close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Pixabay.
icon caption
Ilustrasi. Pixabay.
Nasional
Senin, 20 Maret 2023 16:52

BMKG: Indonesia lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana

Selain menimbulkan kerugian materiil, cuaca ekstrem dan bencana juga merenggut jiwa. 
swipe

Indonesia akan lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana di masa depan. Itu terjadi apabila laju perubahan iklim yang berlangsung tidak bisa dihentikan. Selain menimbulkan kerugian materiil, cuaca ekstrem dan bencana juga merenggut jiwa. 

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati, mengajak seluruh masyarakat Indonesia bergotong-royong berkontribusi menahan kencangnya laju pemanasan global dan perubahan iklim. Caranya, melakukan hal-hal yang terlihat gampang dan sepele mulai dari diri sendiri. 

Mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menerapkan prinsip reduce, reuse, recycle (3R), menanam tanaman atau pohon, berjalan kaki, bersepeda atau menggunakan transportasi umum, dan menghemat energi.

"Khusus sampah, dampaknya sangat besar karena memberikan kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca dalam bentuk emisi metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Karenanya, meskipun terlihat sepele, langkah konkrit itu berkontribusi besar dalam menahan laju perubahan iklim," kata Dwikorita saat puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia ke-73 di Bukit Kototabang, Sumatera Barat, Senin (20/3).

Menurut mantan rektor UGM itu, perubahan iklim semakin mengkhawatirkan karena memicu dampak yang luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.

BMKG, jelas dia, mencatat 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesia dengan nilai anomali 0,8°C sepanjang periode pengamatan 1981-2020. Pada 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali 0,7°C dan 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,6°C.

Sebagai perbandingan, suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) awal 2023 menyebutkan, bahwa 2022 menempati peringkat ke-6 terpanas dunia. Pada 2016 merupakan tahun dengan suhu global terpanas dunia dengan anomali 1,2°C terhadap periode revolusi industri. 

Salju abadi tinggal 1%

Kondisi ini dipicu oleh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh anomali iklim El-Nino. Ini, antara lain, membuat salju abadi di Puncak Jaya, Papua, lebih cepat mencair. Semula, luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, kini tersisa 2 km persegi atau tinggal 1%. Salju dan es abadi di Puncak Jaya merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia karena wilayah Nusantara beriklim tropis.

Akibat perubahan iklim, jelas Dwikorita, kejadian ekstrem lebih sering terjadi. Terutama kekeringan dan banjir. Jika semula rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, kini rentang waktu semakin pendek atau frekuensinya kian sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.

Ia mencontohkan kemunculan siklon tropis Seroja yang berujung banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT), April 2021. Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia.

"Selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi," papar dia.

Sementara, Pelaksana tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Dodo Gunawan mengatakan, dampak perubahan iklim tidak sebatas cuaca ekstrem, mencairnya salju di gunung, krisis air bersih atau meningkatnya wabah penyakit. Lebih dari itu, perubahan iklim membawa kerugian ekonomi dan juga politik.

"Intensitas bencana alam akan semakin sering terjadi. Sedangkan bencana alam erat kaitannya dengan kemiskinan. Tidak sedikit rumah tangga yang jatuh ke lingkaran kemiskinan akibat bencana alam. Apabila kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin tujuan mencapai Indonesia bebas dari kemiskinan semakin jauh," ujarnya.

Dodo mengungkapkan, tidak ada satupun negara yang aman dari efek percepatan perubahan iklim. Maka dari itu, Indonesia harus melakukan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi secara komprehensif dan terukur guna menahan laju perubahan iklim.

"Mitigasi dan adaptasi ini menjadi urusan bersama. Tidak hanya pemerintah, namun juga semua sektor harus terlibat mulai dari swasta dan dunia usaha, akademisi, pers/media, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum. Semua harus terlibat tanpa terkecuali," kata Dodo.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan