Berkaca dari kasus Fidelis cs, Indonesia butuh melegalkan ganja medis
Bagi Fidelis Ari Sudewarto, kabar tentang dikeluakannya ganja atau kanabis dari daftar obat-obatan terlarang PBB datang terlampau terlambat. Istri Fidelis, Yenny Riawati, kini telah tiada. Padahal, jika perawatan dengan ekstrak ganja diperbolehkan, mungkin saja sang istri saat ini masih hidup.
"Hidup dan mati sih di tangan Tuhan. Hanya saja, setelah sekitar enam bulanan make (ekstrak) cannabis (ganja), kondisinya (Yenny ketika itu) sudah sangat membaik," kata Fidelis saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (12/12) lalu.
Yenny meninggal pada Maret 2017 karena syringomyelia, penyakit gangguan saraf yang disebabkan kista di sumsum tulang belakang. Saat istrinya mengembuskan nafas terakhir, Fidelis tengah dibui. Ia dipenjara karena menanam 39 pohon ganja di rumahnya di Kabupaten Sangau, Kalimantan Barat.
Ganja itu bukan untuk dikonsumsi. Fidelis mengekstraknya untuk pengobatan sang istri. Informasi mengenai khasiat ekstrak ganja untuk mengobati syringomyelia ia ketahui dari internet. Sebelum ditangkap pada 19 Februari 2017, Fidelis sempat meminta dispensasi kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) Sangau.
"Sewaktu kasus saya mencuat, salah satu yang membuat pemerintah tidak bisa memberikan dispensasi penggunaan ganja kepada saya itu karena kebijakan konvensi PBB tersebut. Jika mereka mengizinkan saya, maka sama saja Indonesia menentang konvensi PBB tersebut," ujarnya.
Tak lama setelah ditangkap, Fidelis disidang dan diputuskan bersalah. Majelis hakim memvonis hukuman delapan bulan penjara disertai denda. Pada pertengahan November 2017, Fidelis bebas murni setelah mendapatkan cuti.
Sekitar tiga tahun berselang, tepatnya pada 2 Desember 2020, Komisi Narkotika (Commision on Narcotics Drugs/CND) PBB bersidang dan memutuskan mengeluarkan ganja dari daftar Single Convention on Narcotic Drugs atau Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
Keputusan itu diambil atas rekomendasi World Health Organization (WHO) yang terlebih dahulu telah mengakui manfaat medis tanaman bernama latin Cannabis sativa itu. Menurut catatan WHO, setidaknya sudah ada 50 negara yang melegalkan ganja untuk kepentingan medis. Uruguay dan Kanada bahkan telah memperbolehkan konsumsi ganja untuk rekreasi.
"Menurut saya, PBB wajar kalau mengambil keputusan tentang ganja. Mereka sudah melalui proses yang sangat panjang, penelitian, uji coba dan sebagainya. Jadi, wajar kalau mereka mengambil sikap, sebab mereka punya dasar," ujar Fidelis.
Meski demikian, Fidelis mengatakan, perjuangan melegalisasi ganja untuk kepentingan medis masih bakal berlangsung panjang. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika) perlu direvisi karena masih melarang segala bentuk peredaran ganja, termasuk menanam ganja untuk keperluan medis.
"Selama masih ada UU Narkotika yang kayak gitu, wajar BNN dan Polri melakukan tindakan. Sebagai warga yang baik, kita harus mematuhi UU yang ada. Indonesia tidak perlu terburu-buru karena inilah saatnya Indonesia membuktikan fakta tentang ganja," kata Fidelis.
Dalam UU Narkotika, ganja diklasifikasikan sebagai narkotika golongan 1, sejajar dengan sabu, kokain, opium, dan heroin. Dalam sejumlah pasal di UU tersebut, ditegaskan bahwa narkotika hanya boleh digunakan untuk pengobatan berbasis resep dokter dan atas keputusan Kementerian Kesehatan.
Khasiat medis ganja dibutuhkan
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Maruf Bajamal mengatakan keputusan Komisi Narkotika PBB harus dijadikan momentum untuk mereformasi aturan mengenai pemanfaatan narkotika untuk medis. Menurut Maruf, tak sepatutnya orang-orang seperti Fidelis dijerat karena menggunakan ganja untuk obat.
"Banyaknya korban yang berjatuhan karena UU Narkotika, seperti istri dari Fidelis dan Fidelis sendiri. Yang terbaru, Reynhard Rossy serta nama-nama lain yang mungkin tidak terekspose ke hadapan publik. Tidak sepatutnya aturan hukum mencelakakan manusia," ujar Maruf kepada Alinea.id.
Reynhard yang dimaksud Maruf ialah Reynhard Rossy Siahaan. Pada akhir 2019 lalu, Reynhard ditangkap di petakan kosannya di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) karena memiliki lebih dari 400 gram ganja. Rossy sudah beberapa bulan meminum air rebusan ganja untuk mengobati kelainan syaraf yang ia derita.
Berkaca pada kasus Fidelis, Reynhard, dan kasus-kasus serupa lainnya, Maruf meminta agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU Narkotika agar sejalan dengan keputusan Komisi Narkotika PBB. Menurut dia, aturan yang ada saat ini terlalu "kaku".
"Keputusan CND ini harus menjadi contoh bagi pemerintah Indonesia untuk menghilangkan egoisme aturan hukum yang tidak menjunjung tinggi kepentingan kemanusiaan. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah Indonesia mereformasi kebijakan narkotika," kata dia.
Selain mereka yang mengidap kelainan syaraf, khasiat medis kanabis juga dibutuhkan anak-anak yang mengidap cerebral palsy, penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada organ-organ motorik. Saat ini, tiga ibu yang anak-anaknya mengidap penyakit tersebut tengah mengajukan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Juru bicara Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Dhira Narayana mengatakan permohonan uji materi itu diajukan untuk "mengoreksi" Pasal 6 dan 8 UU Narkotika. Pasal-pasal itu dianggap menghambat penggunaan ganja untuk kepentingan medis dan bertentangan dengan konstitusi.
"Mereka sangat membutuhkan pengobatan yang berasal dari ganja. Jangan sampai untuk memenuhi pelayanan kesehatan mereka (anak cerebral palsy), kita harus impor dan impor lagi," ujar Dhira kepada Alinea.id, Rabu (9/12).
Salah satu pemohon uji materi itu ialah Santi Warastuti. Anak Santi menderita cerebral palsy dan sempat diobati di Australia dengan metode pengasapan ganja dan mengonsumsi minyak cannabidiol (CBD). CBD merupakan salah satu senyawa kimia yang paling banyak ditemui di dalam kanabis.
Namun demikian, pengobatan anak Santi terhenti di Tanah Air. Pasalnya, UU Narkotika melarang penggunaan narkotika golongan 1 untuk kepentingan medis.
Menurut Dhira, seharusnya orang-orang yang menderita cerebral palsy tidak perlu ke luar negeri untuk mendapatkan obat-obatan dari ekstrak ganja. Apalagi, Indonesia punya Aceh yang memiliki reputasi sebagai "ladang ganja".
"Kita sama-sama memahami potensi besar Aceh sebagai penghasil tanaman ganja berkualitas. Untuk itu, perlu segera dibentuk tim perancang peta jalan industri pemanfaatan ganja nasional," kata Dhira.
Analis kebijakan narkotika LBH Masyarakat Yohan Misero mengatakan pemanfaatan ganja medis sebenarnya bisa dilegalkan tanpa revisi UU Narkotika. Syaratnya, Kemenkes mengeluarkan keputusan untuk menurunkan kanabis dan turunannya dari kategori narkotika golongan 1 ke golongan 2 atau 3.
"Maka, langsung ganja dan turunannya dapat digunakan untuk kepentingan medis. Akan tetapi, tentu saja dalam peredarannya, perusahaan-perusahaan farmasi harus kemudian memiliki izin dari Badan POM," ujar dia kepada Alinea.id.
Yohan berpandangan mestinya kasus Fidelis bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk bersikap arif dalam memandang pemanfaatan ganja untuk keperluan medis. Hukuman pidana tidak sepatutnya diberlakukan pada mereka yang hanya berniat menfaatkan ganja untuk pengobatan.
"Pascakasus Fidelis ini tidak ada respons apa pun dari pemerintah mengenai ketentuan untuk ganja medis. Padahal, itu ada orang meninggal. Ada orang dipenjara gara-gara kebijakan kita yang seperti ini," ujarnya.
Legalisasi diawali hasil riset
Dokter ahli adiksi Yayasan Garuda Gandrung Satria (Gagas) Bambang Eka membenarkan bahwa ekstrak ganja bisa membantu pengobatan beragam penyakit, di antaranya epilepsi dan alzheimer. Meski begitu, ia tak sepakat ganja medis dilegalisasi tanpa riset mendalam di dalam negeri.
"Baru ubah UU narkotika berdasarkan hasil riset tadi. Jangan dilegalkan THC (tetrahydrocannabinol) ini tanpa riset. Dilarang saja, masih banyak jenis narkotika baru (bermunculan)," ucap Bambang kepada Alinea.id, Kamis (10/12).
Seperti CBD, THC merupakan salah satu senyawa kimia yang paling banyak terkandung dalam kanabis. Namun, berbeda dengan CBD yang tidak menimbulkan efek mabuk, THC bisa memabukkan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak.
Lebih jauh, Bambang mengatakan, keputusan Komisi Narkotika PBB bisa dijadikan momentum untuk membenahi tata kelola kewenangan penanganan narkotika di Tanah Air. Menurut dia, kementerian dan institusi terkesan saat ini kerap berebut kewenangan menangani persoalan-persoalan terkait narkotika.
"Kalau sekarang, kacau-balau. Tidak jelas tupoksinya. Sebagai contoh, urusan rehabilitasi. Itu urusan Menkes bukan BNN atau Mensos atau polisi," ucap pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu.
Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat sepakat kandungan ganja boleh dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Namun, ia menolak jika kebutuhan ganja medis dipasok dari dalam negeri.
"Jadi, UU Narkotika tetap berlaku. Menanam tidak boleh, mengedarkan secara gelap juga tidak boleh. Tapi, boleh dijadikan bahan untuk membuat obat dengan mengimpor. Nah, impornya yang harus diawasi pemerintah," ujar dia kepada Alinea.id, Kamis (10/12).
Henry pun tak mempermasalahkan bila Kementerian Kesehatan turut andil dalam pemanfaatan ganja untuk medis. Namun demikian, BNN harus tetap berwenang mengawasi peredarannya. "Khususnya pengawasan soal impor ganja dan segala macam, tetap BNN harus dilibatkan," imbuhnya.
Menurut Henry, pemerintah Indonesia sebenarnya tidak perlu merespons keputusan Komisi Narkotika PBB tersebut. Ia menilai keputusan mengeluarkan ganja dari daftar obat-obatan berbahaya tidak bersifat mengikat.
"Karena itu bukan konvensi dan hanya rekomendasi dari Komisi Narkotika PBB. Jadi, kalau untuk obat, silakan saja. Tapi, ganjanya jangan ditanam di sini," tegas anggota Komisi III DPR itu.
Kepala Seksi Napza Ditjen Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Kemenkes, Herbet Sidabutar mengungkapkan Kemenkes untuk saat ini tidak akan mengubah kategori ganja sebagai narkotika golongan 1.
"Untuk mengubah UU 35 Tahun 2009 itu tidak mudah. Bukan hanya dengan rekomendasi CND, bisa kita ubah. Tidak bisa. Perlu rangkaian penelitian dan perlu penelitian yang panjang sekali," kata dia saat dihubungi Alinea.id, Ahad (13/12).
Dijelaskan Herbet, Indonesia merupakan salah satu negara yang turut menolak keputusan menurunkan kelas ganja di sidang Komisi Narkotika PBB, awal Desember lalu. Dalam sidang itu, delegasi dipimpin perwakilan BNN.
"BNN sebagai kepala delegasi mengatakan tak setuju. Saya sebagai anak buah mengikuti arahan pimpinan dan berarti Kementerian Kesehatan juga masih belum dalam posisi mengambil keputusan untuk mengubah itu (golongan ganja)," kata dia.
Herbet mengatakan kasus Fidelis Ari dan kasus-kasus serupa lainnya tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melegalkan ganja medis. Menurut dia, pengobatan dengan ektrak ganja belum terbukti efektivitasnya.
"Banyak opsi lain untuk medis. Kami menyarankan agar menggunakan obat-obatan yang sudah teruji gitu. Jadi, tidak lagi mengambil kesimpulan dari beberapa kasus dan menjadikan itu hal yang umum," kata dia.