Risiko gagal panen mengancam lahan pertanian tadah hujan menyusul terjadinya fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang memicu kekeringan. Ketahanan pangan nasional pun terancam.
"Pemerintah daerah (pemda) perlu melakukan aksi mitigasi dan aksi kesiapsiagaan segera! Lahan pertanian berisiko mengalami puso alias gagal panen akibat kekurangan pasokan air saat fase pertumbuhan tanaman," ucap Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati.
Ia menerangkan, fenomena El Nino dan IOD positif saling menguatkan. Akibatnya, musim kemarau tahun ini bakal menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah.
Apabila biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, maka angkanya menjadi sebulan sekali bahkan tidak ada pada musim kemarau. Puncak kemarau diprediksi terjadi pada Agustus-awal September. Kondisinya akan jauh lebih kering daripada tahun 2020-2022.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan BMKG, indeks El Nino pada Juli mencapai 1,01 dengan level moderat. Adapun IOD sudah memasuki level indeks yang positif.
Pada Juni hingga dasarian pertama Juli, El Nino masih dalam level lemah sehingga dampaknya belum dirasakan. Pada saat bersamaan, El Nino dan IOD positif, yang sifatnya global dan skala waktu kejadiannya panjang dalam hitungan beberapa bulan, terjadi secara pararel.
"Dalam rentang waktu tersebut, sebagian wilayah Indonesia masih ada yang diguyur hujan akibat adanya dinamika atmosfer regional yang bersifat singkat. Sehingga, pengaruh El Nino belum dirasakan secara signifikan," tutur Dwikorita.
Hal berbeda akan terjadi di sektor perikanan. Ia menyampaikan, perubahan suhu laut dan pola arus saat El Nino dan IOD positif yang mendingin biasanya justru berpotensi meningkatkan tangkapan ikan.
"Peluang dari kondisi ini harus dimanfaatkan karena dapat mendukung ketahanan pangan nasional," katanya.