Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) melontarkan alasan terkait diperiksanya dua mantan Direktur Utama PT Krakatau Steel. Keduanya diperiksa dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel pada 2011.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Supardi mengatakan, pemeriksaan tersebut semata untuk menuntaskan proses pemberkasan perkara. Saksi yang diperiksa adalah Sukandar selaku Direktur Utama PT Krakatau Steel periode 2015-2017 dan Mas Wigrantoro Roes Setiyadi selaku Direktur Utama PT Krakatau Steel periode 2017-2018.
"Untuk melengkapi berkas aja, kita cepetin ini pemberkasannya supaya cepat selesai," kata Supardi kepada Alinea.id, Selasa (19/7).
Supardi menyebut, keterlibatan pihak lain akan diproses dalam waktu dekat. Untuk sementara, proses pemberkasan menjadi fokus penyidik.
Sejumlah upaya telah dicoba untuk membawa pihak tersebut dari Singapura ke Indonesia. Mulai dari pemanggilan pun telah mencapai batas tiga kali surat.
"Kita selesaikan proses ini dulu, karena pengajuan MLA (untuk perjanjian timbal balik dalam masalah pidana) itu emang engga gampang, kita sudah panggil juga tiga kali," ujar Supardi.
Sementara, penyidik tengah menyoroti pihak swasta yang terlibat, yaitu MCC CERI. Perusahaan ini merupakan kontraktor pemenang dan pelaksana proyek tersebut, namun belum juga ditetapkan sebagai tersangka korporasi.
Supardi menyampaikan, CERI belum mengindahkan pemanggilan dari penyidik untuk menjalani pemeriksaan. CERI terikat dalam konsorsium dengan PT Krakatau Engineering.
"Perusahaan swastanya kan yang utama CERI itu. Idealnya iya (tersangka). Cuma sekarang kan dipanggil saja belum datang. Dipanggil saja kan dia selalu mengajukan alasan," ucap Supardi.
Dalam perkara ini, Direksi PT Krakatau Steel (Persero) periode 2007, menyetujui pengadaan pembangunan pabrik BFC dengan bahan bakar batu bara dengan kapasitas 1,2 juta ton/tahun hot metal. Nilai kontrak pembangunan pabrik blast furnace PT Krakatau Steel dengan sistem turnkey (terima jadi) sesuai dengan kontrak awal Rp4,7 triliun hingga addendum ke-4 membengkak menjadi Rp 6,9 triliun.
Kendati demikian, Supardi enggan menegaskan jumlah Rp 6,9 triliun tersebut, merupakan kerugian negara dari perkara ini. Perhitungan kerugian negara disebut masih berlangsung untuk mendapatkan angka yang seharusnya.
"Tetapi intinya bahwa kerugian itu sudah real, ada," ujarnya.