close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pusat vs Pemprov DKI terkait Covid-19. Alinea.id/Firgiawan.
icon caption
Ilustrasi pusat vs Pemprov DKI terkait Covid-19. Alinea.id/Firgiawan.
Nasional
Sabtu, 26 September 2020 16:53

Berantakan penanganan Covid-19: Silang perspektif pusat dan Pemprov DKI

PSBB diterapkan kembali di Jakarta. Namun, terjadi silang pendapat dari pemerintah pusat.
swipe

Dalam konferensi pers secara daring dari Balai Kota DKI Jakarta pada Rabu (9/9), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan, Jakarta akan kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seperti masa awal pandemi Covid-19.

“Bukan PSBB transisi, tapi PSBB sebagai mana masa dulu. Ini rem darurat yang kita tarik,” kata Anies.

Anies berpandangan, kasus Covid-19 di Ibu Kota sudah masuk kondisi darurat. Pandangannya itu berpijak dari angka kematian, ketersediaan tempat tidur isolasi, dan daya tampung intensive care unit (ICU) khusus Covid-19.

Ia mengungkapkan, jika situasi tak lebih baik dan angka kasus makin banyak, maka pada pertengahan September 2020 ruang ICU dan tempat tidur di kamar isolasi akan penuh. PSBB jilid 2 pun diterapkan pada 14 Setember 2020. Lalu, diperpanjang kembali hingga 11 Oktober 2020.

Pada 12 hari pertama bulan September, dari data situs web corona.jakarta.go.id tercatat, ada penambahan 3.864 kasus positif Covid-19 di Jakarta. Pada periode PSBB jilid 2, 14 hingga 24 September 2020, penambahan kasus sebanyak 1.453.

Beda pendapat dan klaster kementerian

Ketika diputuskan PSBB berlaku kembali di Jakarta, beberapa menteri di Kabinet Indonesia Maju bereaksi. Reaksi Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian sekaligus Ketua Tim Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN) Airlangga Hartarto paling menjadi sorotan.

Dikutip dari Antara, Kamis (10/9), Airlangga menilai, keputusan Anies mencabut PSBB transisi membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) merosot tajam. Airlangga juga menyentil Anies terkait fasilitas kesehatan.

“Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada kapasitas kesehatan yang terbatas karena pemerintah mempunyai dana yang cukup,” kata Airlangga seperti dikutip dari Antara, Kamis (10/9).

Ia menuturkan, akan dilakukan peningkatan fasilitas kesehatan, termasuk memanfaatkan hotel bintang dua dan tiga, serta menambah ruang isolasi mandiri di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Dalam kesempatan berbeda, juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, Pemprov DKI Jakarta terlambat menerapkan kebijakan PSBB jilid 2.

“Kalau seminggu sudah ketahuan merah (peningkatan kasus), segera rem. Membaca data kasus itu penting untuk menentukan strategi. Bila sudah kembali membaik, gas lagi,” ujar Wiku dalam diskusi daring bertajuk “Arah Kebijakan Pemerintah: Keseimbangan antara Kesehatan dan Ekonomi”, Rabu (23/9).

Presiden Jokowi berbincang dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seusai meninjau kesiapan penerapan prosedur standar New Normal, di Stasiun MRT Bundaraan HI Jakarta, Selasa (26/5)/Foto Antara/Sigid Kurniawan.

Silang pendapat antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, ketika kasus Covid-19 mulai ditemukan pada Maret 2020, terjadi ketidakcocokan data kasus di situs web milik Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Lalu, pada Mei 2020, berantakannya pengelolaan bantuan sosial (bansos) Pemprov DKI Jakarta pun disindir tiga menteri, yakni Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, dan Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy.

Perihal banyaknya kasus Covid-19 di kantor kementerian di Jakarta, Wiku pun pernah menampiknya. “Itu situs siapa? Bagaimana validitas datanya?” ujar Wiku saat dihubungi, Jumat (18/9).

Padahal, berdasarkan data dari situs web corona.jakarta.go.id per 18 September 2020 ada 27 kantor kementerian di Jakarta yang terpapar Covid-19. Total ditemukan 1.223 kasus.

Kantor Kemenkes menjadi penyumbang kasus Covid-19 paling banyak, yakni 252 orang yang terinfeksi. Jumlah tersebut belum ditambah 50 orang di kantor Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes.

Klaster perkantoran di Jakarta memang menjadi penyumbang kasus positif Covid-19 paling banyak. Data corona.jakarta.go.id mencatat, per 18 September 2020, lima kasus Covid-19 paling tinggi di Jakarta disumbang dari klaster perkantoran.

Selain Kemenkes yang menyumbang 252 kasus, ada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan 175 kasus, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 106 kasus, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Pusat 89 kasus, dan Kantor Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Tanjung Priok 88 kasus.

Dalam konferensi pers secara virtual dari Balai Kota DKI Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, berdasarkan fakta kasus positif di perkantoran kementerian dan lembaga, Pemprov DKI Jakarta memutuskan penambahan aturan berupa penutupan di seluruh area kantor yang terdapat kasus positif Covid-19.

“Tidak diperkenankan lagi kantor dibuka apabila ditemukan kasus positif,” kata Riza, Rabu (23/9).

Riza mengatakan, keputusan penutupan gedung saat ada pekerja terjangkit Covid-19 sudah diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2020. Ia menyebutkan, Pemprov DKI Jakarta akan mengawasi kepatuhan pengelola dan aktivitas perkantoran selama PSBB.

Sementara itu, Kepada Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Pemprov DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan, hingga Rabu (23/9) sudah ada 130 kantor yang dilakukan sidak. Sebanyak 10 kantor ditutup.

“Kami berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes). Ada beberapa perusahaan melapor langsung ke Dinkes. Lalu, pihak kami langsung datang ke kantor tersebut,” ucap Andri saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (23/9).

Melalui langkah pengawasan atau sidak itu, kata Andri, pihaknya memastikan apakah protokol kesehatan dan penanganan bagi karyawan yang terjangkit Covid-19 sudah diterapkan dengan benar.

“Sejauh ini baru enam perusahaan dengan pekerja positif Covid-19. Empat perusahaan lain melanggar protokol kesehatan. Bisa jadi terus bertambah, makanya kami awasi sekaligus sebagai penegasan dan pencegahan,” ujarnya.

Menanggapi klaster kantor kementerian, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Ivanovich Agusta mengatakan, kementeriannya sudah melakukan antisipasi. Salah satunya dengan menerapkan pemberlakuan sistem kerja.

Sistem kerja tersebut mengacu Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru.

“Secara aturan untuk internal Kemendesa PDTT wilayah Jakarta sistemnya WFH (work from home). Sedangkan untuk balai pelatihan di daerah tergantung kondisi kabupaten atau kota setempat,” ujar Ivanovich saat dihubungi, Kamis (24/9).

Ivanovich menjelaskan, di kementeriannya berlaku kebijakan kerja dari rumah dan sebagian di kantor. Ia merinci, bekerja dari kantor diterapkan untuk pejabat eselon II, III, IV, pejabat fungsional utama, dan pegawai pemerintah nonpegawai negeri yang bekerja di Jakarta. Sementara pejabat eselon I serta tim transisi perubahan organisasi dan tata kerja Kemendesa PDTT menerapkan WFH.

“Sewaktu-waktu bisa diberlakukan WFH di divisi yang lain kalau kasus penularan meningkat,” tuturnya.

 Presiden Joko Widodo (keenam kanan) memimpin rapat kabinet terbatas (Ratas) di Istana Merdeka, Jakarta./Foto Antara.

Harus satu komando

Terkait penanganan Covid-19, Wiku menegaskan, hal itu tak bisa lagi hanya bergantung pada pemerintah pusat. Faktor kepemimpinan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, kata dia, sangat diperlukan.

Ia mengusulkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersinergi dengan Kemenko bidang Perekonomian dan Kemenkes untuk membina pejabat, agar berwawasan lebih luas di bidang kesehatan masyarakat sekaligus ekonomi.

“Sayangnya perhatian atas kedua hal ini masih terpisah. Jembatannya perlu ada, pemimpin di daerah harus bisa memainkan orkestrasi itu agar tercipta kesatuan,” katanya.

Di sisi lain, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati memandang, ada dua persoalan yang menjadi simpul masalah dalam penanganan pandemi di Jakarta.

Pertama, pemerintah pusat dan Pemprov DKI memiliki perspektif berbeda dalam penanganan dan konteks penyelesaian masalah. Kedua, ada arogansi struktural antara pusat dan Pemprov DKI Jakarta.

“Pemerintah pusat merasa punya kewenangan penuh atas DKI Jakarta, sedangkan pemprov merasa teritorial Istana Negara ada dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta,” kata Wasisto saat dihubungi, Jumat (25/9).

Akibatnya, kata dia, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta menerapkan kebijakan yang kerap berbenturan satu sama lain. Menurut Wasisto, Pemprov DKI Jakarta lebih memperhatikan keselamatan jiwa warga, sementara pemerintah pusat mementingkan ekonomi pascapandemi.

Ia mengatakan, kepentingan ekonomi menjadi kerangka umum negara dalam menangani Covid-19 dan dampaknya. Menurut dia, kondisi ekonomi negara yang kolaps akan berdampak luas.

“Ini dapat menimbulkan kondisi gawat dan kerusuhan sosial. Apalagi di Indonesia lebih banyak orang bergantung pada sektor ekonomi informal daripada formal,” tuturnya.

Menurut dia, adanya kesepakatan antara Pemprov DKI dan pemerintah pusat, yang diwakili Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, baru sebatas keputusan yang didasari negosiasi untuk kepentingan penanganan sementara.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo menunjuk Luhut untuk menangani Covid-19 di sembilan provinsi kritis. Selain Jakarta, Luhut turun tangan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Papua, dan Bali.

“Kalau angka-angka kasus positif ini terus meningkat dan itu semakin meluas, maka dikhawatirkan akan membuat publik menyangsikan peran negara,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai, Satgas Penanganan Covid-19 gagal karena kurang tepat menangani persoalan pandemi.

Dari upaya pengawasan (surveillance), yang mencakup testing (pengujian), tracking (pelacakan), dan treatment (pengobatan), kata Pandu, seharusnya menjadi tanggung jawab dan bisa dijalankan dengan baik oleh Kemenkes.

Infografik silang pendapat pusat dan Pemprov DKI. Alinea.id/Firgiawan.

“Respons pandemi ini sudah salah strategi karena dijalankan oleh pihak yang tidak sesuai keahliannya. Gugus tugas (Satgas Penanganan Covid-19) hanya bicara saja,” kata Pandu saat dihubungi, Kamis (24/9).

Ia menyayangkan, urusan epidemiologi yang seharusnya menjadi kewenangan Kemenkes, malah dilimpahkan kepada Satgas Penanganan Covid-19 yang bersifat ad hoc. Ia menyarankan, pemerintah harus segera mengambil alih langsung penanganan pandemi, agar lebih membuahkan hasil.

“Tidak perlu membikin task force (gugus tugas), tidak perlu menunjuk orang. Karena pandemi ini kan panjang, dan harus diselesaikan secara sistematik, dengan perencanaan yang serius,” ucapnya.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan