Penjaga ternak asal Serang, Banten, Muhyani (58), akhirnya dapat bernapas lega. Pangkalnya, terbebas dari jerat hukum atas kasus pembunuhan terhadap maling kambing, Februari 2023.
Muhyani terbebas dari Pasal 351 ayat (3) KUHP, dengan ancaman 7 tahun penjara, usai Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2), 15 Desember. SKP2 terbit setelah gelar perkara.
Setidaknya ada 2 hal yang mendasari Kejari Serang memutuskan demikian. Pertama, Muhyani dinilai melakukan pembelaan terpaksa (noodweer) sesuai Pasal 49 ayat (1) KUHP. Kedua, berdasarkan hasil visum et repertum, 14 Desember, Waldi tidak meninggal seketika, tetapi di persawahan lantaran tidak mendapatkan pertolongan.
"Bapak bersyukur alhamdulillah bisa bebas. Ternyata keadilan masih ada buat Bapak," ungkapnya.
Kendati begitu, Muhyani sempat mengalami penderitaan. Misalnya, ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Serang rentang 7-13 Desember dengan dalih ancaman hukuman di atas 5 tahun. Padahal, sejak berstatus tersangka dan dikenakan wajib lapor, 15 September, ia taat mendatangi Polres Serang Kota sekalipun sedang sakit.
Polisi bahkan sempat berlindung di balik keterangan saksi ahli untuk membenarkan penetapan Muhyani sebagai tersangka hingga menahannya. Misalnya, apa yang dilakukan Muhyani tidak tepat dikategorikan sebagai membela diri ketika maling akan mengeluarkan golok yang dibawanya.
"[Saksi ahli] menerangkan, bahwa sebelum menusuk dada, [Muhyani] ada kesempatan untuk berpikir atau meminta pertolongan," dalih Kapolres Serang Kota, Kombes Sofwan Hermanto.
Kondisi kesehatan Muhyani juga sempat memburuk usai penahanannya ditangguhkan. Rriwayat penyakit paru-parunya kambuh. Mirisnya, tidak bisa menjalani perawatan secara intensif lantaran tak memiliki biaya.
"Parah, sih, tapi enggak dirawat. Enggak ada dana kalau dirawat. Mau rontgen saja enggak ada duit," ungkap Susilawati, mantu Muhyani.
Bukan kasus pertama
Apa yang dialami Muhyani bukanlah kasus pertama. Pengalaman pahit serupa pernah dialami yang lainnya, salah satunya Murtede alias Amaq Sinta. Ia sempat dijadikan tersangka oleh Polda NTB karena menganiaya 2 orang yang bakal membegal motornya. Seorang di antaranya meninggal di lokasi akibat luka tusuk senjata tajam.
Pun demikian dengan Raju di Pekanbaru, September 2015; Mohammad Irfan Bahri di Bekasi, Mei 2018; ZA (19) di Malang, September 2019; dan Dedi Irwanto di Medan, Desember 2021. Sekalipun akhirnya dibebaskan, seluruhnya sempat ditetapkan menjadi tersangka lantaran melawan begal yang hendak mengambil sepeda motornya. Para begal meninggal dunia.
Terpisah, pakar hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Wisnu Nugraha, menilai, langkah kejaksaan sudah tepat. "Orang yang melakukan pembelaan diri tidak dapat dipidana sesuai Pasal 49 ayat (1) KUHP," jelasnya kepada Alinea.id.
Pasal 49 ayat (1) KUHP berbunyi, "Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid), atau harta benda sendiri maupun orang lain tidak dipidana."
Menurutnya, kasus Muhyani dapat dihentikan kepolisian ketika dalam pengusutannya tak menemukan minimal 2 alat bukti. Dua alat bukti merupakan syarat menetapkan seseorang sebagai tersangka sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.
"Putusan [MK] tersebut menjelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya," jelasnya. "Proses penyelidikan ini, kan, untuk mencari dan dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana," imbuhnya. Itu diatur dalam Pasal 1 ayat (5) KUHAP.
Setelah penyelidikan, sambung Wisnu, kepolisian lalu melakukan penyidikan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar sebuah tindak pidana semakin terang. Dengan begitu, sesuai Pasal 1 ayat (2) KUHP, dapat ditetapkan tersangkanya.
Fokus prosedur
Karena itu, ia berpandangan, ditetapkannya korban yang berupa membela diri ketika menjadi target pidana sebagai tersangka lantaran kepolisian lebih mengutamakan prosedur, bukan buruknya pemahaman hukum aparat. Kendati demikian, Wisnu menegaskan, tersangka bukan berarti bersalah.
"Karena masih dugaan, maka orang [tersangka] belum bisa dikatakan bersalah karena berlaku asas presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah). Sedangkan kewenangan penegak hukum, dalam hal ini hakim, ialah yang berhak menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Sehingga, hal ini bukanlah soal pemahaman hukum aparat kita yang lemah, melainkan sejauh mana keadilan itu dapat ditegakkan," tuturnya.
Wisnu melanjutkan, untuk mengantisipasi terulangnya kasus Mahyuni cs, masyarakat diharapkan memastikan segala bukti yang dimiliki dapat membenarkan bahwa kita tidak bersalah. "Sebab, pada prinsip hukum pidana, alat bukti itu harus lebih terang dari pada cahaya (in criminalibus probationes bedent esse luce clariores)."