Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis terdapat 65.733 unit rumah yang rusak akibat gempa 7,4 skala richter dan tsunami yang menerjang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Daerah yang terdampak Likuifaksi (tanah amblas) seperti di Petobo dan Jono Oge rencananya akan direlokasi.
Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan, daerah tersebut sudah tak aman lagi untuk dijadikan permukiman penduduk. Sebab, wilayah tersebut merupakan daerah rawan bencana likuifaksi.
Untuk itu, BNPB berserta lembaga terkait merencenakan untuk membuat hunian sementara (Huntara) bagi para korban bencana di Palu dan sekitarnya.
"Untuk Huntara kami sudah merencanakan, relokasi sudah pasti. Tidak mungkin membangun kembali daerah-daerah yang terkena likuifaksi seperti Petobo. oleh karena itu, jawabannya adalah relokasi," paparnya di Gedung BNPB, Rawamangun, Jakarta, Senin (8/10).
William menyatakan, pihaknya telah menyiapkan desain dan master plan untuk Huntara. Saat ini, prosesnya hanya tinggal menentukan daerahnya saja di mana Huntara akan dibangun.
"Kalau sudah ada tempatnya untuk membangun Huntara tersebut, diperlukan waktu kurang lebih dua bulan," sambungnya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, nantinya pembangunan Huntara tersebut akan di kerja samakan antara pihak pemerintah dan swasta. Termasuk di dalamnya ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
"Pendanaan Huntara ada yang dari pemerintah, dunia, usaha dan non-government organization (NGO). BNPB akan mengkoordinasikan hal itu. Nanti ini kita tawarkan Huntara ini pada mereka," imbuhnya.
Proses likuifaksi tanah di Kota Palu hasil rekaman citra Satelit WorldView resolusi pixel 0.5 meter. Rumah dan bangunan terseret oleh lumpur yang muncul akibat gempa dan menenggelamkannya. Tim SAR terus bekerja melakukan evakuasi di daerah ini. Korban terus ditemukan. pic.twitter.com/G3Ki40tdmA
Sementara itu, peristiwa likuifaksi bagi banyak ahli maupun peneliti kebumian merupakan hal biasa. Namun, yang terjadi di Kabupaten Sigi dan Palu sesaat setelah gempa dengan magnitudo 7,4 SR menggoncang timur laut Donggala pada Jumat (28/9), dianggap cukup menyeramkan.
"Itu adalah contoh likuifaksi yang paling menyeramkan yang pernah saya lihat. Banyak suara-suara aneh terdengar," kata Ahli Geologi dari Saint Louis University John Encarnacion menanggapi video-video peristiwa likuifaksi yang terjadi di Kabupaten Sigi dan Kota Palu.
Pada awalnya, justru ia sempat berpikir peristiwa di dalam salah satu video yang sempat viral di media sosial tersebut adalah tsunami.
Ia menduga seluruh kawasan di dalam video tersebut sebenarnya berada di atas endapan lumpur dan pasir dari pesisir atau sungai yang tidak terkonsolidasi dan jenuh dalam air. Ketika material itu terguncang oleh gempa bumi maka 'mencair'.
Usia endapan pasir dan lumpur tersebut, menurut perkiraannya dapat mencapai ribuan hingga puluhan ribu tahun.
"(Usia) itu sangat muda dan tidak cukup waktu untuk berubah menjadi batu. (Likuifaksi) ini sebenarnya adalah situasi yang sama terjadi di banyak wilayah pesisir," ujar dia.
Saat ditanya kaitan antara likuifaksi dan tsunami, ia mengatakan mereka adalah dua fenomena yang berbeda. Tsunami dimulai karena permukaan laut terganggu, baik oleh gerakan patahan atau tanah longsor di bawah laut.
Sedangkan likuifaksi terjadi karena sendimen yang kaya air terguncang hebat oleh gempa.
Sebelumnya diberitakan bahwa sejumlah lokasi di Kota Palu dan Sigi mengalami fenomena likuifaksi pascagempa 7,4 Skala Richter (SR). Tidak hanya rumah yang 'tertelan' saat peristiwa 'pencairan tanah', tersebut terjadi tetapi juga sebagian penduduk yang tinggal di atasnya. (Ant).