condong untuk melihat efek dari penegakan hukum ini untuk melindungi masyarakat yang lebih luas. Daripada mereka kena penyebaran penyakit kan?" ujar dia.
Selain sanksi yang tegas, Tompo mengatakan, upaya-upaya preventif juga terus digalakkan sejalan dengan terbitnya surat telegram rahasia Kapolri bernomor ST/1618/VI/Ops.2/2020. Dalam surat itu, tertuang instruksi agar semua kepala satuan wilayah berkoordinasi dengan pihak rumah sakit untuk memastikan status pasien yang meninggal serta memprioritaskan ODP dan PDP menjalani tes swab.
"Upaya preventif dan sosialisai tetap kita dengungkan, termasuk kerja sama dengan tim medis dan edukasi, baik itu lewat medsos (media sosial) maupun media (massa)," jelas Tompo.
Dalam kasus-kasus tertentu, personel Polri juga diposisikan untuk menjadi penengah antara pihak rumah sakit dan keluarga. Di RS Wahidin Sulsel, misalnya, personel Polri yang berjaga di sana harus turun tangan untuk mencegah penjemputan paksa PDP Covid-19.
"Akhirnya, kami terus memberikan pemahaman dan menengahi keluarga dengan rumah sakit. Untungnya, para keluarga bisa memahami dan hasilnya memang positif Covid-19," kata Briptu Muh. Aspar, salah satu personel Polri yang ditugaskan berjaga di RS Wahidin Sulsel, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (23/6).
Perkuat koordinasi, kedepankan dialog
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kuntjoro Adi Purjanto menilai maraknya kasus pengambilan jenazah pasien Covid-19 tak lepas dari masih minimnya pemahaman masyarakat akan bahaya penularan Covid-19 melalui jenazah.
"Jadi, memang menurut saya perlu komunikasi, sosialisasi yang lebih intens lagi. Di level itu (komunikasi), diperlukan bahasa, cara dan selalu diingatkan terus-menerus begitu. Kalau enggak, potensi penularan sangat tinggi," kata Kuntjoro kepada Alinea.id melalui sambungan telepon di Jakarta, Selasa (23/6).
Ia meyakini seluruh rumah sakit rujukan pasien Covid-19 di Indonesia sudah rutin menyosialisasikan protokol kesehatan, termasuk yang terkait penanganan jenazah Covid-19. Ditanya terkait dugaan komersialisasi, Kuntjoro tak mau berspekulasi.
"Kami tidak mau terjebak dalam satu opini yang sebenarnya tidak begitu kan. Nah, kalau ada, ya di mana, siapa (pelaku), dan bagaimana (menjualnya). Nanti kita lihat. Coba klarifikasi kepada dinkes kabupaten/kotanya yang bertanggung jawab. Nanti bisa ke mana-mana," katanya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai kasus penjemputan jenazah secara paksa tak lepas dari kurangnya koordinasi pemerintah dan masyarakat serta minimnya sosialisasi.
"Menurut saya, itu (koordinasi) harusnya dilakukan oleh daerah. Pemda bekerja sama dengan dinas kesehatan untuk kemudian menginformasikan kepada RT/RW dan kelurahan. Jadi, (berikan penjelasan) jika jenazah Covid itu menularkan. Itu berbahaya," kata Trubus.
Menurut Trubus, kasus penjemputan paksa jenazah seharusnya tidak terjadi apabila masyarakat memiliki pemahaman yang cukup terkait penyebaran Covid-19. Dia menyarankan agar pemerintah dan kepolisian mengedepankan dialog sehingga tidak timbul konflik.
"Enggak perlu sampai ke proses hukum. Cukup diselesaikan secara musyawarah kalau hanya kesalahpahaman. Tapi kalau sifatnya memaksa sekali, (misalnya), sampai berantem dengan rumah sakit, itu berbaahaya bagi orang lain. Perlu ada penindakan seperti yang di Semarang itu. Jadi, dilihat kasus per kasusnya," ujar dia.