close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota FPI melakukan unjuk rasa memprotes pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Jumat 2016/Foto Antara
icon caption
Anggota FPI melakukan unjuk rasa memprotes pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Jumat 2016/Foto Antara
Nasional
Rabu, 30 Desember 2020 22:15

Bikin ormas baru usai dibubarkan, FPI singgung Nasakom

FPI ganti nama menjadi Front Persatuan Islam.
swipe

Sebanyak 18 eks anggota Front Pembela Islam mendeklarasikan berdirinya Front Persatuan Islam seiring pelarangan aktivitas FPI oleh pemerintah, Rabu (30/12). Mereka adalah, Ahmad Shabri Lubis, Munarman. Awit Mashuri Haris Ubaidillah, Idrus Al Habsyi, Idrus Hasan, Ali Alattas, Ali Alattas, I Tuankota Basalamah, Habib Syafiq Alaydrus, Baharuzaman, Amir Ortega, Syahroji, Waluyo, Joko, Luthfi, Habib Abu Fihir Alattas ,Tb. Abdurrahman Anwar, dan Abdul Qadir Aka.

Sekretaris Bantuan Hukum DPP FPI Aziz Yanuar mengatakan, Front Persatuan Islam merupakan wadah baru perjuangan FPI.

“FPI tidak berubah, hanya berganti nama untuk kendaraan baru dalam berjuang,” ucapnya saat dihubungi Alinea.id, Rabu (30/12).

Pembubaran organisasi masyarakat (ormas) dan partai politik (parpol) dinilai telah terjadi pada era Presiden Soekarno ketika gencar menggelorakan Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Biasanya, kata dia, sasaran pembubaran adalah ormas Islam dan parpol Islam.

“Jadi, pelarangan FPI saat ini adalah De Javu alias pengulangan dari rezim Nasakom yang lalu,” kata Aziz.

Sebelumnya, akademisi Universitas Murdoch, Ian Douglas Wilson, menilai, pembubaran dan pelarangan aktivitas Front Pembela Islam (FPI) akan membuat pemerintah semakin sulit mengaturnya, termasuk mendeteksi anggotanya, sekalipun modal politik untuk memobilisasi massa coba dicegah.

"Tentu akan ada tantangan untuk bagaimana pelarangan ini dilaksanakan dan menghindari kemungkinan ada anggota atau simpatisan FPI yang teradikalisasi oleh pelarangan tersebut (bergerilya di media sosial seperti HTI)," ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (30/12).

Menurut penulis buku "Politik Jatah Preman; Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia PascaOrde Baru" ini, penting untuk memahami dorongan di balik popularitas FPI, organisasi yang didirikan Muhammad Rizieq Shihab.

Jika dorongan popularitas tersebut tidak dapat diatasi, anggota dan simpatisan FPI diyakininya akan mencari bentuk baru yang mungkin lebih destruktif usai eksistensi dilenyapkan dan aktivitasnya dilarang.

"Apakah itu (dorongan popularitas FPI) 'politik moralitas' sebagai tanggapan terhadap berbagai tekanan sosial dan ekonomi atau hal lain? Kalau driver popularitas tersebut tidak ditangani dan ditanggapi, akan mencari bentuk baru yang mungkin lebih destruktif," jelas Ian.

Untuk diketahui, FPI akan menggugat penetapan pemerintah atas status terlarang dan harus dibubarkannya organisasi pimpinan Habib Rizieq Shihab tersebut. FPI menilai pembubaran itu sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan, dan akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

 

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan