Badan Intelegen Negara (BIN) merespons desakan Indonesia Corruption Watch (ICW) agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot jabatan Kepala BIN Budi Gunawan (BG). ICW menilai BG gagal mendeteksi buronan koruptor, khususnya Djoko Tjandra.
Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto menegaskan, pernyataan ICW salah besar jika menuduh BIN di bawah kepemimpinan BG telah gagal atau diam saja dalam memburu buronan koruptor.
Hingga saat ini, BIN terus melaksanakan koordinasi dengan lembaga intelijen dalam dan luar negeri untuk memburu koruptor secara tertutup.
"Sebagaimana terjadi pada kasus penangkapan Totok Ari Prabowo dan Samadikun Hartono. Demikian juga dalam kasus Maria Pauline Lumowa yang ujung tombaknya adalah Kemenkumham," kata Wawan lewat keterangan tertulis, Rabu (29/7).
Dijelaskan Wawan, Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara menyebutkan bahwa BIN merupakan alat negara yang menyelenggarakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri.
BIN, jelas dia, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan laporan BIN langsung ke Presiden, tidak disampaikan ke publik.
BIN, lanjut Wawan, juga bertindak sebagai koordinator lembaga intelijen negara dan melakukan koordinasi dengan penyelenggara intelijen negara lainnya, yaitu Intelijen TNI, Kepolisian, Kejaksaan dan Intelijen Kementerian/ non-Kementerian.
Oleh sebab itu BIN tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penangakapan. "Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN tidak mempunyai kewenangan penangkapan baik di dalam maupun di luar negeri. BIN bukan lembaga penegak hukum. BIN memberikan masukan ke Presiden yang sifatnya strategis menyangkut keamanan negara," tegas Wawan.
Dia menambahkan, sesuai UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN berwenang melakukan operasi di luar negeri, termasuk dalam upaya mengejar koruptor. Namun, sambung Wawan, tidak semua negara ada perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
BIN, kata Wawan, hanya mengumpulkan informasi, dan rata-rata info yang diperoleh masih melakukan upaya PK (Peninjauan Kembali).
"Demikian juga masalah Djoko Tjandra, masih mengajukan PK, hal ini menjadi kewenangan yudikatif untuk menilai layak dan tidaknya pengajuan PK berdasarkan bukti baru (novum) yang dimiliki. Jika ada pelanggaran dalam SOP proses pengajuan PK maka ada tindakan atau sanksi. BIN tidak berkewenangan melakukan intervensi dalam proses hukumnya," tutup dia.
Sebelumnya, ICW mendesak Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Kepala BIN, Budi Gunawan (BG) menyusul lolosnya buronan kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra. ICW menilai BIN di bawah pimpinan BG telah gagal melacak keberadaan Djoko.
"Kasus Djoko Tjandra menunjukkan bahwa BIN tidak memiliki kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kelas kakap tersebut. Mulai dari masuk ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuktikan bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal," kata Peneliti ICW, Wana Alamsyah.
Berdasarkan catatan ICW sejak tahun 1996 hingga 2020, terdapat 40 koruptor yang hingga saat ini masih buron. Lokasi yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian koruptor diantaranya, New Guinea, Cina, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia.
Sementara itu, nilai kerugian akibat tindakan korupsi para buron tersebut pun terbilang fantastis Rp55,8 triliun dan USD105,5 juta. Lebih spesifik lagi, institusi penegak hukum yang belum mampu menangkap buronan koruptor antara lain Kejaksaan (21 orang), Kepolisian (13 orang), dan KPK (6 orang).
"Berpegang pada pengalaman sebelumnya, BIN sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada tahun 2015 lalu dan Samadikun Hartono di Cina pada tahun 2016. Namun berbeda dengan kondisi saat ini, praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN," terang Wana.