Berhenti berperang usai tsunami menghantam
Pagi itu, 26 Desember 2004, masyarakat di Aceh dan sejumlah wilayah ujung Sumatra dikejutkan dengan gempa dan tsunami dahsyat. Kekuatan guncangan gempa itu hingga 9,3 skala Richter, berpusat di dasar laut barat daya Sumatra, sekitar 20 sampai 25 kilometer lepas pantai.
Gelombang raksasa setinggi 30 meter menyapu sejumlah permukiman pesisir. 14 negara merasakan musibah besar ini. Selain Indonesia, negara terdampak paling parah, yaitu Sri Lanka, India, dan Thailand.
Di Indonesia, diperkirakan, sebanyak 150.000 jiwa menjadi korban, 37.063 jiwa dinyatakan hilang, dan lebih dari 500.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Total, bencana alam ini menelan sekitar 280.000 jiwa.
Tsunami bukan saja menimbulkan korban jiwa dari masyarakat sipil. Laporan Tempo.co edisi 27 Desember 2004 menyebutkan, 377 anggota TNI jadi korban. Namun, tak ada informasi berapa korban jiwa dari pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tsunami mengetuk nurani
Selama 28 tahun, sejak 1976 usai Tengku Hasan Muhammad di Tiro membentuk GAM, Serambi Makkah dirundung konflik. GAM ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Pemerintah Orde Baru menyebut mereka sebagai Gerakan Pengacau Keamanan-Aceh Merdeka (GPK-AM), pada 1980 hingga 1990. Pemerintahan Soeharto menggelar operasi militer, yang dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM) pada penghujung 1980-an hingga akhir 1990-an.
Sikap keras pemerintah pusat ini justru memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh, dan membenarkan gerakan militer mereka. Namun, segalanya berangsur berubah usai Aceh luluh lantak akibat bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Berdukanya rakyat Aceh mengetuk nurani pihak Indonesia dan GAM.
Warga melihat salah satu rumah yang rusak akibat bencana tsunami 26 Desember 2004 di Desa Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Selasa (25/12). (Antara Foto).
Menurut Darmansjah Djumala dalam Soft Power untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi (2013), pemerintah Indonesia merasa tak mampu menyalurkan bantuan kepada korban tsunami. Selain itu, dalam jangka menengah, merasa mustahil dapat membangun kembali Aceh dari kehancuran fisik, bila masih berkonflik dengan GAM.
Sedangkan dari pihak GAM, mereka menilai, bila meneruskan perlawanan bersenjata di tengah duka, maka mereka akan kehilangan simpati dari rakyat Aceh.
“Di samping itu, GAM juga berpandangan jika mereka tetap bersikap tidak mau berdamai dengan Indonesia, mereka akan dikecam lembaga-lembaga internasional yang banyak menyalurkan bantuan setelah tsunami Aceh,” tulis Darmansjah dalam bukunya.
Usaha perdamaian ditempuh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang baru tiga bulan memerintah. Selain fokus menangani masalah bencana tsunami di Aceh, Yudhoyono juga mencoba mendekati pimpinan-pimpinan GAM.
Menurut Garda Maeswara dalam buku Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono, pada awal Januari 2005, Yudhoyono dapat kontak dengan komandan GAM Aceh Muzakkir Manaf. Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), sayap militer GAM, sepakat menempuh jalan damai. Hanya saja, tulis Garda dalam bukunya, mereka perlu persetujuan dari para petinggi GAM di luar negeri.
Meski ada rencana mendorong konflik ke meja perundingan, namun bukan berarti kontak senjata usai. Detik.com edisi 11 Januari 2005 melaporkan, selama dua minggu usai gempa dan tsunami, terjadi 34 kali kontak senjata antara TNI dan GAM. Dalam serangkaian kontak senjata tersebut, 101 anggota GAM dan 1 anggota TNI tewas.
Pagi itu, 26 Desember 2004, masyarakat di Aceh dan sejumlah wilayah ujung Sumatra dikejutkan dengan gempa dan tsunami dahsyat. Kekuatan guncangan gempa itu hingga 9,3 skala Richter, berpusat di dasar laut barat daya Sumatra, sekitar 20 sampai 25 kilometer lepas pantai.
Gelombang raksasa setinggi 30 meter menyapu sejumlah permukiman pesisir. 14 negara merasakan musibah besar ini. Selain Indonesia, negara terdampak paling parah, yaitu Sri Lanka, India, dan Thailand.
Di Indonesia, diperkirakan, sebanyak 150.000 jiwa menjadi korban, 37.063 jiwa dinyatakan hilang, dan lebih dari 500.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Total, bencana alam ini menelan sekitar 280.000 jiwa.
Tsunami bukan saja menimbulkan korban jiwa dari masyarakat sipil. Laporan Tempo.co edisi 27 Desember 2004 menyebutkan, 377 anggota TNI jadi korban. Namun, tak ada informasi berapa korban jiwa dari pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tsunami mengetuk nurani
Selama 28 tahun, sejak 1976 usai Tengku Hasan Muhammad di Tiro membentuk GAM, Serambi Makkah dirundung konflik. GAM ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Pemerintah Orde Baru menyebut mereka sebagai Gerakan Pengacau Keamanan-Aceh Merdeka (GPK-AM), pada 1980 hingga 1990. Pemerintahan Soeharto menggelar operasi militer, yang dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM) pada penghujung 1980-an hingga akhir 1990-an.
Sikap keras pemerintah pusat ini justru memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh, dan membenarkan gerakan militer mereka. Namun, segalanya berangsur berubah usai Aceh luluh lantak akibat bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Berdukanya rakyat Aceh mengetuk nurani pihak Indonesia dan GAM.
Warga melihat salah satu rumah yang rusak akibat bencana tsunami 26 Desember 2004 di Desa Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Selasa (25/12). (Antara Foto).
Menurut Darmansjah Djumala dalam Soft Power untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi (2013), pemerintah Indonesia merasa tak mampu menyalurkan bantuan kepada korban tsunami. Selain itu, dalam jangka menengah, merasa mustahil dapat membangun kembali Aceh dari kehancuran fisik, bila masih berkonflik dengan GAM.
Sedangkan dari pihak GAM, mereka menilai, bila meneruskan perlawanan bersenjata di tengah duka, maka mereka akan kehilangan simpati dari rakyat Aceh.
“Di samping itu, GAM juga berpandangan jika mereka tetap bersikap tidak mau berdamai dengan Indonesia, mereka akan dikecam lembaga-lembaga internasional yang banyak menyalurkan bantuan setelah tsunami Aceh,” tulis Darmansjah dalam bukunya.
Usaha perdamaian ditempuh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang baru tiga bulan memerintah. Selain fokus menangani masalah bencana tsunami di Aceh, Yudhoyono juga mencoba mendekati pimpinan-pimpinan GAM.
Menurut Garda Maeswara dalam buku Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono, pada awal Januari 2005, Yudhoyono dapat kontak dengan komandan GAM Aceh Muzakkir Manaf. Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), sayap militer GAM, sepakat menempuh jalan damai. Hanya saja, tulis Garda dalam bukunya, mereka perlu persetujuan dari para petinggi GAM di luar negeri.
Meski ada rencana mendorong konflik ke meja perundingan, namun bukan berarti kontak senjata usai. Detik.com edisi 11 Januari 2005 melaporkan, selama dua minggu usai gempa dan tsunami, terjadi 34 kali kontak senjata antara TNI dan GAM. Dalam serangkaian kontak senjata tersebut, 101 anggota GAM dan 1 anggota TNI tewas.
Perdamaian di Helsinki
Orang yang punya peran penting dalam perundingan antara Aceh dan Indonesia adalah Farid Husain. Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Farid pernah bertugas menyelesaikan konflik di Poso dan Ambon.
Di dalam bukunya, To See the Unseen: Kisah di Balik Damai Aceh (2007), Farid menulis, bencana gempa dan tsunami punya andil perundingan jadi lebih cepat.
“Bencana yang maha dahsyat dan tidak ada presedennya ini, tidak bisa tidak, makin membuka mata kedua belah pihak akan urgensi menuju perundingan. Proses menuju perdamaian yang saya turut merintisnya satu setengah tahun sebelumnya, seperti mendapat momentum percepatan,” kata Farid di bukunya itu.
Di dalam benaknya, Farid amat percaya, di pihak GAM sendiri sudah lelah berkonflik. Namun, karena khawatir dilabeli sebagai pengkhianat GAM, maka para kombatan GAM terpaksa terus angkat senjata.
Setelah penandatanganan nota kesepahaman antara pihak GAM dan Indonesia di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. (Pdiaaceh.org).
“Ada pertanyaan di kalangan petinggi GAM setelah mengetahui Aceh luluh lantak akibat tsunami. Pertanyaan itu adalah mereka itu sedang berjuang untuk siapa?” tulis Farid.
Pertanyaan itu pun menyadarkan pimpinan GAM di Swedia untuk kembali berunding dengan Indonesia. Farid pun berkesimpulan, ada dua faktor utama yang mendorong pihak GAM mau berunding dengan Indonesia. Selain faktor GAM yang melihat adanya perbedaan pendekatan oleh pemerintahan Yudhoyono-Kalla terhadap masalah Aceh, tsunami pun jadi pemantiknya.
Perundingan menghabiskan 24 hari dalam lima putaran sejak akhir Januari 2005 hingga medio Juli 2005. Pada 15 Agustus 2005, menurut Fajriudin Muttaqin, dan kawan-kawan dalam Sejarah Pergerakan Nasional (2015), penandatanganan nota kesepahaman antara pihak Indonesia dan GAM dilakukan di Helsinki, Finlandia.
Pihak Indonesia diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin. GAM diwakili pimpinan delegasi GAM Malik Mahmud. Sementara fasilitatornya adalah mantan Presiden Finlandia dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative Martti Ahtisaari.
“GAM sepakat mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya, GAM juga sepakat menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005. Jumlah tentara Indonesia yang tetap berada di Aceh setelah relokasi 14.700 orang. Polisi di Aceh 9.100 orang,” tulis Fajriudin, dkk dalam Sejarah Pergerakan Nasional.
Setelah itu, negara mengakui keistimewaan dan kekhususan Aceh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sejatinya, hari ini rakyat Aceh bukan saja memperingati 14 tahun bencana tsunami. Tapi, mereka pun merayakan perdamaian di bumi Serambi Makkah.