Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menjadwalkan ulang pemanggilan Ketua KPK, Firli Bahuri, terkait kasus dugaan pelanggaran etik pada Selasa (14/11). Ini dilakukan seiring gagalnya agenda klarifikasi pada Rabu (8/11), jadwal yang sempat ditawarkan Firli.
"[Firli] akan diperiksa Selasa, tanggal 14 November 2023, pukul 10.00 WIB," ujar anggota Dewas KPK, Albertina Ho, Jumat (10/11).
Pemanggilan itu dilakukan seiring adanya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku terkait dugaan pemerasan terhadap Menteri Pertanian (Mentan) kala itu, Syahrul Yasin Limpo (SYL), oleh Firli kepada Dewas KPK, 6 Oktober silam. Laporan tersebut pun diseriusi Dewas KPK.
Setidaknya beberapa pihak telah dipanggil untuk memberikan keterangan. Misalnya, SYL hingga beberapa pimpinan KPK, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Johanis Tanak.
Namun, tidak demikian dengan Firli. Ia mulanya dijadwalkan menjalani pemeriksaan untuk klarifikasi pada 27 Oktober, tetapi mangkir.
Firli bahkan sempat meminta pemeriksaan terhadapnya dilakukan 12 hari kemudian atau 8 November, yang dinilai terlalu lama oleh Dewas KPK. Namun, tidak menjelaskan alasannya.
Hingga tanggal yang ditentukan tiba, purnawirawan polisi bintang dua itu tak juga hadir. Dewas pun tak bisa berbuat banyak, utamanya memaksa Firli untuk hadir.
"Dewas enggak punya, enggak bisa memaksa. Kita, kan, bukan penyidik. Jadi, enggak bisa panggil paksa. Jadi, kita mengundang," ucap anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, beberapa waktu silam. "Intinya, [Firli mesti datang] secepatnya supaya cepat selesai."
Dewas tak bertaji
Tak bertajinya Dewas KPK tersebut karena ketiadaan instrumen dibenarkan aktivis Jogja Corruption Watch (JCW), Baharuddin Kamba. Katanya, pemanggilan paksa terhadap seseorang yang mangkir hanya dimiliki aparat penegak hukum (APH).
"Dewas KPK tidak punya upaya paksa seperti APH. Dia tidak bisa memanggil paksa terkait dengan orang-orang yang akan dimintai keterangan," jelasnya kepada Alinea.id, Jumat (10/11).
JCW pun menyayangkan hal ini. Padahal, kepercayaan publik sudah melemah, yang ditandai dengan nihilnya dukungan masyarakat kepada KPK ketika ada pegawai hingga pimpinannya terjerat kasus hukum atau dikenal dengan "Cicak versus Buaya". Banyaknya dugaan pelanggaran yang dilakukan Firli menjadi salah satu faktor melemahnya kepercayaan publik.
"Masyarakat sudah semakin cerdas. Ketika ada dugaan-dugaan pelanggaran etik terhadap Firli, ya, bebas semua, tidak ada hukuman yang berat. Kan, selama ini hanya sanksi teguran saja. Padahal, banyak laporan masyarakat akan dugaan-dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli," bebernya.
Sebelum dugaan pemerasan terhadap SYL, Firli berkali-kali dilaporkan kepada Dewas atas dugaan pelanggaran etik. Misalnya, menyangkut penggunaan helikopter milik swasta saat melakukan kunjungan ke Sumatera Selatan (Sumsel); pelanggaran protokol Covid-19; penggunaan fasilitas SMS blast nirpesan antikorupsi; pemecatan Direktur Penyelidikan KPK, Endar Priantoro; kebocoran dokumen penyelidikan di Kementerian ESDM; pemberian penghargaan kepada istri atas pembuatan Himne dan Mars KPK; dan "turun gunung" dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Dari seluruh laporan tersebut, mayoritas tidak berlanjut ke sidang etik hingga pemberian sanksi dengan dalih minim bukti. Firli hanya dikenai sanksi teguran tertulis terkait pemakaian helikopter, yang berawal dari aduan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Sesuai Pasal 10 ayat (2) Peraturan Dewas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, teguran tertulis II termasuk sanksi ringan dengan masa berlaku 6 bulan. Selama menjalani hukuman, merujuk Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), yang bersangkutan tidak bisa mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, dan/atau tugas belajar/pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri, serta dinaikkan tingkat jabatan dan/atau tingkat kompetensinya.
Baharuddin pun mendorong Polda Metro Jaya segera menyelesaikan kasus dugaan pemerasan oleh Firli tersebut. Ini perlu dilakukan demi kepastian hukum.
"Jangan sampai nanti penegakan hukum terkait dugaan pemerasan ini pilih-pilih," tegasnya. "Saya kira, biar status hukum Firli ini jelas, jangan sampai menunda-nunda sampai tidak ada kepastian hukum."
Sanksi pemecatan
Kegeraman terhadap lemahnya kinerja Dewas dalam penegakan etik terhadap KPK juga disuarakan Koordinator MAKI, Boyamin Saiman. Ia bahkan menyebutnya sebagai "drama kucing-kucingan".
Ia berpendapat, kerapnya Firli mangkir dari undangan klarifikasi oleh Dewas KPK karena memiliki rasa bersalah. Karenanya, MAKI mendorong agenda pemeriksaan pada 14 November mendatang harus dikawal.
"Menghindar ini duga karena [Firli] merasa bersalah," ujarnya kepada Alinea.id.
Meski begitu, menurut Boyamin, Dewas KPK harus mengambil langkah tegas dan terukur. Alasannya, sikap Firli tersebut menunjukkan ketidakseriusannya dalam merespons panggilan Dewas.
"Nanti kalau Pak Firli mangkir lagi, ya, langsung putus dengan sanksi terberat: minta pengunduran diri alias dipecat dari pimpinan KPK," sarannya.
Merujuk Pasal 10 ayat (4) Peraturan Dewas 2/2020, Firli berpotensi lolos dari hukuman pemecatan. Sebab, sanksi berat bagi Dewas dan pimpinan KPK hanya mencakup pemotongan gaji pokok 40% selama 12 bulan dan diminta mengundurkan diri. Apalagi, sesuai Pasal 9 ayat (3), sanksi berat dijatuhkan jika berdampak atau merugikan negara.