Bintang Jasa buat Eurico Guterres dan bayang-bayang pelanggaran HAM
Menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-76, pada Kamis (12/8) di Istana Negara, Jakarta, Presiden Joko Widodo menganugerahkan tanda kehormatan berupa Bintang Mahaputera, Bintang Budaya Parama Dharma, dan Bintang Jasa kepada 335 tokoh. Tanda kehormatan itu diberikan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 76, 77, dan 78 TK Tahun 2021 yang diteken Presiden Jokowi pada 4 Agustus 2021.
Sebanyak 105 orang dokter dan 153 perawat atau tenaga kesehatan yang gugur saat menangani pandemi Covid-19 menerima Bintang Jasa Pratama. Sedangkan 9 dokter dan 58 perawat atau tenaga kesehatan lainnya yang juga gugur, dianugerahi Bintang Jasa Nararya.
Dari banyak tokoh yang dianugerahi tanda kehormatan itu, nama Eurico Guterres paling banyak disorot. Tokoh Timor Leste pro-Indonesia itu dianugerahi Bintang Jasa Utama, bersama tiga tokoh lainnya, seperti akademisi dan pemelihara warisan sejarah dan budaya Aceh Rusdi Sufi, ilmuwan Jerman Goldammer Johann Georg Andreas, serta Komisaris Transmedia Ishadi Sutopo Kartosaputro.
Anggota Komisi II DPR sekaligus Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menilai, Presiden Jokowi sangat subjektif memberi Bintang Jasa Utama kepada Eurico. Sehingga catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang membayangi Eurico luput dari pertimbangan.
“Bintang Jasa Utama itu bintang penghormatan dari negara, bukan penghormatan presiden terhadap individu,” kata Mardani saat dihubungi Alinea.id, Senin (16/8).
“Karena itu, mekanisme pemberian dan berbagai kepatutan perlu dipertimbangkan. Bukan karena presiden suka dengan tokoh, terus diberikan.”
Latar kelam soal HAM
Dalam catatan Amnesty International dan Judicial System Monitoring Programme yang terbit pada 14 April 2004 bertajuk Indonesia dan Timor Leste: Keadilan bagi Timor Leste, Eurico terlibat dalam aksi kekerasan di Timor Timur—sebelum bernama Timor Leste—pascareferendum pada April 1999.
Sebagai Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI)—sebuah milisi pro-Indonesia—Eurico dianggap menghasut 3.000 hingga 5.000 anggota milisi untuk membunuh para pendukung kemerdekaan. Bersama anggota milisi Besi Merah Putih (BMP) dan TNI, serangan dilancarkan ke rumah Manuel Carrascalão—tokoh prokemerdekaan pada 17 April 1999. Setidaknya 12 orang terbunuh dalam serangan itu.
Pada 2002 dalam Pengadilan HAM ad hoc, Eurico divonis 10 tahun penjara karena dianggap terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur. Ia baru mulai dipenjara pada 2006, usai gagal dalam upaya banding. Pada 2008, Eurico mengajukan peninjauan kembali dan dibebaskan dari segala tuduhan melalui keputusan Mahkamah Agung (MA).
Lebih lanjut, Mardani mendesak Presiden Jokowi untuk memberi penjelasan soal latar belakang pemberian tanda kehormatan kepada Eurico agar ada diskusi yang sehat antara Istana dan pihak yang keberatan.
"Sehingga ada penjelasan ke publik, puas tidak puas itu memang risiko seorang presiden," ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Imparsial—LSM yang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran HAM—Gufron Mabruri pun mengecam keputusan Presiden Jokowi yang menganugerahkan Bintang Jasa Utama kepada Eurico. Ia menganggap, pemberian tanda kehormatan buat Ketua Forum Komunikasi Pejuang Timor Timur (FKPTT) itu tak elok. Menurutnya, Jokowi seolah tak mempedulikan nasib para korban pelanggaran HAM di Timor Leste.
“Ibarat meneteskan cuka di atas luka korban, pemberian penghargaan kepada Eurico merupakan pengkhianatan serius terhadap kemanusiaan,” kata Gufron ketika dihubungi, Senin (16/8).
Gufron menilai, penyematan Bintang Jasa Utama bagi Eurico bisa menjadi preseden buruk penyelesaian kasus HAM dan melanggengkan praktik impunitas. Bukan tidak mungkin, kata dia, tanda kehormatan serupa juga diberikan kepada pelanggar HAM lainnya, sebagai modus pemutihan dosa.
"Kami mendesak Presiden Joko Widodo agar mencabut kembali keputusannya memberikan penghargaan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres,” tuturnya.
“Presiden Joko Widodo seharusnya mendorong dan memastikan perangkat pemerintahannya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara menyeluruh.”
Meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, tetapi menurut Gufron, Presiden Jokowi perlu menilai seorang penerima dengan objektif, berdasarkan sepak terjangnya di masyarakat.
"Tentu harus ada kriteria yang jelas dan terukur, sehingga penilaian atas kelayakan seseorang bisa dinilai secara objektif. Bukan subjektif, apalagi politis," kata Gufron.
Ia pun menyarankan agar Presiden Jokowi berdiskusi terlebih dahulu dengan banyak pihak, sebelum memutuskan memberi tanda kehormatan terhadap seseorang. Tujuannya, supaya lebih selektif dan tak terkesan mengobral tanda kehormatan.
"Proses penilaian kelayakan tersebut juga perlu menggali dan mengumpulkan masukan dari berbagai kalangan, termasuk kelompok dan tokoh masyarakat sipil,” ucapnya.
“Sehingga berbagai masukan tersebut menjadi bahan pertimbangan untuk menilai kelayakan seseorang.”
Bagaimana semestinya?
Dosen Hukum Hak Asasi Manusia dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Manunggal Kusuma Wardaya menilai, penganugerahan tanda kehormatan untuk Eurico merupakan sinyal kuat, Presiden Jokowi tak ada niat menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
"Pemerintah mestilah memperhatikan rekam jejak mereka yang hendak diberikan tanda jasa dan gelar, apakah memang layak ataukah tidak,” kata Manunggal ketika dihubungi, Selasa (17/8).
“Dalam konteks Eurico, keberpihakan terhadap para korban sebagai bukti kesungguhan negara untuk memutus rantai impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM, justru jauh dari terlihat.”
Menurutnya, bila dilihat dari perspektif hukum internasioanl, mekanisme peninjauan kembali kasus Eurico pada 2008 merupakan skenario untuk membebaskan Eurico.
Pemberian Bintang Jasa Utama buat Eurico, kata dia, bisa menambah ketidakpercayaan publik terkait komitmen pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Terlebih, saat ini Jokowi semakin “mesra” dengan para terduga pelaku pelanggaran HAM di masa lalu.
“Berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki Komnas HAM, kini mandek di Kejaksaan Agung,” ujarnya.
“Pemerintah juga menempatkan mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu ke dalam struktur pemerintahan.”
Kekecewaan pun diungkapkan peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK Indonesia), Arif Susanto. Ia menilai, pemberian tanda kehormatan kepada Eurico semakin menegaskan potret buruk penegakan HAM di Indonesia.
"Saya kira ini memalukan,” kata dia saat dihubungi, Senin (16/8).
“Pemberian Bintang Jasa itu memang hak prerogatif Presiden. Tapi bukan berarti presiden bisa seenaknya memberi kepada siapapun yang dia mau."
Arif menilai, Presiden Jokowi sudah menurunkan martabat gelar tanda kehormatan lantaran memberikannya kepada Eurico. Ia mengatakan, Presiden sudah memberikan Bintang Jasa Utama kepada seseorang yang sebenarnya memberi representasi “wajah buruk” Indonesia.
"Eurico itu representasi ‘wajah buruk’ Indonesia," kata Arif.
Ia berpendapat, sebaiknya pemberian gelar, tanda jasa, maupun tanda kehormatan diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kontribusi besar terhadap publik, bukan yang punya catatan kelam pelanggaran HAM.
“Lihat misalnya Artidjo Alkostar yang mendapat Bintang Mahaputera Adipradana. Jasa Artidjo bagi negara jelas. Dia menjadi bagian dari ujung tombak pemberantasan korupsi,” ucap Arif.
Arif menuturkan, Presiden Jokowi seharusnya bisa membedakan antara pihak yang berjasa terhadap negara dan pemerintah. Ia mengatakan, pihak yang patut mendapat tanda kehormatan adalah mereka yang berjasa terhadap negara, bukan rezim yang berkuasa.
"Kalau sesuai pemerintah, ganti pemerintahan dan rezim bisa ada lagi kasus seperti ini," kata Arif.
Selain itu, Arif memandang, pemerintah sebaiknya mulai mengurangi menganugerahkan tanda kehormatan dan tanda jasa yang didasari pendekatan militeristik.
Alasannya, aspek militer sudah tak relevan dalam keadaan damai. Ia menyarankan Presiden Jokowi memberi tanda kehormatan kepada mereka yang berperan besar dalam misi kemanusiaan.
"Pendekatan militeristik itu gaya lama, walaupun kami paham Guterres ini bukan tentara, tapi dia milisi" kata Arif.
Menurut Arif, jika kriterianya berkontribusi terhadap negara, tenaga kesehatan, ilmuwan, ahli kesehatan, dan epidemiolog yang berperan besar dalam penanganan pandemi Covid-19, lebih layak diganjar penghargaan.
"Bayangan saya, 5 tahun dari sekarang, kita akan mengingat bahwa saat kita menghadapi pandemi, pihak-pihak yang punya jasa besar terhadap penanggulangan pandemi itu adalah mereka. Semestinya seperti itu orientasinya," kata Arif.